Bjorn Lightfire terkapar tak berdaya dan kelelahan. Kedua matanya susah untuk dibuka. Dadanya naik turun mengikuti irama nafas. Kulitnya merasakan udara yang begitu panas. Sepertinya ia berada di tengah-tengah kobaran api dan abu yang berterbangan membuat matanya perih dan nafasnya berat.
Dengan susah payah, Bjorn membuka mata. Dengan gemetaran, ia mencoba duduk dan memahami apa yang sedang terjadi. Ia tak mengingat apapun, tak tahu entah apa yang telah terjadi dan dimana ia berada. Semakin mencoba berpikir, kepalanya menjadi semakin sakit. Ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia memuntahkan darah hangat dari mulutnya. Lalu ia terbatuk.
Ia melihat ke sekeliling. Terjadi kebakaran sejauh mata memandang. Kobaran api membakar semua yang ada di daratan itu. Semak, pepohonan, rumah-rumah. Abu hitam berterbangan. Sampai detik ini, Bjorn tidak mengingat apapun. Kepalanya terasa sangat berat. Ia muntah darah lagi. Lalu batuk lagi. Suaranya serak. "Cih! Bajingan!"
Bjorn memiliki tubuh yang kekar dan kuat. Tapi dengan kondisinya saat ini, berdiri dengan kedua kakinya pun ia tak mungkin sanggup. Matanya mulai melihat dengan jelas. Ada yang aneh dengan kakinya. Sial, umpatnya. Kaki kirinya hilang, dari lutut ke bawah. Ketika menyadari itu, rasa sakit dan panas menyerang pahanya. Bjorn meronta kesakitan.
Tiba-tiba kepingan ingatan itu kembali. "Dimana Kalle?" tanya Bjorn dalam hati.
Kalle Brownback adalah seseorang yang ia kenal. Tapi, siapa dia? Bjorn memusatkan pikiran pada wujud Kalle. Pria berkulit cokelat dan kepala botak. Ingatan terakhir tentang Kalle adalah ia memakai zirah warna perak dengan pinggiran warna merah api yang sama seperti yang Bjorn kenakan saat ini. "Aku akan menjagamu, Bjorn, sahabatku."
Jadi, Kalle adalah sahabatnya.
Angin yang berhembus membuat api semakin besar dan kalau Bjorn tidak pergi dari tempatnya duduk, api akan segera membakarnya. Naluri bertahan hidup Bjorn tinggi. Ia mencoba berdiri dengan bantuan tongkat dan pedang yang ia bawa. Bjorn berjalan dengan tertatih. Rasanya sangat susah melakukannya dengan satu kaki.
Ia beruntung karena tongkat itu kuat menopang badannya yang besar. Bjorn perlahan menjauhi api dan menuju sebuah danau yang berada tak jauh dari sana. Sementara itulah ide yang bisa dipikirkan.
Sebuah kepingan ingatan kembali datang. Skara. Sebuah nama desa.
Bjorn sedang berada di Desa Skara. Ia ingat betul. Ia sedang dalam sebuah misi.
Danau itu terbentang luas di depan mata Bjorn. Warnanya biru berkemilau memantulkan warna biru langit. Apalagi dikelilingi dataran hijau yang membentang. Sangat indah. Berbeda dengan Desa Skara di belakang Bjorn, yang porak poranda, hangus terbakar.
Pria kekar itu duduk di pinggir danau. Sekuat tenaga membersihkan dirinya dengan air payau danau itu. "Kalle, apa yang terjadi denganmu, Kalle? Misi apa yang sedang kita kerjakan di Skara?"
Mata Bjorn membangkitkan kenangan. Rasanya bukan pertama kalinya Bjorn mengunjungi danau ini. Ia seperti sedang bernostalgia.
Sudah hampir satu jam Bjorn duduk dan membersihkan diri di pinggir danau. Pilihannya benar. Tanah berpasir antara desa Skara dengan danau membuat api tak mungkin menjangkau Bjorn. Kobaran api menunjukkan akan segera padam karena tidak ada lagi yang bisa dibakar. Bjorn berencana mendatangi desa itu untuk melihat apa yang ada di sana.
Tenggorokan Bjorn masih terasa perih dan ia masih batuk sesekali.
