Langsung ke konten utama

Pembakaran Hak Asasi dan Nurani

Di siang yang terik itu, Ponokawan Junet berlari ke rumah Somen, dengan tergesa-gesa, hingga mulut ndowehnya bergetar tak keruan. Ponokawan yang memiliki Aji Jambulseok itu ingin menyampaikan suatu kabar berita kepada sahabatnya tersebut. Kabar yang menurut Junet adalah kabar yang akan membuat Somen tertarik untuk dibahasnya bersama. Junet tahu kalau sahabatnya itu suka membahas hal-hal macam apa yang ingin disampaikannya. Dengan nafas yang tersengal, Junet akhirnya sampai di depan rumah Somen, di Negeri Madayu. Tanpa menunggu kaki-kakinya berhenti bergetar, Junet memanggil nama Ponokawan yang sempat menggegerkan Negeri Kahyangan karena cintanya kepada Dewi Kencana Asri. 3 kali panggilan, Somen pun menjawab. Beruntung bagi Junet karena ponokawan Somen berada di rumah, ia sedang tidak bertugas di keraton Raja Arha. Seketika itu Somen bertanya, ada apa koq grusa grusu kepada Junet. Junet mengatur nafas supaya ucapannya dapat enak didengar Somen.



"Tadi pagi ada pembakaran tempat ibadah!" Junet mengatakan kalimat tersebut dengan nada agak tinggi. Kalau dibandingkan dengan berita kapan hari yang ia sampaikan kepada Somen, ini lebih daripada itu. Waktu itu Junet memberikan berita bahwasana di suatu negeri nan jauh terdapat budaya selfie, alias pamer foto diri sendiri. Junet menganggap bahwa budaya selfie tersebut akan menganggu kehidupan dunia pewayangan, entah apa penjelasannya waktu itu. Hanya saja, setelah mendengarkan kuliah Somen mengenai bahaya dari media sosial, Junet sekarang menjadi semakin berhati-hati dalam menggunakan facebook, twitter, path, instagram, dan sebagainya. Takut terkenal, katanya. Dan sampailah ia pada siang ini dimana ia membawa kabar yang menurutnya sangat perlu untuk diberitakan kepada Somen, ponokawan yang mudah sekali galau masalah cinta. Somen mudah galau alias gundah, karena ia tidak pernah merasakan cinta yang bertepuk dua tangan. Cinta Somen selalu saja tak terbalas, padahal ia gemar menulis puisi-puisi romantis dan melukis muka-muka manis dewi-dewi dan puteri-puteri yang ia kagumi.

"Tempat ibadah mana yang dibakar Jun?" tanya Somen. Kali ini ia tidak hanya bertanya, melainkan juga mempersilakan Junet untuk masuk ke ruang tamunya. Junet duduk dengan sangat nyaman, seakan letih selama berlarinya tadi terbayar.

Junet belum menjawab, ia malah tersenyum. "Kalau pembicaraan ini mau dilanjutkan, ada baiknya kamu bikinin aku teh manis, Men!" Junet memang sahabat Somen yang paling dekat, sehingga ia tidak malu apalagi sungkan untuk menyuruh sang tuan rumah untuk menyediakan minuman untuknya. Junet menatap muka Somen yang dibalas dengan anggukan.

Sebelum menuju dapur, Somen juga sempat memberi ijin kepada Junet untuk makan jajan dan camilan yang sudah tersedia di atas meja. Tanpa ragu, Junet membuka toples Kong Cuan yang ternyata isinya rempeyek kacang. Sial bagi Junet, tapi ia menarget kue kastangel yang ada di pojok meja untuk mengurangi sewotnya. Somen yang telah kembali dari dapur, membawa nampan di atasnya 2 gelas teh manis itu tersenyum, menaruh teh-teh manis itu di atas meja dan duduk di kursi di seberang Junet. Siap untuk ngobrol ngalur ngidul.

"Enak jajanmu, Men. Hehehehe" Junet, sahabat Somen itu memang tidak pernah menutup-nutupi tingkah laku dan perasaannya kepada Somen. Ndak pernah jaim kalau kata Somen suatu ketika. Begitupun dengan Somen, ia tak ragu untuk curhat sejujur-jujurnya bila ia merasakan gundah yang sangat. Antar Junet dan Somen terdapat kepercayaan yang tinggi, untuk menjaga rahasia satu sama lain. Saling menjaga perasaan dan toleransi bila di antara keduanya terdapat perbedaan. Somen menghargai Junet sebagaimana Junet menghormati Somen.

