Senja ketika rasa bersalah itu muncul, Ponokawan Somen bersama Junet memutuskan untuk pergi ke toko buku. Somen masih merasa tidak enak dengan apa yang terjadi di grup Whatsapp sejak kemarin. Langit masih menggulung awan putih dan menggelar mega-mega, angin semilir menabrakkan diri pada pipi Somen dan Junet yang berboncengan motor, namun Somen belum tentu memaafkan salah satu ponokawan yang memperuh keadaan. Toko buku adalah pilihan yang tepat untuknya melupakan itu semua.
"Kate nggolek buku opo toh Men?", tanya Junet kepada Somen yang waktu itu melamun manja.
"Emboh Jun, pokoke nang toko buku, be'e onok buku seng apik." jawab Somen sekenanya.
Melewati beberapa pertigaan, mereka telah mencapai sebuah bundaran. Beberapa meter ke depan, mereka berputar balik. 100 meter dicapai, mereka belok kiri. Somen telah menarget posisi toko buku di sebelah kanan jalan kembar tersebut, sebelum ia kembali memutar balik kendaraan yang pernah dipakainya untuk membonceng Dewi Kencana Asri.
Sesampainya di depan toko buku, ia mencari tempat parkir. Ia menerka-nerka dimana ada banyak motor ditempatkan. Hingga sampailah ia menyimpulkan bahwa tanah seluas kira-kira 2 kali kamar tidurnya itu adalah tempat parkir. "Parkir Gratis", tulisan yang semakin meyakinkan hati Somen bahwa ia telah benar menempatkan motor Revonya.
Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman tentang denah umum sebuah toko buku, Somen memandu Junet untuk naik menuju lantai 2 gedung yang lumayan besar itu. Somen menilik setiap sudut ruang, menelanjangi rak-rak dengan tatapannya yang sok serius, mencoba mencari buku yang cocok untuk menambah koleksinya.
Somen masih menyembunyikan salah satu alasannya untuk pergi ke toko buku kepada Junet selain menanggalkan rasa badmood. Somen sebenarnya ingin membelikan sebuah buku kepada seorang patnernya di kerajaan. Somen merasa perlu memberikan kenang-kenangan karena selama satu tahun telah bekerja-sama dengannya.
"Wes, saiki awaklo kate nggolek buku opo Men?" selidik Junet lagi.
"Golek ono buku seng cocok, seng berhubungan mbek persahabatan, perjuangan mbek cinta, Jun."
"Hmmm..buku opo Men? Lapo emang awaklo nggolek buku seng koyok ngunu?"
Somen tahu jawabannya, namun ia enggan untuk memberitahukan hal itu kepada sahabatnya tersebut. Ia hanya bisa berkata, "Yo gawe koleksiku Jun."
Seketika itu mereka berpencar, Somen memindai rak buku bagian novel dan fiksi, Junet menjauh, memilih untuk ke bagian rohani dan keagamaan.
Sepertinya buku ini bagus, kan menceritakan perjuangan seorang wanita dan kekasihnya untuk dapat bertahan hidup, gumam Somen melihat buku ketiga novel trilogi Divergent, Allegiant. Apalagi ia pernah mendapati patnernya membaca buku kedua dari Veronica Roth tersebut yang berjudul Insurgent. Mungkin ia belum punya buku ini, pikirnya. Tanpa dikomando, Somen mengambil ponsel dari sakunya dan memotret buku tersebut untuk ditunjukkan kepada sang patner. Gambar tersebut dikirimkan melalui Whatsapp. Berharap sang patner membalas pesan dengan cepat, ia malah mendapati tanda centang satu yang menandakan pesan yang ia kirim masih pending.
Tanpa melewatkan waktu terbuang, ia kembali mencari buku yang cocok. Melewati rak buku penuh Novel Assassin's Creed, Somen teringat dengan salah satu ponokawan sahabatnya, Gita. Ponokawan berkacamata tersebut sangat menyukai novel yang bertema pembunuh berkredo tersebut. Kapan-kapan aku belikan Gita buku-buku ini, janjinya dalam hati.