Bjorn menunggu sampai api itu benar-benar padam. Ia tak mau mengambil risiko akan datangnya angin yang membuat api kembali menyala dan membakar dirinya. Tak mungkin ia dapat menyelamatkan diri dengan kondisi tubuh seperti itu.
Seperti yang dilihat Bjorn, Desa Skara adalah desa kecil yang berada di kaki bukit. Desa itu mungkin saja indah di masa sebelum ia terbakar. Dari tempatnya berada, Bjorn dapat melihat kalau desa itu kini seperti tumpukan arang hitam yang sangat tidak menarik. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang membakar desa itu? Apakah ini ada hubungannya dengan dirinya? Bjorn sangat ingin mengetahui jawabannya. Ia hanya bisa mengumpat dan terbatuk-batuk.
Bjorn akhirnya berdiri lagi, berusaha untuk tidak jatuh dengan tumpuan tongkatnya. Ia tak mungkin melepas zirah yang ia pakai, lengkap dengan helm perangnya. Insting Bjorn mengatakan untuk tetap memakai baju itu, meskipun hal tersebut membuat tubuhnya semakin berat untuk diangkat.
Bjorn berjalan perlahan ke arah desa. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Kalle, tapi sepertinya Bjorn tak punya banyak tenaga untuk melakukannya. Api ternyata telah banyak membakar kayu-kayu dari rumah beserta perabotannya. Ia dapat mencium baunya. Namun, tiba-tiba ia mencium bau daging terbakar. Semakin mendekati tengah desa, tempat sebuah altar besar berdiri, aroma daging terbakar itu makin kuat.
Apa yang dilihat Bjorn sungguh tak masuk akal. Ratusan mayat terbakar tergeletak di sekeliling altar. Tubuh yang gosong itu beragam. Dari kecil hingga besar. Bentuknya yang sudah rusak tak dapat dikenali, bahkan tak bisa dibedakan mana wanita dan mana pria. Bjorn baru menyadari kenapa ia baru mencium bau mayat itu karena sedari tadi ia hanya mendapati aroma pohon pinus yang terbakar. Desa Skara sungguh telah dibakar habis oleh api.
Mengapa mereka semua berkumpul di sini saat api melahap desa? Mengapa aku bisa selamat? Apakah Kalle juga selamat?
Di tengah-tengah pikirannya, ia mendengar deru kaki kuda di kejauhan. Sepertinya satu pasukan berkuda. Makin lama makin mendekat. Sial, pikir Bjorn. Mungkinkah dirinya akan dibunuh pasukan itu? Rasanya mati pun ia tidak apa-apa. Tapi ada di dalam jiwa Bjorn, ia harus bertahan hidup. Demi semua yang ia percayai.
Bjorn berjalan tertatih ke arah danau, ia berencana kabur. Mereka pasti akan menuju altar dan melihat kondisi para penduduk. Ia yakin bahwa pasukan itu adalah sekutu Desa Skara.
Terlambat bagi Bjorn.
Pasukan berkuda itu sudah berada di depan Bjorn. Mereka memakai zirah emas dengan warna merah di pinggirnya. Jumlah mereka tidak sampai 30 orang. Tapi sangat cukup untuk membunuh Bjorn yang seorang diri.
"Selamat atas keberhasilanmu, Bjorn Lighfire," ucap seorang pria yang berada di paling depan, sepertinya ia adalah pemimpin pasukan tersebut. "Kau telah membuktikan bahwa kau layak menjadi pasukan inti Ksatria Api Abadi Sigtuna. Semoga Sang Naga senantiasa menjagamu."
"Apa yang kau ucapkan, Bangsat?" bentak Bjorn. Karena tak mungkin menang melawan mereka,
ia pun tak lagi takut.
"Sepertinya efek samping kekuatan Sang Naga sudah menjangkit otakmu, Bjorn," ucap pria berambut pirang perak lalu diikuti dengan gelak tawa pasukan yang lain.
Sang pemimpin pasukan mencoba menenangkan mereka, "Tenanglah kalian. Tolong. Apa kalian ingin dibakar oleh Bjorn? Dia jelas tidak mengenali kita lagi."
