Siang hari menjauh dari keriuhan,
seorang pemuda mengadu kepada sepi. Bertanyalah dia, “Dimanakah rumah?” tiada
jawab. Berkelana dalam imajinasi seraya bertanya pada khayalan tiap kali
ditemui, “Dimanakah rumah?” tiada terjawab. Bertaruh untuk segudang makanan
pokok di pinggir sungai dengan anak-anak berkulit cokelat, dilemparkannya
undian itu, sambil bertanya, “Dimanakah rumah?” tiada juga balasan. Anak-anak
itu malah tertawa dan berlalu pergi.
Sebuah pasar ikan berpindah ke
kepala pemuda itu. Bersamaan dengan berbagai jenis ikan yang pernah dan tak
pernah kau lihat sebelumnya. Lalu, melalui perantara otak kecil, pemuda itu
bertanya kepada para penghuni kepala, “Dimanakah rumah?” Seketika ikan-ikan
yang biasanya berenang, malah terbang dengan sayap buatan di punggung mereka,
pergi menjauh tanpa babibu.
Pemuda itu berjalan berjingkat-jingkat,
selayak penari balet yang baru berlatih. Tangan pemuda mengepal seakan
ingin meninju barang apa pun yang ada di depannya. Mulutnya tak henti-hentinya
memekikkan, “Dimanakah rumah?” Orang-orang berlalu lalang abai, cukup malas
hanya untuk sekedar menjawab. Sibuk dengan gawai masing-masing yang terantai
tak kasat mata di tangan mereka.
Pemuda yang hatinya dipenuhi
sarang laba-laba dan kembang api itu sampai di bangunan besar berwarna jingga.
Bangunan besar warna jingga itu dikelilingi kupu-kupu sebesar kepala manusia. Pemuda
(yang belum diketahui namanya) melawan rasa takut akan gigitan kupu-kupu
raksasa, berjalan mendekat. Langkahnya ayal. Entakan kakinya diatur sedemikian
rupa hingga burung merpati pun tak bisa mendengar.
Sebuah sastra berbentuk meteor
terlihat melintas di atas bangunan besar jingga, menghancurkan segala rencana
pemuda yang berusaha untuk berjalan sambil bergeming. Di sekitar meteor,
tulisan “Cinta Tanpa Alasan” berputar-putar, warnanya menyilaukan mata hingga
menabrak bangunan besar jingga. Meluluh lantakkan sampai tak bersisa. Kupu-kupu
raksasa berubah menjadi bayi kelaparan. Menangis meronta-ronta. Hingga air
matanya cukup untuk mengairi sawah-sawah tandus di Pulau Jawa.
Puing-puing bangunan yang porak
poranda menguap seketika. Pemuda itu menutup hidung sebelum bau anyir yang
menguar memenuhi hidungnya. Kini ia sedih karena tak ada lagi tempat untuk
menanyakan dimana rumah berada. Minimal untuk kabur dari dentuman pertanyaan di
kepalanya.
Tiba-tiba dari reruntuhan
bangunan besar jingga muncul asap hijau. Asap itu memumbung ke angkasa,
membentuk sesosok gergasi wanita. Pemuda itu takut sejadi-jadinya. Maksud hati
ingin berlari, tetapi kakinya seperti sudah menjadi bagian dari bumi, tak mau
lepas barang sesenti.
Ilusi gergasi wanita membuat sang
pemuda ingin memeluk erat tubuhnya. Manunggal dalam satu tubuh dan hidup mewah.
Luluh dalam pembendaharaan ide dan idealisme. Tak perlu saling cumbu jika kau
bisa mengerti isi kepala satu sama lain. Itulah keputusan pemuda malang korban
pengebirian jati diri.
Lama tak terdengar, anak-anak
berkulit cokelat sudah masuk bangku kuliah, berarti sudah hampir tiga windu pemuda
itu meninggalkan realita. Dirinya telah hidup dalam sebuah materi yang tak bisa
dijelaskan secara ilmiah. Hanya bisa diterangkan dengan pendekatan sastra. Jadi.
Seperti ini:
Tiga windu dalam genggaman
kebingungan, pemuda memilih untuk tidak mencari jawaban, karena dialah jawaban
itu.
Tiga windu dalam pencarian jalan
pulang, pemuda itu memilih untuk tertidur, karena dialah tempat tidur ternyaman
di semesta.
Tiga windu dalam gerogotan
keputusasaan, pemuda itu memilih untuk bersemangat, karena dialah motivasi
terbaik.
Sungguh disayangkan gergasi
wanita hanya berusia dua puluh empat tahun. Seketika tubuhnya menyusut masuk ke
dalam tanah. Meninggalkan sesosok tubuh pria telanjang bulat. Tak merasa malu
atas pandangan bumi, langit, dan seisinya kepadanya. Hal yang membuatnya yakin
untuk menggenggam erat kesederhanaan adalah ia gabungan dari jawaban dan
kepastian.
Kini ia tahu jalan pulang.
Kini ia tahu jalan rumah.
Pemuda itu hanya perlu pergi
sejauh yang dia bisa. Berkelana. Berhijrah. Merantau. Atau apalah yang biasa
disebut orang-orang. Sebab. Ketika tak lagi di rumah, ia akan selalu berada di
rumah. Dimana pun ia boleh merindukan jalan pulang.
Di usianya yang ke dua puluh
empat. Dia beranjak dari seorang penjaga serambi menjadi seorang penunggang
kuda. Di sanalah ia akan menemukan kedewasaan. Di sanalah ia akan tumbuh dan berkembang.
Selamat berpuisi di rantauan, wahai pemuda penggenggam asa!
Komentar
Posting Komentar