Somen kembali berjalan menyapa rak-raka buku, hingga akhirnya ponselnya berbunyi. Tanda lingkaran hijau di atas layar membuatnya segera memastikan bahwa itu balasan pesan dari sang patner. "Heee aku udah punya, " jawabnya. Eh, ternyata patner Somen itu telah mempunyai buku Allegiant. Tak masalah bagi Somen, sehingga ia dapat meneruskan pencarian.
Ketika langit semakin berwarna hitam, Somen menemukan sebuah buku yang dirasa sangat cocok untuk diberikan kepada patner yang telah berjuang bersamanya selama menjadi abdi dalem. Sebuah buku bersampul cokelat dengan gambar tokoh yang sangat dikenal Somen. Hanoman, begitulah judul buku yang saat ini dipegangnya.
Sekali lagi, tanpa dikomando, Somen mengambil gambar buku tersebut dan mengirimkannya ke patner melalui Whatsapp. Somen melihat tanda centang satu (lagi). Menunggu respon dari ponokawan yang menjadi perhatiannya selama satu tahun terakhir, Somen menuju Junet yang sedari tadi mencari buku pesanannya.
"Piye Jun? Wes oleh bukune ta?"
"Gurung onok seng cocok Men, awaklo wes ta?"
"Wes Jun, buku tentang Hanoman, guduk buku sih, tapi novel"
"Hanoman?" tanya Junet. Somen menangkap sebuah kebingungan dari raut muka Junet.
"Iyo Jun, Hanoman, wanara seng mbantu Rama gawe nyelametno Sinta." jawab Somen menggurui.
"Yaelah aku yo eroh keles, maksudku, Hanoman kan nang cerita Ramayana emang wes mati, tapi mitos e Hanoman jik urip sampe' jaman saiki, jamanne Pandhawa, guru-guru sekaligus tuanne kene," sambung Junet.
Somen baru tersadar dengan perkataan Junet tersebut, Hanoman seharusnya tidak bisa dibuatkan novel kalau ia masih hidup. Atau ada peraturan baru pewayangan yang tak ia ketahui. Karena menangkap rasa penasaran dari air muka Junet, Somen mengajak Junet untuk menuju rak buku tempat novel Hanoman yang ia temukan tadi.
Walaupun ponselnya berbunyi, Somen tak acuh dengannya. Pikirannya berpusat pada salah satu novel yang berada di atas rak di depan ia dan Junet berdiri.
"Endi Men?"
"Iki Jun," balas Somen sambil mengambil satu-satunya buku Hanoman yang ada dan memberikannya kepada Junet.
Sesaat ketika keduanya memegang novel itu bersamaan, novel itu bergetar sehingga mengagetkan mereka berdua. Novel itu terlepas dan terjatuh, beruntung bagi mereka berdua karena tidak sampai jatuh dan menjatuhkan rak di sekeliling mereka. Tiba-tiba novel itu bercahaya putih kemilauan bak permata yang memantulkan cahaya matahari. Cahaya itu begitu menyilaukan kedua mata ponokawan yang bersahabat tersebut, hingga mereka harus menutupnya dengan tangan-tangan mereka. Ruangan toko buku yang sepi tidak ada orang selain mereka menjadikan sore itu menjadi benar-benar menakutkan. Sayup-sayup dari balik cahaya muncul sesosok pria, seakan keluar dari dalam novel. Pria tersebut masih berupa bayangan hingga cahaya menghilang, kini tampaklah sesosok makhluk yang mirip dengan gambar yang ada pada novel yang misterius tersebut. Sosok pria berbulu putih, berekor dan berwajah kera. Hanoman. Hanoman keluar dari sebuah buku.
"Kalian akan menemaniku untuk mengikuti perang terakhir." kata Hanoman.
Somen dan Junet saling bertatapan penuh keheranan, tak hanya rasa takut yang menguasai mereka, rasa penarasan pun memuncaki pikiran.
"Maksudnya?" pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulut Junet.
"Kalian akan menemaniku untuk mengalahkan Rahwana." ucap Hanoman.
"Bukankah Rahwana telah kau kalahkan? Ketika kau bersama Rama dan prajurit lainnya menyerbu Alengka, beribu tahun yang lalu. " balas Junet. Somen keheranan dengan pengetahuan Junet yang meningkat, ia ingat dulu Junet masih belum tahu apa-apa tentang dunia pewayangannya ini.