"Kau benar, Frederik," ucap pria berambut pirang perak tadi. "Maafkan aku, sang janggut merah, pangeran kami, Bjorn Lightfire putra Lukas."
Frederik turun dari kuda dan berjalan mendekati Bjorn. "Kau jelas tidak akan mengenali kami setelah apa yang terjadi kepadamu. Dan. Kulihat bukan hanya ingatanmu yang hilang. Melainkan kaki kirimu juga. Kurasa kau telah membuat Sang Naga marah besar. Untunglah kau masih selamat. Ayo kita pulang. Ayah kita menunggu."
"Apa yang membuatku harus percaya dan menuruti omonganmu, Tolol? Yang benar saja?" kata Bjorn.
"Namamu Bjorn Lightfire. Seperti permintaanmu kepada Sang Naga, kau hanya ingat dua nama. Kalle Brownback dan Skara," ucap Frederik. Pria itu dapat menebak apa yang diingat Bjorn.
Pria berambut pirang perak menambahkan, "Kami jelas tahu kapan kau berulang tahun, apa makanan favoritmu, siapa wanita yang pernah kau pacari, dan semuanya. Tapi jelas kau tidak akan ingat. Hahaha."
"Tutup mulutmu, Ame!" bentak Frederik. "Ini bukan waktu yang tepat untuk menjadi brengsek! Adikku bisa saja membakar kita di sini."
Ame memberikan senyuman yang buruk.
"Percayalah kepadaku, Bjorn. Bukankah kau sudah cukup letih dan ingin beristirahat? Aku yakin tenggorokanmu sangat perih dan terbakar."
"Apakah aku penyebab kebakaran desa ini?" tanya Bjorn. Suaranya serak.
"Ya," ucap Frederik sambil membuka helm perangnya, rambutnya merah gelap mirip rambut Bjorn. "Kau yang telah memilihnya. Kau ingin membuktikan kepada Sigtuna kalau kau tidak berkhianat. Sumpah setiamu kepada Suku."
"Kenapa aku hanya mengingat Kalle dan Skara? Dimana Kalle?"
Frederik tampak berpikir sejenak, seperti berhati-hati akan menjawab seperti apa. "Desa Skara hanyalah desa kecil yang tidak berarti apa-apa bagimu. Mereka melawan Sigtuna terlebih dahulu, jadi inilah akibatnya. Kau dan Kalle adalah pahlawan. Mari pulang untuk merayakan satu lagi kemenangan kita."
Bjorn memikirkan ratusan mayat gosong di tengah desa. Ia merasa gabungan antara bingung, kecewa, kesal, kasihan, marah atas kejadian tersebut.
"Earvin, perlihatkan itu kepada Bjorn," perintah Frederik kepada seorang pasukan paling gemuk.
Earvin menurunkan sebuah kotak berbentuk tandu dengan mekanik seperti katrol. Kotak itu ditutupi kain cokelat dan diikat tali. "Hei, Bjorn, lihatlah kemari," ucap Earvin.
Bjorn tak tahu harus bagaimana lagi, ia hanya ingin jawaban. Ia pun berjalan ke arah kotak kayu dan Earvin membuka kain yang menutupinya.
Seseorang berkulit cokelat berkepala botak berada di dalam kotak kayu itu. Luka bakarnya cukup serius dan sepertinya ia sedang sekarat. Baju zirahnya penuh dengan bekas sabetan pedang.
"Kami menemukan Kalle di dekat kastil di kaki bukit sana. Entah mengapa ia dapat mencapai tempat itu. Tapi ia dikelilingi oleh mayat pasukan Skara," kata Frederik menjelaskan. "Kalle Brownback adalah pasukan hebat, ia seorang diri dapat mengalahkan puluhan pasukan."
"Kalle, sahabatku," bisik Bjorn.
"Kau tentu ingat wajah Kalle, kau adalah sahabatnya. Kalle sampai harus melawan perintah Ayah kita untuk membantumu melawan Skara. Ia masih hidup sampai saat ini. Kalau kau mau pulang bersama kami, semoga nyawa Kalle bisa terselamatkan," terang Frederik.
Akhirnya Bjorn menuruti perkataan kakaknya. Ia dibawa menggunakan kereta. Mereka pergi meninggalkan Desa Skara.
