Ian bersedih melihat tubuh Sekar
bersimbah darah. Ada bulatan kecil di dada samping bahu kanan yang tercipta
gara-gara peluru yang ditembakkan kepadanya. Wanita itu telah menghembuskan
nafas terakhir di pangkuan Ian. Dilihatnya hadiah dan bunga yang tak sempat ia
ucapkan terima kasih itu tergeletak. Pria berkacamata yang telah mengganti
kostum wisudanya dengan pakaian khas Assassin bertekad akan mengejar pasukan
Templar yang telah melakukan hal keji itu.
Setelah membaringkan Sekar,
mendoakan ketenangan untuk wanita itu, pikiran Assassin muda melambung pada
kejadian beberapa menit yang lalu. Seharusnya ini adalah hari paling
membahagiakan untuk Ian dan Sekar.
Pagi sehabis Ian berganti pakaian
wisuda dan memakai toga di kamar mandi kampus, ia bersama Soi berjalan ke arah
Graha ITS. Semuanya tampak normal. Sebagai seorang Assassin tentu saja ia harus
selalu waspada dengan segala kemungkinan. Ia menyelipkan sebuah bilah pisau
tersembunyi di balik jubah panjangnya, yang dapat langsung ia pakai bila
terjadi sesuatu.
Iring-iringan orang tua, keluarga
dan orang-orang terdekat para wisudawan yang lain dilihat Ian dengan penuh
kebahagiaan. Soi juga tak kalah bahagia (sepertinya). Apakah hari ini Soi juga
akan mendapatkan sebuah kejutan, sama seperti dirinya yang telah dijanjikan
oleh Sekar bahwa wanita cantik itu akan datang di momen paling membahagiakan
ini.
Sekar adalah wanita yang telah
menyadarkan Ian dari kredo Assassin yang salah. Dari kredo yang beranggapan
bahwa tidak ada yang benar dan semua diizinkan, terutama melacur, merampok,
mencuri dan membunuh untuk tujuan kemanusiaan. Walaupun Ian mencoret bagian
membunuh untuk kegiatan yang akan ia lakukan di saat-saat genting. Khususnya
kepada pasukan Templar. Ian telah meyakinkan saudara-saudara di Persaudaraan
Assassin jika ia akan selalu setia terhadap orang-orang yang telah melatih dan
menerimanya. Berbeda keyakinan, namun tetap bersaudara, jelas Ian.
Dan hari ini, Sekar berniat akan
datang. Jauh-jauh dari Jakarta di mana ia sedang melanjutkan studi. Sekar
berniat memberikan kejutan, entah apa itu.
Ian bersama Soi mendekati gedung
besar berbentuk persegi delapan di depan. Gedung yang megah. Sakral. Mereka
berdua berjalan ke arah pintu masuk utama. Para pria dan wanita yang memakai
baju seperti yang mereka berdua kenakan, memenuhi area sekitar gedung Graha.
Tak sedikit dari mereka yang mengabadikan hari itu dengan mengambil foto. Ian
membayangkan dirinya akan bersanding dengan Sekar dalam sebuah foto yang membahagiakan.
“Foto ?” ajak Ian kepada Soi.
Soi mengangguk dan mengeluarkan
ponsel untuk memotret mereka berdua. Selfie.
“Hari ini teman-temanmu akan
datang?” tanya Ian kepada salah satu temannya itu. Sampai sekarang, Ian belum
memberitahu Soi tentang siapa ia sesungguhnya bahwa ia adalah seorang Assassin.
Ian sering menceritakan kisah-kisah heroik terdahulu kepada Soi. Tentang para
Master Assassin. Tentang Altair, tentang Ezio, juga tentang Persaudaraan
Assassin. Bagaimana Ian menceritakan hal itu kepada Soi adalah seakan-akan
kisah itu adalah fiksi. Padahal di balik baju wisuda yang Ian kenakan, terdapat
pakaian Kebesaran Assassin yang disamarkan seperti kemeja lengan panjang, juga
bilah pisau tersembunyi yang telah menewaskan puluhan pasukan Templar.
Soi terlihat ragu. “Entahlah,”
mukanya mencoba untuk menampilkan sedikit senyuman. “Aku memang
mengharapkannya, tapi aku tidak terlalu berharap lebih.”
“Semoga ada kejutan manis untukmu,
Kawan.”