"Rahwana masih memiliki Aji Pancasona, mustahil baginya untuk meninggal ketika bumi masih berupa tanah. Rahwana alias Dasamuka kini hidup di zaman kalian. Menurut intel, kini ia tengah berada di Kerajaan Gebakasan. Dasamuka menjelma menjadi Raja di sana, Raja yang asli telah lama terbunuh." jelas Hanoman.
Kerajaan Gebakasan. Somen mengenal daerah tersebut, kerajaan itu adalah kerajaan dimana patner Somen kini tinggal. Setahun setelah kerjasama mereka di Kerajaan Madayu, di bawah pimpinan Raja Arha, raja berdarah abu-abu itu menitahkan sang patner untuk mengabdi kepada Raja Mandira di Kerajaan Gebakasan.
Tanpa berpikir panjang, Somen mengajak Junet untuk mengiyakan pernyataan Hanoman. Junet terlihat bertambah bingung dengan perubahan sikap Somen.
Somen bergegas menuju tempat parkir, diikuti oleh Junet dan Hanoman. "Bang, gak jadi beli buku?" terdengar suara petugas toko buku. Pertanyaan itu membuat Somen terhenti, ia masih belum mendapatkan buku yang akan diberikan kepada patnernya dan sekarang ia ingin menemuinya.
"Bener Jun, aku gurung tuku buku, " ucap Somen kepada Junet yang lagi-lagi bingung melihat tingkah sahabatnya itu.
"Engkok ae lah Men, seng penting nang Gebakasan disik, ce' Hanoman iki ndang nyengkreh" saran Junet. Somen mengangguk. Keselamatan sang patner menjadi hal utama sekarang.
Keluarnya dari toko buku, Somen menuju motor Revo hitam yang sedari tadi ditinggalkan. Somen mencari-cari uang 2000an hingga ia berhenti ketika teringat kata-kata "Parkir Gratis". Somen menaikinya, lalu disusul Junet.
"Hla Hanoman iki numpak endi? Mosok cenglu Men?" tanya Junet, benar saja tidak mungkin mereka berboncengan orang tiga. Takut kalau kena tilang polisi wayang.
"Dengan sekali hembusan, aku bisa menyeberangi samudera." kata Hanoman.
Sepertinya kedua ponokawan tersebut terlalu panik hingga melupakan kekuatan yang dimiliki oleh Hanoman. Akhirnya mereka bersepakat untuk naik di atas gendongan sang putra kera.
###
Kacap kacarita. Dengan beberapa kali hembusan nafas, kini mereka telah sampai di Kerajaan Gebakasan, tempat Rahwana menjelma dan tempat patner Somen bekerja.
Malam semakin pekat, hingga Somen memutuskan untuk membuka pesan Whatsapp yang sedari tadi dilewatkannya. ada 2 pesan yang dikirim oleh sang patner,
"Gambarnya ndak jelas Men"
"Afwan Somen, sepertinya Raja Mandira memanggil semua abdi dalem untuk menemuinya sekarang juga di ruang utama Kerajaan, nanti kita sambung lagi." Pesan kedua berselang 5 menit dari pesan pertama.
Hmm, berarti sudah hampir satu jam yang lalu dia berada di sekitar Raja Mandira palsu, gumam Somen mencoba menyimpulkan. Lalu ia berinisiatif untuk menelpon patnernya tersebut. Tidak ada nada, berarti ponselnya tidak aktif.
"Terus saiki lapo lek? Eh, jadi sekarang apa yang kita lakukan?" tanya Junet kepada Hanoman.
"Suasana malam seperti ini, seharusnya lebih gampang untuk mengalahkan Rahwana. Yang terpenting setelah kita menemukannya, kita pancing ia untuk menuju samudera." jawab Hanoman.
"Samudera cidek kene iki endi yo an Men?" sekilas pertanyaan itu tidak didengar oleh Somen, hingga Junet mengulanginya dan menambahkan, "Hee Men!"
Somen yang mencemaskan keadaan patnernya kini tak bisa berpikiran jernih. Ia benar-benar takut jika patner yang selama satu tahun yang lalu menemaninya mengabdi itu terluka dan menjadi korban dari Rahwana. "Ayo segera kita cari Rahwana," tiba-tiba Somen mengusulkan.