Bjorn melihat ke arah Desa Skara untuk yang terakhir kali. Hatinya seperti terikat dengan desa itu tetapi tak satupun kenangan tentangnya ada di kepala Bjorn.
Dengan susah payah, Bjorn membuka mata. Dengan gemetaran, ia mencoba duduk dan memahami apa yang sedang terjadi. Ia tak mengingat apapun, tak tahu entah apa yang telah terjadi dan dimana ia berada. Semakin mencoba berpikir, kepalanya menjadi semakin sakit. Ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia memuntahkan darah hangat dari mulutnya. Lalu ia terbatuk.
Ia melihat ke sekeliling. Terjadi kebakaran sejauh mata memandang. Kobaran api membakar semua yang ada di daratan itu. Semak, pepohonan, rumah-rumah. Abu hitam berterbangan. Sampai detik ini, Bjorn tidak mengingat apapun. Kepalanya terasa sangat berat. Ia muntah darah lagi. Lalu batuk lagi. Suaranya serak. "Cih! Bajingan!"
Bjorn memiliki tubuh yang kekar dan kuat. Tapi dengan kondisinya saat ini, berdiri dengan kedua kakinya pun ia tak mungkin sanggup. Matanya mulai melihat dengan jelas. Ada yang aneh dengan kakinya. Sial, umpatnya. Kaki kirinya hilang, dari lutut ke bawah. Ketika menyadari itu, rasa sakit dan panas menyerang pahanya. Bjorn meronta kesakitan.
Tiba-tiba kepingan ingatan itu kembali. "Dimana Kalle?" tanya Bjorn dalam hati.
Kalle Brownback adalah seseorang yang ia kenal. Tapi, siapa dia? Bjorn memusatkan pikiran pada wujud Kalle. Pria berkulit cokelat dan kepala botak. Ingatan terakhir tentang Kalle adalah ia memakai zirah warna perak dengan pinggiran warna merah api yang sama seperti yang Bjorn kenakan saat ini. "Aku akan menjagamu, Bjorn, sahabatku."
Jadi, Kalle adalah sahabatnya.
Angin yang berhembus membuat api semakin besar dan kalau Bjorn tidak pergi dari tempatnya duduk, api akan segera membakarnya. Naluri bertahan hidup Bjorn tinggi. Ia mencoba berdiri dengan bantuan tongkat dan pedang yang ia bawa. Bjorn berjalan dengan tertatih. Rasanya sangat susah melakukannya dengan satu kaki.
Ia beruntung karena tongkat itu kuat menopang badannya yang besar. Bjorn perlahan menjauhi api dan menuju sebuah danau yang berada tak jauh dari sana. Sementara itulah ide yang bisa dipikirkan.
Sebuah kepingan ingatan kembali datang. Skara. Sebuah nama desa.
Bjorn sedang berada di Desa Skara. Ia ingat betul. Ia sedang dalam sebuah misi.
Danau itu terbentang luas di depan mata Bjorn. Warnanya biru berkemilau memantulkan warna biru langit. Apalagi dikelilingi dataran hijau yang membentang. Sangat indah. Berbeda dengan Desa Skara di belakang Bjorn, yang porak poranda, hangus terbakar.
Pria kekar itu duduk di pinggir danau. Sekuat tenaga membersihkan dirinya dengan air payau danau itu. "Kalle, apa yang terjadi denganmu, Kalle? Misi apa yang sedang kita kerjakan di Skara?"
Mata Bjorn membangkitkan kenangan. Rasanya bukan pertama kalinya Bjorn mengunjungi danau ini. Ia seperti sedang bernostalgia.
Sudah hampir satu jam Bjorn duduk dan membersihkan diri di pinggir danau. Pilihannya benar. Tanah berpasir antara desa Skara dengan danau membuat api tak mungkin menjangkau Bjorn. Kobaran api menunjukkan akan segera padam karena tidak ada lagi yang bisa dibakar. Bjorn berencana mendatangi desa itu untuk melihat apa yang ada di sana.
Tenggorokan Bjorn masih terasa perih dan ia masih batuk sesekali.
Bjorn menunggu sampai api itu benar-benar padam. Ia tak mau mengambil risiko akan datangnya angin yang membuat api kembali menyala dan membakar dirinya. Tak mungkin ia dapat menyelamatkan diri dengan kondisi tubuh seperti itu.