Obrolan mereka terpotong oleh
panitia wisuda yang menghimbau para wisudawan untuk bersiap memasuki Graha.
Para wisudawan, termasuk Ian
berbaris sesuai posisi masing-masing. Barisan itu telah ditentukan sesuai abjad
yang diberitahukan sebelumnya. Dan setelah menunggu sekitar 30 menit, rombongan
orang-orang yang saling menampilkan muka berseri berjalan memasuki tempat
upacara wisuda.
Para fotografer, orang tua, undangan
dan orang-orang berkepentingan lainnya berdiri di samping kanan kiri rombongan
itu. Ian memandangi wajah mereka satu-satu, berharap Sekar telah tiba. Namun ia
tak menemui wanita berparas ayu itu sampai kini ia duduk menunggu acara upacara
wisuda berakhir. Sekar memang benar-benar membuat kejutan, pikirnya.
Prosesi wisuda itu berjalan khidmat.
Ian telah mendapatkan ijazahnya. Ia duduk di bagian kursi cumlaude dan tidak
duduk di tempat awal tadi. Setelah semua wisudawan mendapat ijazah, pembawa
acara mengumumkan kegiatan selanjutnya adalah pemberian penghargaan khusus
kepada lulusan terbaik seperti dirinya. Ia berharap Sekar dapat melihat
dirinya, dengan perasaan bangga. Ian mendongak ke arah para undangan yang
berada di lantai 2 dan 3, mencoba mencari Sekar. Ia pindai dari ujung ke ujung,
tak ditemuinya. Dan ketika mencapai gerombolan orang dengan kebaya dan batik,
ia melihat seorang pasukan Templar! Pria berbaju perak dengan salib terbalik di
pundaknya. Ian dapat mengenali pasukan Templar dengan baik, karena ia telah
menghabisi banyak di antara mereka. Ia kecolongan. Ia akhirnya dapat melihat
dua, tiga, empat, banyak sekali pasukan Templar di dalam Graha. Mereka membaur
dengan para undangan.
Pikiran Ian menjadi kacau, ia hanya
membawa sebuah bilah pisau yang dapat digunakan dari jarak dekat. Ia tidak
menyangka posisinya akan seperti ini, tak terpikir dengan kejadian macam ini. Sekar
akan datang. Tentu saja Templar mengetahuinya dan akan membunuhnya. Templar
ingin membalas dendam.
Kini, Ian tak fokus dengan
penyerahan piagam penghargaan. Ketika disuruh maju, ia maju. Ketika namanya
dipanggil, ia berjalan dengan lunglai, memamerkan senyum palsu, mengambil
piagam itu dengan perasaan kacau balau. Ia takut jika Sekar sekarang dalam
bahaya.
Setelah semua acara wisuda selesai,
Ian bergegas keluar Graha. Panggilan Soi dari belakang tak dihiraukannya.
Di depan pintu Graha, ia disambut
oleh arak-arakan mahasiswa berbaju biru dan berjaket biru. Mereka menyanyikan
lagu-lagu penyemangat. Di sini IT, di
sana IT, ...Dengan tabuh-tabuh yang begitu menggetarkan hati. Ian terpaksa
menyunggingkan senyuman ketika menyalami satu per satu dari mahasiswa yang
menyambutnya. Pikiran Ian hanya tertuju kepada Sekar. Dimanakah wanita itu
sekarang?
Ketika dirasa terlepas dari
orang-orang yang menyambutnya, ia memutari Graha untuk mencari Sekar. Tak lupa
ia menelepon untuk mengetahui posisinya. Tidak ada jawaban.
Ia memanjat salah satu tangga yang
ada di samping Graha. Memegang erat-erat pinggiran-pinggiran gedung itu, supaya
ia tidak terjatuh sampai berada di puncaknya. Ia ingin mencari Sekar, dan juga
melihat seberapa banyak pasukan Templar, di sekitar Graha dari atas gedung itu.
Ia mencapai atas gedung dengan
cepat, baju wisuda yang dikenakan tak mengganggu sama sekali. Dengan sedikit
merunduk dan hati-hati, ia berjalan di sepanjang ruas antara genting dan
pinggir atap Graha. Matanya memelototi setiap wanita yang berdiri atau berjalan
sendirian. Ia juga tak melewatkan pria-pria dengan kostum perak dengan lambang
Templar. Ia menyesal tidak membawa pistol tangan yang dapat membunuh dari jarak
jauh.
