Malam itu, di Negeri Mulyo, Dewi Vetha mendapati Ponokawan Takmir duduk sendiri, tertunduk lesu di depan pendopo kerajaan. Dewi mendekati Takmir perlahan, ''Ada apakah gerangan yg membuatmu tak
seperti biasanya begini?'' sapa Dewi, dalam hatinya ia turut sedih. Lalu Sang Dewi tersenyum. Pipinya merah merekah dihiasi cahaya rembulan
malam. Takmir menoleh dan langsung berdiri, ia lalu mengusap mata. ''Tidak apa-apa, Dewi, tidak apa-apa.'' jawab Takmir, terpatah-patah.
''Kau ada masalah, aku lihat kau begitu sedih, tak seperti biasa.'' Takmir menggelengkan kepala, lalu Dewi Vetha menyingkap selendangnya,
dan berkata, ''Jika kau tak mau cerita, jangan lagi menjagaku!''
Ponokawan Takmir menatap kedua mata Dewi, lalu tertunduklah ia, lututnya jatuh menyentuh bumi, tangannya mengepal, ia menangis terisak. Dewi Vetha merendahkan tubuhnya, pakaiannya terurai ''Sudahlah, jangan larut dalam kesedihan.'' kata Dewi sambil menepuk pundak Takmir.
Tiba-tiba, Takmir berdiri dan segera berlari, menjauhi Sang Dewi, air matanya mengalir menjatuhi bumi Negeri Mulyo yang terkenal asri tersebut. Tanpa kata, Dewi Vetha hanya melihat Takmir yang pergi menjauhi istana, ia tak mau mengejar, nampaknya ia tahu betapa sedih pengawalnya tersebut. Langsung saja air mata Dewi tumpah, tak kuasa menahan sedih yg menjadi-jadi, melihat Takmir tak seperti biasa dan dirundung lara. Setelah menatap bulan, ia terpikir sesuatu. Ketika air matanya telah kering, ia bergegas menuju ruangan Ayahnya, Raja Arha dengan tergesa-gesa.
Setelah sampai di depan pintu, ''Ayah..ayah!'' ia memanggil2 ayahnya, utk segera menemuinya. Lalu Raja Arha menemui, ''Ada apa kau ini?'' ''Maukah kau memanggil Takmir, menemuimu, tanyakan apa yang sedang ia galaukan?'' pinta Dewi Vetha, ''Ia tampak begitu sedih, aku tak suka.'' Raja Arha menangguk, segera saja beliau memanggil seluruh prajurit guna mencari Takmir dan menitipkan titah supaya Takmir menemuinya.
Kacap kacarita, di tengah malam yang dingin, Raja Arha, Takmir, dan Dewi Vetha berkumpul di ruangan Raja. Mereka bercakap-cakap. Di sana, ponokawan Takmir menceritakan semua kegalauan hatinya. Akhirnya, Dewi Vetha mengetahui apa yang dirasakan oleh Takmir.
Dan Dewi Vetha di dunia nyata pun telah mengerti lara apa yang merundung Takmir, dan segera menyemangati, karena sukses itu hak setiap insan.
telah ditweetkan oleh@ariyandi501
Ponokawan Takmir menatap kedua mata Dewi, lalu tertunduklah ia, lututnya jatuh menyentuh bumi, tangannya mengepal, ia menangis terisak. Dewi Vetha merendahkan tubuhnya, pakaiannya terurai ''Sudahlah, jangan larut dalam kesedihan.'' kata Dewi sambil menepuk pundak Takmir.
Tiba-tiba, Takmir berdiri dan segera berlari, menjauhi Sang Dewi, air matanya mengalir menjatuhi bumi Negeri Mulyo yang terkenal asri tersebut. Tanpa kata, Dewi Vetha hanya melihat Takmir yang pergi menjauhi istana, ia tak mau mengejar, nampaknya ia tahu betapa sedih pengawalnya tersebut. Langsung saja air mata Dewi tumpah, tak kuasa menahan sedih yg menjadi-jadi, melihat Takmir tak seperti biasa dan dirundung lara. Setelah menatap bulan, ia terpikir sesuatu. Ketika air matanya telah kering, ia bergegas menuju ruangan Ayahnya, Raja Arha dengan tergesa-gesa.
Setelah sampai di depan pintu, ''Ayah..ayah!'' ia memanggil2 ayahnya, utk segera menemuinya. Lalu Raja Arha menemui, ''Ada apa kau ini?'' ''Maukah kau memanggil Takmir, menemuimu, tanyakan apa yang sedang ia galaukan?'' pinta Dewi Vetha, ''Ia tampak begitu sedih, aku tak suka.'' Raja Arha menangguk, segera saja beliau memanggil seluruh prajurit guna mencari Takmir dan menitipkan titah supaya Takmir menemuinya.
Kacap kacarita, di tengah malam yang dingin, Raja Arha, Takmir, dan Dewi Vetha berkumpul di ruangan Raja. Mereka bercakap-cakap. Di sana, ponokawan Takmir menceritakan semua kegalauan hatinya. Akhirnya, Dewi Vetha mengetahui apa yang dirasakan oleh Takmir.
Dan Dewi Vetha di dunia nyata pun telah mengerti lara apa yang merundung Takmir, dan segera menyemangati, karena sukses itu hak setiap insan.
telah ditweetkan oleh
Komentar
Posting Komentar