“Subhanaka Allahuma wabihamdika
asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.”
“Maafin Mbak kalo ada salah selama mentoring pagi ini, semoga hari kalian menyenangkan. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Mbak Dila menutup mentoring lanjutan pagi ini. Mbak Dila menyalami kami satu per satu dan cipika-cipiki.
Musala D4 memang kecil, hanya berukuran 3 kali 5 meter. Namun jika sering diadakan mentoring di sini, maka manfaatnya akan bertambah. Walaupun mentoring lanjutan telah selesai, aku, Mbak Dila dan teman kelompok mentoring yang lain tidak langsung meninggalkan musala, kami menuju tempat wudu. Kami ingin menunaikan shalat dhuha. Masih terdapat 15 menit sebelum kuliah pertama pukul 08.00 dimulai.
Setelah shalat, memakai kaos kaki, sepatu dan berdiri. Kami semua bersalaman kembali. Roro dan Sekar satu kelas, mereka berjalan beriringan naik ke lantai 2 melewati tangga di sebelah kanan. Atik setelah tersenyum buru-buru berjalan ke arah Hall D4, entah dia mau kemana. Rita sudah pergi sejak tadi, dia selesai shalat terlebih dahulu. Kini tinggal aku dan Mbak Dila.
“Kamu KPU ya Dek?” tanya Mbak Dila saat kami berjalan bersama di lorong di antara laboratorium IT dan lapangan basket.
Aku terdiam sebentar. Kami berhenti di depan mading. Pikiranku kembali kepada flooring tadi malam, kepada pria misterius yang ingin segera kuketahui namanya. Namun aku juga tahu bahwa arah pembicaraan Mbak Dila tidak sebatas itu. Aku mengangguk, “Iya Mbak, kenapa?”
“Oh ndak apa-apa, Dek. Kamu hebat! Semangat ya,” ujar Mbak Dila sembari menyelipkan senyuman di antara pipinya yang merah, di bawah kacamatanya yang indah.
“Siap Mbak!” Kami meneruskan perjalanan.
“Oh iya, ngomong-ngomong, kemarin pulangmu malem banget ya?”
Kami berhenti lagi tepat ketika memasuki Hall D4. Dari mana Mbak Dila tahu? Kami kan beda jurusan. “Hehe iya Mbak, flooringnya molor, huft.” Aku menampilkan muka sok sebal.
“Jaga diri lo Dek, muslimah yang baik tidak pulang selarut itu.”
“Iya, Mbak. Kemarin juga sudah janji sama Abi setelah ini bakal pulang jam 10.”
“Bagus deh kalo begitu. Mbak kuliah dulu ya,” kami bersalaman lagi. Aku dan Mbak Dila berpisah di depan mading D4. Mbak Dila sedikit berlari ke arah gedung D3. Aku menaiki tangga menuju lantai 3.
Perkuliahan pertama di ruang B-305. Sangat istimewa, karena pagi-pagi harus naik ke lantai teratas, sekalian berolahraga.
Di atas pukul 8, di awal perkuliahan. Tangga yang kulewati biasanya banyak diisi oleh mahasiswa yang berlari. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang harus segera mengikuti perkuliahan. Takut terlambat dan tidak diizinkan masuk kelas atau laboratorium. Aku tetap berjalan santai, menaiki satu per satu anak tangga dengan perlahan. Jurusanku termasuk jurusan yang tidak terlalu disiplin. Baik mahasiswa atau dosen sering datang terlambat.
Ketika mencapai lantai 3, seseorang memanggilku, “Syah!” Aku menoleh. Dari tangga keluar Tari, salah satu anggota KPU wanita selain aku. Aku berhenti di depan laboratorium IT menunggunya mendekat. Aku dan Tari tanpa diberi komando berjalan ke tengah, memegang pembatas pengaman. Aku dapat melihat Hall D4 dari sini, tampak riuh mahasiswa.
“Ada apa Tar?” Aneh juga nama panggilan Tari. Aku tak kuasa menahan senyumku.
“Eh, kemarin Pak Hanif koq tiba-tiba dateng ke ruang TC? Beliau ada keperluan apa?” tanya Tari.
Tentu saja aku tidak ingin menjelaskannya. Aku masih ingin menutup rapat-rapat salah satu rahasiaku itu. “Eh, kamu ndak terlambat ta? Liat tuh, temen-temenmu sudah banyak yang datang.” Aku mengalihkan pembicaraan. Kutunjuk rak sepatu di depan laboratorium IT yang pintunya bergambar apel.
“Oh iya deh, aku harus segera masuk. Bukan karena telat, tapi karena aku belum mengerjakan tugas gara-gara flooring tadi malam. Hihi.”
Kulihat Tari menuju ruang di depan kami. Kuberikan tangan mengepal dan kuteriakkan, “Semangat Tar!”
Dia membalas dengan jari jempol dan telunjuk membentuk lingkaran. Isyarat OK.