Dari atas Graha, Ian dapat melihat
wanita berjilbab cokelat, juga pakaian yang berwarna serupa. Kacamata kotak
memantulkan cahaya. Cara berjalan yang sangat Ian hafal. Membawa tas yang
disampirkan di pundak. Membawa sebuah benda seperti balok yang dibungkus kertas
kado dan seikat bunga. Itu Sekar!
Sekar tampak melihat HP, mengetikkan
sesuatu dan meletakkan HPnya di telinga. HP Ian berdering.
“Hai, Ian. Kamu di mana? Aku udah di
depan pintu samping Graha.”
“Tunggu saja di situ, Kar. Aku akan
menemuimu, tetaplah berada dekat orang-orang.” Ian berjalan mencari tempat
turun setelah mengunci posisi Sekar.
“Kenapa?” jawab Sekar. Ian bingung,
apakah ia harus memberitahu Sekar bahwa ada banyak pasukan Templar di sini atau
tidak.
“Tidak apa-apa, tetap berada di
daerah aman.”
“Harus?”
“Aku akan datang dengan cepat.” Ian
telah bersiap untuk melompat.
“Seperti yang kau omongkan.”
Sambungan telepon itu terputus.
Ian berjalan ke tepi atap, melihat
ke bawah. Ia menarget salah satu semak yang ada, yang dirasa akan membantunya
mendarat. Juga dirasa tidak akan menarik perhatian orang-orang.
Dengan sebuah pijakan yang kuat, ia
melompat, melayang beberapa detik dan mendarat dengan aman di semak-semak.
Latihan Assassin sangat bermanfaat baginya.
Setelah membersihkan bajunya dari
kotoran-kotoran, rumput-rumput dan dedaunan, ia berlari ke lokasi di mana Sekar
sedang menunggunya. Berlari di antara mahasiswa dengan warna jurusan yang
berbeda, merah, hijau, kuning dan biru. Ia juga harus menghindari para orang
tua dan wisudawan.
“Sekar!” teriak Ian begitu melihat
wanita yang mengubah hidupnya itu.
“Hai,” Sekar menyodorkan hadiah dan
bunga ke arah Ian. “Selamat wisuda ya! Ingat janjimu setelah ini kau akan
menemui Ayah!”
Tanpa membalas, Ian menarik tangan
Sekar untuk membawanya di bawah kerumunan mahasiswa yang menyambutnya tadi.
Hadiah dan bunga masih dibawa Sekar. Dirasakannya muka Sekar yang
kebingungan.
“Kita mau kemana?” tanya Sekar.
“Kamu di sini dulu,” jawab Ian
begitu mereka berada di bawah panji kebanggaan Himit. Lagu-lagu penyemangat dan
yel-yel masih terus dinyanyikan. “Tetaplah aman, aku akan pergi sebentar.”
Selepas memastikan Sekar aman
bersama adik-adik kelas di jurusannya. Ia mencari para pasukan Templar.
Ian melihat salah satu di antara
mereka berjalan sendirian di samping taman Graha. Cocok! Tidak banyak orang di
sana, setelah membunuhnya, Assassin itu dapat mendudukkannya di salah satu
pohon. Ian bergerak mendekati mangsa itu dengan cepat.
Ketika tinggal 2-3 langkah, ia
menggoyangkan tangan kanannya. Cling. Pisau dari balik senjatanya keluar, namun
tetap berada di balik kain kemeja.
Ia membenamkan pisaunya di punggung
Templar itu. Templar itu meringis, matanya terbelalak. Ian menarik pisaunya
vertikal, ke atas, membelah punggung sang korban. Saat hembusan nafas itu
hilang, Ian meletakkan mayat itu di bawah pohon dengan posisi duduk. Satu
pasukan Templar telah tewas. Namun, sisa berapa lagi? 5 atau 6? Ia tak dapat
memastikan, setidaknya ia harus menghabisi sebanyak mungkin supaya Sekar dapat
selamat.
Ian kembali berjalan memindai
sekitar Graha dan tak lupa menoleh ke arah arak-arakan mahasiswa berbaju biru,
melihat kondisi Sekar. Ketika dirasa masih aman, ia lanjutkan pencarian.