"Habiskan saja Jun kalau mau, jangan lupa diminum tehnya, biar ndak kesereten." Somen menimpali enak jajanmu, Men dari Junet. "Pertanyaanku tadi belum kamu balas, Jun." Kini Somen mulai menanyakan hal serius tersebut kepada Junet. Somen memikirkan hal-hal di luar kemanusiaan setelah mendengar topik pembicaraan yang dibawa oleh Junet. Bagaimana ia membayangkan suatu konsep hak asasi manusia untuk beribadah itu direbut dengan cara yang tidak bisa dinalar. Ia membandingkan dengan pembakaran-pembakaran yang lainnya. Seperti pembakaran pasar, pembakaran rumah semi permanen di bantaran kali, pembakaran mayat, pembakaran sampah. Pembakaran pasar dan pembakaran rumah semi permanen biasanya diawali dengan sengketa lahan, penggusuran yang tak diindahkan dan konflik sejenis, semacam lingsem alias saling gengsi. Di dalam masalah seperti itu, pembakaran yang dibuat seolah-olah menjadi suatu bencana atau kecelakan digunakan untuk mengusir secara tidak langsung kepada penghuninya, baik yang di pasar maupun di rumah semi permanen. Ada harga yang harus dibayar dari sebuah pembakaran jenis itu, yaitu tangis dan kesengsaraan. Dengan dalih mengambil hak pemerintah, cara seperti itu dilakukan.

"Di Negeri Papua, Men! Di Dusun Karubaga." jawab Junet. Setelah mendengar itu, Somen melanjutkan analisanya. Jika memang pembakaran mushala itu sejenis dengan pembakaran pasar dan rumah semi permanen, berarti mushala tersebut berada di lahan yang disengketa. Ada sebagian orang yang menginginkan wilayah itu. Mungkinkah orang-orang yang ada di tempat ibadah itu pernah diajak bicara mengenai penggusuran, kalau memang ingin digusur. Somen masih tetap berprasangka baik bahwa pembakaran itu bukan termasuk konfik antar agama.

"Pembakaran itu disengaja atau tidak Jun?" tanya Somen semakin penasaran. Selama ini yang dia tahu bahwa pembakaran untuk mengusir orang dilakukan dengan sengaja, namun tidak diketahui orang banyak. Khalayak ramai hanya boleh dibiarkan tahu jika kebakaran yang terjadi merupakan bencana dan disebabkan oleh hal-hal remeh macam korek api, bukan kesengajaan oknum.

Junet kali ini mencoba melihat dari sisi yang lain. Dengan pengetahuan barunya mengenai ilmu pewayangan, ia berkata, "Pembakaran ini sesengaja Duryudana, Sengkuni dan kurawa yang lain saat ingin membunuh Pandawa dan ibu mereka." Tanpa diduga Junet menghubungkan pembakaran ini dengan cerita pewayangan paling bersejarah yaitu Bale Sigala-gala. "Saat mengetahui Puntadewa dan adik-adiknya belum mati, Sengkuni memberi gagasan kepada Duryudana untuk membuat sebuah rumah hiburan yang nantinya akan dibakar bila Pandawa telah berada di dalamnya, Kurawa secara sengaja menyiapkan pembakaran tersebut. Mungkinkah pembakaran tempat ibadah itu telah direncanakan sebelumnya?" tanya Junet.

Somen tidak menjawab awalnya, ia memikirkan apa yang disampaikan oleh Junet. Somen bingung, seharusnya yang bertanya hal demikian itu dia bukannya Junet. Somen sempat sewot namun ia kembali menganalisa dan berkata, "Pembakaran tempat ibadah dan kejadian Bale Sigala-gala itu berbeda Jun, pembakaran tempat ibadah berarti telah mencederai toleransi, bila memang itu didasari agama, namun kejadian Bale Sigala-gala adalah wujud kebencian dan balas dendam pihak Kurawa kepada Pandawa. Dua hal yang berbeda." Somen tetap berkeyakinan bahwa pembakaran itu disebabkan oleh tidak legalnya tempat ibadah tersebut, adanya miskomunikasi hingga akhirnya terjadi hal demikian. Lagi-lagi ia tak ingin memikirkan hal-hal intoleransi karena dunia pewayangan, khususnya Negeri Nusantara sedang belajar untuk bertoleransi.

"Memang secara kulit itu berbeda, Men, tapi seperti katamu, mungkin saja ada kebencian di sana. Dan keduanya adalah bentuk dari perenggutan hak asasi. Pembakaran tempat ibadah telah merebut kebebasan untuk beribadah, kan? Seakan-akan umat yang telah beribadah tersebut dilarang untuk beribadah, apalagi untuk menunaikan ibadah wujud perwujudan kemenangan, setelah satu bulan digembleng bak dijeburkan ke kawah Candradimuka." Junet terhenti, ia menarik salah satu gelas teh yang disediakan Somen. Ia meminum teh sedikit dan melanjutkan, "Dan ia akan mengambil hak untuk hidup, karena disana terdapat orang hidup yang berpotensi mati toh? Jika terbakar! Sama seperti Bale Sigala-gala."