Somen lalu berlari kecil ke arah pusat kerajaan, dapat dirasakannya Junet dan Hanoman mengikuti. Mungkin saat ini Junet terheran-heran, namun Somen tetap tak acuh. Keselamatan sang patner adalah prioritas utama. Somen tetap tak ingin memikirkan nama patnernya tersebut, ia hanya ingin terus menganggap ponokawan wanita tersebut sebagai seorang patner, tidak lebih. Takut kalau-kalau perasaan Somen melebihi rasa syukur karena pernah bekerja bersama ia.
Beberapa langkah mereka dapati, dengan bersaut-sautannya suara angin yang menyentuh pepohonan, terdengar sebuah suara ledakan dari pusat kerajaan. Mereka bertiga kaget bukan kepalang. Cahaya yang dihasilkan dari ledakan tersebut, perlahan semakin terang, asap-asap juga berjubelan keluar dari istana. Mungkinkah ini pertanda bahwa perang akan dimulai. Perang? Tiba-tiba Somen teringat sesuatu. Ia berhenti.
"Bagaimana kita akan mengikuti perang jika kita hanya bertiga dan tak punya pasukan?" tanya Somen kepada Hanoman, sepertinya kini ia merasakan pikirannya kembali logis.
"Perang sejatinya hanyalah masalah hati. Barangsiapa yang mantap dan yakin akan suatu kemenangan, maka akan ia dapati kemenangan itu. Aku masih memiliki kekuatan seperti ketika membumi-hanguskan Alengka, aku masih memiliki kekuatan ketika memporak-porandakan kahyangan. Sejatinya yang harus kau takutkan adalah rasa cemas yang ada pada dirimu. Apa yang sekiranya kau pikirkan sejak tadi?"
Kalimat yang disampaikan oleh Hanoman terdengar sangat menguatkan sekaligus melemahkan. Somen yakin dengan kekuatan Hanoman, juga benar apa yang dikatakannya, ia kini mencemaskan salah satu patner yang Somen tak ingin menyebut namanya.
"Aku mencemaskan Ais, patnerku." tanpa Somen sadari, ia mengucapkannya. "Ais berada di negeri ini, satu jam yang lalu ia memberikan ku pesan bahwa semua abdi dalem dikumpulkan di ruang utama kerajaan. Aku khawatir jika ia terluka."
"Jadi seperti itu. Baiklah, lebih baik engkau katakan daripada tidak. Sekarang, sebisa mungkin kalian carilah bantuan. Aku akan kembali ke negeriku untuk mengajak sebanyak mungkin Wanara, dua jam lagi kita berkumpul di sini. Berhati-hatilah. Jangan sampai mati." sedetik setelah Hanoman mengatakan itu, ia lenyap. Kini tinggallah kedua ponokawan di daerah yang asing bagi mereka.
"Ais iku sopo Men?" tanya Junet penuh heran.
"Aku wes tau cerito nang awaklo." jawab Somen sambil melihat Junet menggaruk kepalanya. "Wes gak penting masalah iku, saiki ayo ngehubungi Rosed mbek Takmir. Lek awak dewe wong 4 isok kumpul, ta'pastino awak dewe isok kuat." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Somen menelpon Rosed dan Takmir. Dengan sedikit penjelasan dan lobbying, Rosed dan Takmir memastikan akan bergabung dengan Somen dan Junet. Sepertinya, ini akan menjadi pertarungan mereka berempat setelah lama tidak bertarung, semenjak mengalahkan Raksasa Kamageni beberapa tahun yang lalu.
"Rosed mbek Takmir isok a Men?"
"Isok koq Jun, enteni ae."
"Oke Men, tapi aku jik penasaran mbek Ais, Men!"
"Wes talah"
Sepertinya memang Somen harus memastikan bahwa Ais, patnernya tidak sedang berada dalam bahaya. Sebuah panggilan telepon dilancarkannya. Kali ini ada nada, dan benar beberapa detik kemudian Ais menjawab telepon.
"Somen, Somen, tolong Somen," ucap Ais di balik ponsel.
"Kenapa Ais? Halo Halo"
"Cepat berikan ponsel itu, sudah dibilang yang bawa ponsel segera dikumpulkan. Dasar ponokawan wanita ....."
Suara terakhir yang terdengar, semakin membuat Somen harus berbuat sesuatu. Ia ingin segera pergi ke pusat kerajaan dan menyelamatkan Ais.