Salah seorang Templar berjalan
mendekat ke arahnya. Ian buru-buru mencari gerombolan orang untuk
menyembunyikan diri yang pasti telah dikenali oleh pasukan Templar. Ian sedikit
kebingungan untuk membunuh mereka semua karena kondisi sekitar yang ramai.
Berbeda dengan Templar yang dapat melakukan apapun bahkan di lokasi yang tidak
memungkinkan seperti sekarang. Berani membunuh walaupun mereka akan terbunuh.
Entah mengapa, Ian berharap
saudara-saudara Assassin hadir di sini untuk membantunya. Atau minimal
membawakan senjata yang dapat digunakan jarak jauh.
Sekelebatan pasukan Templar di depan
Ian. Assassin muda itu berjalan mendekat, tanpa kompromi langsung menggorok
leher pria berkostum perak itu. Darah mengalir dari lehernya. Ian tak
memperhitungkan akibatnya.
Seorang ibu berbaju kebaya hijau
yang melihat kejadian itu langsung menjerit. Ian berlari menjauh ketika dua
orang satpam mendekati mereka. Mayat korban Assassin yang sedang bingung itu
tergeletak di atas tanah. Tiba-tiba terdengar suara pistol ditembakkan. Dor!
Orang-orang seketika langsung berlarian.
Semburat. Mereka mencari lokasi teraman bahkan sebelum mengetahui apa yang
sedang terjadi. Sedikit keberuntungan karena Ian dapat lolos dari tangkapan
petugas keamanan. Tanpa diduga, para pasukan Templar membawa pistol.
Ia mencari ruang sempit di bawah
tangga untuk melepaskan baju wisudanya.
Setelah melepas semua atribut yang
menghalangi, ia mengencangkan kait di belakang kacamatanya, menarik tudung dari
dalam kemejanya. Ia berlari ke arah rombongan biru yang juga telah berpencar
kacau. Ia dapat melihat Sekar kebingungan, seakan mencari dirinya. Ia berlari
lebih cepat. Lalu terdengar suara tembakan lagi.
Tanpa diduga, ia melihat tubuh
wanita yang begitu dicintainya itu melorot, turun ke tanah. Sebuah cairan
berwarna merah mengalir dari dadanya, membasahi jilbab dan pakaian cokelat yang
dikenakan Sekar. Sempat Ian tak mempercayai apa yang dilihat. Namun ia berubah
menjadi pria pemarah ketika melihat seorang pasukan Templar mengacungkan sebuah
pistol ke arah Sekar.
Ian langsung berlari ke arah
pembunuh Sekar. Menancapkan pisau tersembunyi di dada pria itu, sama seperti
posisi peluru yang menghujam dada Sekar. “Beraninya kau, Bangsat!” teriak Ian
ke arah seorang pasukan Templar itu. Senyuman sarkasme diberikan kepada Ian.
“Kami telah membalaskan dendam
kami!”
Ian menarik pisau itu dari dadanya
dan membenamkan lagi ke perut, menarik pisau lagi, membenamkan kembali ke dada,
berulang kali. Kemarahan membuatnya hilang kesadaran. Ia tak mempedulikan
teriakan dan lolongan orang-orang di sekitarnya.
Tubuh korban itu jatuh ke tanah. Ian
berlari menuju Sekar yang sudah sedikit sekarat. Kalau bukan seorang Assassin,
mungkin dirinya akan menitikkan air mata. “Sekar!” Digapainya tangan lembut
itu. “Kau harus bertahan, aku akan membawamu ke rumah sakit!”
“Kau hebat, Ian. Kau lulus dengan
pujian!”
“Tidak Sekar, tidak. Aku akan
membawamu dari sini.” Terdengar suara tembakan lagi. Para petugas keamanan
berlarian mendekati pria yang membawa pistol-pistol itu.
“Sekali lagi, selamat Ian. Kau telah
wisuda!”
“Sekar, maafkan aku karena tidak
becus menjagamu!”
“Maafkan aku Ian karena bukan ini
kejutan yang aku rencanakan,” suara Sekar lama-kelamaan semakin lirih. Ia
batuk, mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Kau adalah Assassin!” ucap Soi
mendekati Ian dan Sekar.
Orang-orang mengerumuni mereka
berdua ketika Sekar tersenyum untuk yang terakhir kali. Wanita yang cantik.
Kacamata kotak. Jilbab cokelat dan baju cokelat itu tak akan dilupakan oleh
Ian.
Komentar
Posting Komentar