Seperti yang dilihat Bjorn, Desa Skara adalah desa kecil yang berada di kaki bukit. Desa itu mungkin saja indah di masa sebelum ia terbakar. Dari tempatnya berada, Bjorn dapat melihat kalau desa itu kini seperti tumpukan arang hitam yang sangat tidak menarik. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang membakar desa itu? Apakah ini ada hubungannya dengan dirinya? Bjorn sangat ingin mengetahui jawabannya. Ia hanya bisa mengumpat dan terbatuk-batuk.
Bjorn akhirnya berdiri lagi, berusaha untuk tidak jatuh dengan tumpuan tongkatnya. Ia tak mungkin melepas zirah yang ia pakai, lengkap dengan helm perangnya. Insting Bjorn mengatakan untuk tetap memakai baju itu, meskipun hal tersebut membuat tubuhnya semakin berat untuk diangkat.
Bjorn berjalan perlahan ke arah desa. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Kalle, tapi sepertinya Bjorn tak punya banyak tenaga untuk melakukannya. Api ternyata telah banyak membakar kayu-kayu dari rumah beserta perabotannya. Ia dapat mencium baunya. Namun, tiba-tiba ia mencium bau daging terbakar. Semakin mendekati tengah desa, tempat sebuah altar besar berdiri, aroma daging terbakar itu makin kuat.
Apa yang dilihat Bjorn sungguh tak masuk akal. Ratusan mayat terbakar tergeletak di sekeliling altar. Tubuh yang gosong itu beragam. Dari kecil hingga besar. Bentuknya yang sudah rusak tak dapat dikenali, bahkan tak bisa dibedakan mana wanita dan mana pria. Bjorn baru menyadari kenapa ia baru mencium bau mayat itu karena sedari tadi ia hanya mendapati aroma pohon pinus yang terbakar. Desa Skara sungguh telah dibakar habis oleh api.
Mengapa mereka semua berkumpul di sini saat api melahap desa? Mengapa aku bisa selamat? Apakah Kalle juga selamat?
Di tengah-tengah pikirannya, ia mendengar deru kaki kuda di kejauhan. Sepertinya satu pasukan berkuda. Makin lama makin mendekat. Sial, pikir Bjorn. Mungkinkah dirinya akan dibunuh pasukan itu? Rasanya mati pun ia tidak apa-apa. Tapi ada di dalam jiwa Bjorn, ia harus bertahan hidup. Demi semua yang ia percayai.
Bjorn berjalan tertatih ke arah danau, ia berencana kabur. Mereka pasti akan menuju altar dan melihat kondisi para penduduk. Ia yakin bahwa pasukan itu adalah sekutu Desa Skara.
Terlambat bagi Bjorn.
Pasukan berkuda itu sudah berada di depan Bjorn. Mereka memakai zirah emas dengan warna merah di pinggirnya. Jumlah mereka tidak sampai 30 orang. Tapi sangat cukup untuk membunuh Bjorn yang seorang diri.
"Selamat atas keberhasilanmu, Bjorn Lighfire," ucap seorang pria yang berada di paling depan, sepertinya ia adalah pemimpin pasukan tersebut. "Kau telah membuktikan bahwa kau layak menjadi pasukan inti Ksatria Api Abadi Sigtuna. Semoga Sang Naga senantiasa menjagamu."
"Apa yang kau ucapkan, Bangsat?" bentak Bjorn. Karena tak mungkin menang melawan mereka,
ia pun tak lagi takut.
"Sepertinya efek samping kekuatan Sang Naga sudah menjangkit otakmu, Bjorn," ucap pria berambut pirang perak lalu diikuti dengan gelak tawa pasukan yang lain.
Sang pemimpin pasukan mencoba menenangkan mereka, "Tenanglah kalian. Tolong. Apa kalian ingin dibakar oleh Bjorn? Dia jelas tidak mengenali kita lagi."
"Kau benar, Frederik," ucap pria berambut pirang perak tadi. "Maafkan aku, sang janggut merah, pangeran kami, Bjorn Lightfire putra Lukas."