"Jun, aku wes gak isok ngenteni maneh, awaklo nang kene ae, entenono Hanoman, Rosed mbek Takmir."
"Hla awaklo kate nang endi Men?"
"Aku pengin nyelametno Ais, aku gak pengin de'e kenopo-kenopo!" tanpa meminta persetujuan dari Junet. Somen berlalu pergi menuju pusat kerajaan. Bulan semakin terang dan memberikan bantuan pencahayaan kepada Somen.
"Ati-ati Meen" Somen mendengar suara Junet dari belakang.
Sebenarnya Somen tidak tahu harus berbuat apa setelah ini, namun berbekal ilmu yang dipelajarinya dari Yudhistira alias Dharmakusuma alias Puntadewa, Somen telah memantapkan hati untuk menemui Ais, apapun yang akan terjadi. Ia yakin bahwa Ais berada di pusat kerajaan yang menjadi asal ledakan.
Beberapa menit berselang, ia tiba di pintu gerbang istana. Tampak lengang, tanpa ada penjagaan, namun sisa-sisa ledakan masih ada. Somen melihat ke sekeliling, hangus yang hanya ditemuinya. Ia kembali melangkahkan kaki, hingga ia berada di dalam ruang utama istana. Kali ini ia benar-benar merasakan kengerian, perutnya mendadak mual. Ia melihat puluhan mayat hangus terbakar, telah berubah warna menjadi hitam, beberapa dari mereka bahkan tak berbentuk manusia lagi. Sepertinya ledakan tadi benar-benar digunakan untuk melenyapkan seisi kerajaan. Dengan menghitung lahan kerajaan yang tak begitu luas ini, mungkin 3/4 penduduk dan abdi dalem telah meninggal di sini.
Ais. Hanya nama itu yang sekarang ada di pikiran Somen, karena beberapa waktu yang lalu ia menelepon, Ais pasti bersama sisa penduduk yang lain yang masih hidup. Namun, sekarang mereka ada dimana? pikir Somen. Kelelahan pikiran dan tubuh Somen mulai menggelayuti. Ia hampir menyerah namun bayangan mengenai Ais terus hadir di pikiran Somen.
Somen akhirnya memilih untuk duduk di sebuah bangku di luar istana. Ia termenung dan mengenang kembali semua kegiatan yang telah dilakukan bersama patnernya tersebut. Ia teringat ketika mereka bertengkar masalah sepele, hingga menyebabkan mereka saling acuh tak acuh terhadap pekerjaan, namun akhirnya bisa berdamai dengan keadaan dan kembali larut dalam keceriaan. Bagi Somen, Ais adalah patner terbaik yang pernah dimiliki, kepedulian kepada Ais hanya karena waktu yang telah dilalui bersama. Somen masih mengharapkan Dewi Kencana Asri, namun kini ia tak lagi memikirkan wanita yang membuatnya harus melawan banyak raksasa yang dikirimkan oleh Raja Jikaraya, Raja yang juga mencintai Dewi Kencana Asri. Somen sekarang hanya berharap Ais tidak mengalami kejadian yang buruk.
Ketika Somen terbang melayang bersama kenangannya. Tiba-tiba ia dikepung oleh puluhan orang, yang tampaknya adalah pasukan Raja Mandira palsu. Somen sontak langsung berdiri, memasang kuda-kuda yang telah diajarkan kepadanya. "Buuzzhhhh" Sebuah tali listrik dilesapkan ke punggung Somen. Somen merasakan kejang yang menjadi-jadi, tak pernah ia merasakan nyeri yang begitu sangat seperti itu, dan akhirnya ia tak sadarkan diri.
###
"Bawa yang lain masuk!" Somen terbangun oleh teriakan seseorang. Ia mendapati tangan dan kakinya terikat namun mulutnya tidak tersumpal. Ia terduduk di sebuah ruangan yang remang, di dalam sini ia melihat banyak penduduk yang senasib dengannya. Sekarang ia tahu dimana sisa penduduk Kerajaan Gebakasan. Kini ia bersama mereka. Penduduk yang lain tak bersuara, lebih memilih diam daripada berteriak. Mungkin mereka telah mengalami kelelahan dan rasa sakit yang tak bisa didefinisikan. Setelah puas menyelidiki ruangan kecil itu, dan tak menemukan Ais, ia berfokus pada pintu masuk, seorang pria besar berjambul dengan tangan terikat digiring masuk. Tentu saja itu Junet, sepertinya ia juga tertangkap oleh pasukan.