"Dan benar seperti dugaanku dan analisamu Jun, bila pembakaran tempat ibadah ini mirip dengan kejadian Bale Sigala-gala, adanya kebencian dan pengambilan hak asasi, maka pembakaran ini dibuat secara tidak sengaja dan diberitakan bahwa terjadi karena kecelakaan, sama seperti ketika Duryudana dan Kurawa lainnya mengabarkan bahwa rumah yang didalamnya terdapat Pandawa dan ibu mereka terbakar adalah sebuah kecelakan, tapi akhirnya kebenaran tersingkap dan menunjukkan bahwa kejadian itu telah direncanakan oleh Kurawa dan ide dari Patih Sengkuni. Pembakaran tempat ibadah seperti ini berpotensi mengakibatkan adanya perang Jun!" Kali ini Somen tampak lebih serius daripada sebelumnya. "Namun, semoga saja tidak terjadi. Dunia pewayangan harus lebih kondusif, apalagi Negeri Nusantara yang toto tenterem kerto raharjo. Tapi, kamu tahu darimana Jun kalo ini disengaja? Sampe kamu nyambungin ke Bale Sigala-gala."

"Gini lo Men, aku tahunya berita ini dari sosmed, walaupun aku udah tobat dari penyalahgunaan sosmed setelah kamu kuliahi, beberapa teman di sosmedku masih sering nyebarin berita-berita gitu, biasanya sih aku gak peduli soalnya kebanyakan hoax, tapi yang satu ini asli Men! Sudah aku kroscek di google. Aku taunya sengaja itu soalnya aku nemu ada selebaran yang nyuruh pembakaran itu." Junet sepertinya baru teringat sesuatu, "Hadeeh, Men aku lupa memberitahumu. Pembakaran itu tidak dibuat oleh ke-tidaksengaja-an atau bencana karena pembakaran itu dilakukan secara jelas oleh orang-orang tak berperikemanusiaan," Junet menekankan kata-kata terakhir. Ponokawan yang satu ini sepertinya mendapatkan semua berita tersebut dari sosmed, dengan memanfaatkan hobi teman-temannya yang suka menyebarkan viral. 

*sengaja tak dilanjutkan*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Dua Ekor Burung Merpati

Alkisah, di sebuah hutan terdapat 2 ekor burung merpati yang bersahabat. Burung merpati putih dan burung merpati berwarna cokelat. Mereka berdua adalah sahabat sejati. Keduanya saling menolong dan membantu jika ada salah satu di antara mereka yang membutuhkan. Tidak hanya kepada sahabatnya, mereka terkenal baik hati kepada seluruh penghuni hutan. Baik merpati putih maupun merpati cokelat adalah burung yang ramah dan jujur. Hanya saja merpati putih yang lebih cerdas daripada merpati cokelat. Merpati putih suka mencari tahu tentang segala hal.  Merpati putih selalu bersama merpati cokelat kemana pun mereka pergi, mulai dari mencari makan, belajar dan mengunjungi teman yang lain. Penghuni hutan yang lain sudah mengetahui persahabatan di antara keduanya, bahkan sang raja hutan, yaitu singa yang memberikan istilah sahabat sejati kepada keduanya. Pada suatu hari yang cerah, saat merpati putih dan merpati cokelat terbang bersama, mereka melihat kerumunan binatang di bawah mereka.

Rahasia di Balik Nama 'Soi'

ii..So'i takok ii.. ii..So'i takok ii... ii..So'i takok ii.. (RE: ii..So'i tanya ii) Tulisan diatas adalah lagu yang sering dinyanyikan Gentong, saat bertanya tentang pelajaran kepadaku.   SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidupku. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populerku, yaitu soi, mereka bertanya, apa hubungannya Safrizal Ariyandi dengan Soi. Namun, nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Melalui artikel ini, aku akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda tersebut.

Ekspresi Galau dalam Bahasa Jepang

suatu ketika, saya ngetweet di @bhsjepang, sekalian menambah ekspresi2 dalam bahasa jepang, lalu ada follower yang mention, "tema hari ini galau ya?" hehehe, jadi saya membuat rangkuman tweet saya yang dikira galau tersebut, 1. aishitemo ii desu ka | bolehkah aku mencintaimu? 2.  anata no egao ga daisuki desu yo | aku sangat suka senyumanmu lo 3. konban, boku no yume ni anata o aitai desu | malam ini, aku ingin bertemu dg mu di dalam mimpiku