Frederik turun dari kuda dan berjalan mendekati Bjorn. "Kau jelas tidak akan mengenali kami setelah apa yang terjadi kepadamu. Dan. Kulihat bukan hanya ingatanmu yang hilang. Melainkan kaki kirimu juga. Kurasa kau telah membuat Sang Naga marah besar. Untunglah kau masih selamat. Ayo kita pulang. Ayah kita menunggu."
"Apa yang membuatku harus percaya dan menuruti omonganmu, Tolol? Yang benar saja?" kata Bjorn.
"Namamu Bjorn Lightfire. Seperti permintaanmu kepada Sang Naga, kau hanya ingat dua nama. Kalle Brownback dan Skara," ucap Frederik. Pria itu dapat menebak apa yang diingat Bjorn.
Pria berambut pirang perak menambahkan, "Kami jelas tahu kapan kau berulang tahun, apa makanan favoritmu, siapa wanita yang pernah kau pacari, dan semuanya. Tapi jelas kau tidak akan ingat. Hahaha."
"Tutup mulutmu, Ame!" bentak Frederik. "Ini bukan waktu yang tepat untuk menjadi brengsek! Adikku bisa saja membakar kita di sini."
Ame memberikan senyuman yang buruk.
"Percayalah kepadaku, Bjorn. Bukankah kau sudah cukup letih dan ingin beristirahat? Aku yakin tenggorokanmu sangat perih dan terbakar."
"Apakah aku penyebab kebakaran desa ini?" tanya Bjorn. Suaranya serak.
"Ya," ucap Frederik sambil membuka helm perangnya, rambutnya merah gelap mirip rambut Bjorn. "Kau yang telah memilihnya. Kau ingin membuktikan kepada Sigtuna kalau kau tidak berkhianat. Sumpah setiamu kepada Suku."
"Kenapa aku hanya mengingat Kalle dan Skara? Dimana Kalle?"
Frederik tampak berpikir sejenak, seperti berhati-hati akan menjawab seperti apa. "Desa Skara hanyalah desa kecil yang tidak berarti apa-apa bagimu. Mereka melawan Sigtuna terlebih dahulu, jadi inilah akibatnya. Kau dan Kalle adalah pahlawan. Mari pulang untuk merayakan satu lagi kemenangan kita."
Bjorn memikirkan ratusan mayat gosong di tengah desa. Ia merasa gabungan antara bingung, kecewa, kesal, kasihan, marah atas kejadian tersebut.
"Earvin, perlihatkan itu kepada Bjorn," perintah Frederik kepada seorang pasukan paling gemuk.
Earvin menurunkan sebuah kotak berbentuk tandu dengan mekanik seperti katrol. Kotak itu ditutupi kain cokelat dan diikat tali. "Hei, Bjorn, lihatlah kemari," ucap Earvin.
Bjorn tak tahu harus bagaimana lagi, ia hanya ingin jawaban. Ia pun berjalan ke arah kotak kayu dan Earvin membuka kain yang menutupinya.
Seseorang berkulit cokelat berkepala botak berada di dalam kotak kayu itu. Luka bakarnya cukup serius dan sepertinya ia sedang sekarat. Baju zirahnya penuh dengan bekas sabetan pedang.
"Kami menemukan Kalle di dekat kastil di kaki bukit sana. Entah mengapa ia dapat mencapai tempat itu. Tapi ia dikelilingi oleh mayat pasukan Skara," kata Frederik menjelaskan. "Kalle Brownback adalah pasukan hebat, ia seorang diri dapat mengalahkan puluhan pasukan."
"Kalle, sahabatku," bisik Bjorn.
"Kau tentu ingat wajah Kalle, kau adalah sahabatnya. Kalle sampai harus melawan perintah Ayah kita untuk membantumu melawan Skara. Ia masih hidup sampai saat ini. Kalau kau mau pulang bersama kami, semoga nyawa Kalle bisa terselamatkan," terang Frederik.
Akhirnya Bjorn menuruti perkataan kakaknya. Ia dibawa menggunakan kereta. Mereka pergi meninggalkan Desa Skara.
Bjorn melihat ke arah Desa Skara untuk yang terakhir kali. Hatinya seperti terikat dengan desa itu tetapi tak satupun kenangan tentangnya ada di kepala Bjorn.
Komentar
Posting Komentar