Dengan senyum yang sedikit masam, Junet menyapa Somen, "Eh Somen, sepurane yo, aku yo kecekel, tapi gak aku tok koq, Rosed mbek ..."
"Diam!" bentak pasukan yang membawa Junet memotong kata-kata ponokawan sahabat Somen tersebut.
Somen melihat Rosed dan Takmir di belakang Junet, tangan mereka juga terikat. Sepertinya Rosed dan Takmir tertangkap sesampainya mereka datang ke Kerajaan ini.
"Hai Meen.." ucap Takmir, seperti biasanya ia sangat terlihat santai padahal kondisinya seperti ini. Eh, tidak hanya Takmir, Junet dan Rosed juga terlihat santai dan sedang berpikir, apakah mereka telah merencanakan sesuatu?
"Seperti biasanya Men? Siap?" tanya Rosed, ketika mereka berempat telah duduk bersebelahan. Somen menoleh ke arah Junet, lalu ke Takmir. Mereka berdua mengangguk. Benar saja, mereka telah merencanakan sesuatu. "Hanya menunggu waktu saja." lanjut Rosed dengan sedikit berbisik. Somen pun mengangguk, ia ingat salah satu aji yang pernah diajarkan kepada mereka. Yaitu telepati.
"Halo Somen halo.." terdengar suara di kepala Somen.
"Sopo iki?" tanya Somen kepada pemilik suara.
"Junet iki, hahaha, untung awak dewe tau diuruki ilmu telepati." jawab Junet, dan disambung "Rosed mbek Takmir mau pas perjalanan nemu samudera nang cidek kene Men, awak dewe engkok bagian ngobong kerajaan iki, ce' Rahwana metu teko kene. Oh iyo, kene mau yo ketemu mbek anak buah e Hanoman, engkok Hanoman mbek pasukanne ngenteni nang cidek samudera. Awal e kene ditawari pasukan, tapi Takmir langsung nolak haha."
"Hla kene kan kuat lapo atek pasukan barang. Haha" sekali lagi suara misterius muncul.
"Sopo maneh iki?" tanya Somen sekali lagi.
"Yalah, awaklo iki lalian koq Men, iki Takmir, jik pirang ulan gak telepati-an wes lali haha."
"Sepurane lah Mir. Oke, dadi kapan awak dewe mulai ngobrak-ngabrik kerajaan iki."
"Ngenteni awak dewe eroh posisine Rahwana mbek gebetanmu Men." ucap seorang lagi. Somen bisa menerka pasti suara yang terakhir ini adalah suara Rosed.
"Iki pasti Rosed haha, oke lek ngunu tapi lo kesuwen Rek, wong awak dewe kecekel pisan gak isok lapo-lapo."
"Sante ae, iki mau aku kerungu lek awak dewe wong 4 bakal diketemu no mbek Raja Mandira, soale kene kan guduk uwong kene." ucap Takmir.
Di tengah-tengah obrolan mereka di dalam pikiran, salah seorang pasukan datang berbisik ke penjaga yang sejak tadi berdiri di depan pintu ruangan. Penjaga itu kemudian menggangguk, dan berkata, "Kalian berempat, yang bukan penduduk Gebakasan, berdirilah." Setelah penjaga mengucapkan kalimat tersebut, ada empat pasukan berbadan besar memasuki ruangan dan memaksa 4 sekawan untuk berdiri, kemudian menuntun mereka ke suatu tempat.
"Bener kan Men." kata Junet.
"Hahaha, sip Reeek." jawab Somen kepada ketiga sahabatnya melalui telepati.
Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, mereka tiba di sebuah ruangan. Walaupun tampaknya sangat kecil, namun dipenuhi oleh barang mewah, seperti sutra, emas, dan sebagainya. Sepertinya di dalam ruangan telah menanti Rahwana.
Ketika mereka memasuki ruangan, Somen yang paling terkejut. Ia melihat sesosok wanita yang sejak tadi ia cemaskan, tidak lain adalah Ais. Ais berpakaian sangat anggun mirip dewi-dewi kerajaan. Sekilas ia memang seperti Dewi, walaupun sebelumnya ia adalah seorang abdi dalem. Somen sangat bersyukur Ais tidak kenapa-kenapa, tidak ada luka di tubuhnya, namun yang paling mengherankan adalah alasan kenapa ia berada di dalam ruangan bersama Raja Mandira palsu.
Seketika itu Somen berkata, "Syukurlah Ais, kamu tidak apa-apa. Kami di sini akan menyelamatkanmu!"
Somen menatap Ais dengan penuh kebahagiaan dan kecemasan. Ais membalas tatapan Somen dengan bimbang, tak sedikit pun senyuman diberikan kepadanya. Wajah manis itu hanya tertunduk sedih ketika Somen menampakkan wajah kebingunan. Somen merasakan ada yang tidak benar dengan ini semua.
"Tidak perlu repot-repot untuk menyelamatkan Ais hahaha" potong Raja Mandira palsu diikuti tawa arogan. "Ais akan tetap disini untuk melayani ku." lanjutnya.
"Raja Mandira itu palsu, Ais, dia itu Rahwana!" teriak Somen. Matanya berkaca-kaca tidak percaya.
"Aku tahu itu, Somen, aku tahu, semenjak Rahwana tahu aku adalah hasil reinkarnasi Dewi Trijata, Puteri Wibisana. Di kehidupanku yang lalu, aku adalah penjaga Sita, aku telah mengabdi kepada Rahwana, tuanku yang sekarang telah menjelma Raja Mandira. Aku harus slalu setia kepadanya." kali ini Ais berbicara, namun kata-katanya tidak masuk akal. Somen semakin merasakan nafasnya tertahan karena mengetahui kebenaran ini.
"Tapi, kenapa? Saat ku telepon tadi, kau membutuhkan bantuan, Ais!" tanya Somen.
"Maafkan aku Somen," Ais lirih menjawab pertanyaan dari Somen.
"Akting yang sangat bagus kan?" tambah Raja Mandira palsu. "Kalau tidak begitu, kau dan kawan-kawanmu tidak akan sampai di sini."
"Maafkan aku yang telah membawamu dan teman-temanmu dalam posisi seperti sekarang, aku sangat menghargai perjuanganmu untuk mencoba menyelamatkanku, aku hargai itu Somen. Aku berterima-kasih atas semua pengalaman dan kenangan yang kita lalui bersama sebagai patner di kerajaan Madayu dulu. Tapi memang takdirku tidak harus menjadi orang baik..."
"Bohong! Kamu memang orang baik, Ais! Kembalilah menjadi Ais yang kukenal dulu, kemungkaran adalah musuh abadimu. Orang ini, orang yang mengaku sebagai Raja Mandira ini telah membunuh banyak orang, masih sudikah kau melayaninya?"
"Tidak Men, kamu tidak tahu yang sebenarnya!"
"Sudah-sudah, jangan diteruskan, " potong Raja Mandira palsu. "Penjaga! Segera eksekusi mereka, setelah itu kita tinggal menunggu Hanoman sampai di kerajaan ini, jadi jangan lupa menyiapkan perangkap!"
"Siap-siap, Reek!"
Sesaat ketika, para pasukan penjaga mendorong Junet, Somen, Takmir dan Rosed untuk keluar ruangan. Somen menggigit tangan penjaga yang memeganginya. Somen sering melatih gigi taringnya untuk dapat memotong benda-benda keras, sehingga dengan sekali gigitan tangan penjaga tersebut putus. Somen terlepas ketika mendengar jeritan penjaga, ia melihat ketiga sahabatnya menggunakan jurus masing-masing untuk melepaskan diri. Junet menggunakan aji jambul seoknya, Takmir menggunakan rambut poninya dan Rosed menggunakan jenggotnya. Selepas memastikan ketiganya berhasil, Somen berlari ke arah Ais. Ia merangkulnya. Mencoba menyelamatkan sesuai dengan keinginannya.
Melihat kondisi yang di luar dugaan, Raja Mandira palsu menjelma menjadi wujud asli Rahwana. Ia terbang keluar ruangan. Rosed, Junet dan Takmir mengejarnya. Tinggalah Somen di dalam bersama Ais. Ia ingin meminta jawaban dari ponokawan wanita tersebut.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Somen.
"Maafkan aku Somen, hiks hiks hiks, " tanpa diduga air mata Ais tumpah. "Ini semua salahku! Sebenarnya aku tidak ingin mengabdi kepada Rahwana, namun ... "
"Aku tidak paham, Ais, apa salahmu?"
"Konflik batin yang dirasakan oleh Rahwana adalah keinginan untuk balas dendam kepada Rama dan Hanoman. Rahwana ingin sekali membunuh mereka berdua, siapapun jelmaan dan hasil reinkarnasi keduanya. Sehingga Rahwana melakukan apapun untuk mencari mereka, bahkan telah mengancam beberapa raja di dunia pewayangan ini. Raja Mandira konon salah satu orang yang tidak ingin mengikuti keinginan Rahwana, maka itulah ia terbunuh. Melihat kekosongan ini, ia pun menggantikannya dengan berubah wujud. Ketika Raja Arha mengirimku ke sini, tepat sehari setelah kita berpisah. Rahwana telah melihat tanda-tanda Dewi Trijata pada diriku, aku yang sebelumnya tidak percaya akhirnya dibuat yakin dengan penjelasannya. Sehingga aku harus mengabdi kepadanya. Dan salahku adalah aku telah memberitahu Rahwana gambar yang kamu kirimkan kepadaku melalui Whatsapp!" jelas Ais panjang lebar. Somen semakin tidak memahami maksud perkataan Ais.
"Gambar apa?"
"Gambar buku Hanoman, karena beberapa kali Rahwana mendengar kabar bahwa Hanoman menjelma menjadi sebuah buku, dan kamu mengirimkan gambarnya kepadaku, maka seketika itu aku forward ke Whatsapp Rahwana. Ia langsung merespon untuk mengumpulkan pada ponokawan dan dewi kerajaan ini. Dan kini aku menyesal telah melakukannya. Maafkan aku."
"Tidak Ais, tidak, kamu tidak salah, ini semua adalah takdir."
"Aku tidak menyangka kalau kamu orang yang akan menemukan buku Hanoman tersebut, dan aku telah membawamu ke dalam bahaya seperti ini!" tangis Ais semakin menjadi, Somen menyeka air mata Ais dengan tangannya.
"Ayo kita lalui semua ini bersama, aku berjanji akan menjagamu, aku berjanji. Setelah semua ini usai, kembalilah bersamaku ke Negeri Madayu, aku akan bilang ke Raja Arha untuk mengangkatmu kembali menjadi ponokawan di sana."
"Terima kasih, Somen. Kamu memang patner terbaik." kini Ais menunjukkan senyumnya yang manis.
Setelah itu Somen merangkul tubuh Ais. Tiba-tiba datang Junet, Somen melepas pelukannya "Men, ayo ngaleh, Rosed kate ngobong wilayah iki, penduduk wes diselametno Takmir, tapi Rahwana jik gurung kecekel. Hanoman mbek pasukanne wes siap-siap ngenteni Rahwana metu."
"Oalah, iyo Jun, sewon." balas Somen dan Junet berlalu. "Ayo kita pergi, Ais." ucap Somen kepada ponokawan wanita di sebelahnya. Ais mengangguk. Lalu mereka terbang bersama.
###
Setelah diberi kabar oleh Junet, Somen yang telah berada di kerajaan Madayu bersyukur lega. Rahwana telah dibunuh oleh Hanoman dan diceburkan ke dalam samudera sehingga ia tidak bisa hidup kembali. Sepeninggal Rahwana, Hanoman berpamitan kepada Junet, Takmir dan Rosed serta tidak lupa menitipkan salam kepada Somen dan permintaan maaf karena telah membawa mereka ke dalam peperangan.
"Nah, mana bukuku?" tanya Ais kepada Somen. Somen tersentak, ia lupa akan hal itu. Sejurus kemudian, ia pamit kepada Ais untuk ke toko buku. Ais hanya bisa tersenyum melihat tingkah patner terbaiknya tersebut.
Beberapa jam kemudian, Somen kembali dengan membawa 2 buku.
"Aku yang Api Tauhid ya? Kamu buku yang bersampul kuning ini." ujar Somen sambil menunjukkan 2 buku tersebut kepada Ais. Merekapun tertawa.
Komentar
Posting Komentar