Kini aku lanjutkan perjalananku menuju ruang B-305. Aku memutuskan untuk mengambil jalan di sebelah kiri, di depan ruang kelas A, sehingga aku dapat melihat ruang yang aku tuju dari kejauhan. Dapat melihat apakah teman-temanku sudah datang atau belum, apakah Bu Susi sudah tiba atau belum.
Aku berjalan melewati A-301, A-302, aku dapat melihat Abi mengisi perkuliahan di A-303, dan ketika kuperhatikan lebih seksama. Di meja ketiga dari depan, di pinggir kanan ruangan. Aku melihat pria misterius itu sedang duduk memperhatikan apa yang disampaikan oleh Abi. Masya Allah. Selama ini pria itu adalah mahasiswa Abi. Jadi benar bahwa dia mahasiswa tingkat akhir jurusan IT. Pantas saja aku tidak pernah bertemu. Baik di kelas gedung putih, di laboratorium TA atau di Workshop CE.
Aku adalah mahasiswi jurusan Teknik Komputer angkatan 2010. Dan pria itu apakah D3 atau D4? Yang penting aku telah mengetahui jurusannya. Setelah ini aku akan bertanya kepada Abi lewat SMS dan kucari pria itu di MIS!
Kuteruskan berjalan, dari depan ruang A-304 kulihat ke seberang bahwa kelas masih sepi, Bu Susi belum datang. Aku langsung belok kanan menuju ruang paling pojok itu. Terdapat waktu untuk mencari informasi tentang pria misterius yang tampak pintar itu.
Assalammualaikum, ucapku ketika memasuki kelas. Balasan teman-teman yang tidak terlalu keras menandakan bahwa mereka masih kurang semangat pagi ini. Aku mengambil duduk di meja terdepan baris ketiga dari pintu masuk, tepat di depan meja dosen. Rencananya aku akan menyalakan laptop dan kalau baterainya habis aku bisa menancapkan charger laptop pada stop kontak di depan.
Saat kutaruh tas di depan tubuhku seperti ingin memeluknya, membuka tas dan hendak mengeluarkan laptop, kudengar Bu Susi mengucapkan salam dan masuk ke dalam ruangan. Aku harus membatalkan niatku dan fokus ke perkuliahan pagi ini. Kulihat teman-teman juga sudah memenuhi kelas dan duduk di meja masing-masing, kecuali Bimo. Pria berbadan besar itu belum tampak. Apa yang terjadi dengannya? Apakah ada kaitannya dengan flooring tadi malam ? Padahal ia tidak pulang selarut teman-teman KPU yang lain.
Perkuliahan dimulai.
Setelah Bu Susi mengucapkan salam dan menutup kuliah, menunggu beliau keluar kelas, aku berdiri dan buru-buru menuju ke depan Laboratorium IT di mana Tari mengikuti perkuliahan. Aku ingin membahas Bimo dengan dia. Sembari menunggu, aku duduk di samping rak sepatu di depan lab itu. Membuka laptop, menancapkan charger. Aku ingin segera tahu nama pria yang kemarin malam kujumpai.
Aku mengetikkan mis.pens.ac.id di kotak URL browser. Keluar sistem informasi manajemen yang menampilkan segala informasi tentang kampus. Kuarahkan pointer pada Daftar Mahasiswa. Klik. Lalu, kukeluarkan HP dari saku rok dan kukirimkan pertanyaan kepada Abi melalui SMS. Semoga Abi segera menjawab pertanyaanku tanpa balik bertanya.
Karena menunggu balasan Abi, yang semoga saja datang cepat, aku memilih Jurusan Telekomunikasi. D4. Kelas 2. Paralel B. Aku mencari nama Fadila Rahma. Ketemu, ternyata NRP Mbak Dila adalah 32. Ku klik nama mentor superku itu. Keluarlah foto dan biodata Mbak Dila.
Mbak Dila di dalam foto tidak memakai kacamata namun tetap manis dengan mukanya yang bulat, pipi yang mengembang dan senyum yang indah. Mahasiswa jurusan telkom itu berada di kelas 2, sama seperti Mas Ar. Mereka angkatan 2009.
Kuarahkan daftar mahasiswa pada jurusan IT. D3. Paralel B. Kubuka link pada nama Arifin Muhammad. Tampak foto dan biodata Mas Ar. Muka Mas Ar lonjong dengan jenggot tipis di bawah janggutnya. Kulitnya cokelat tapi kuakui Mas Ar adalah pria yang manis.
HPku bergetar. Kulihat sebuah gambar pesan muncul di notifikasi. Kubuka pesan itu dengan segera. Dadaku entah kenapa berdetak kencang. “D4 IT A, Kak. Kenapa?” Balas Abi. Aku tersenyum bahagia, rasa penasaranku setelah ini akan terpuaskan. SMS Abi nanti saja aku balas. HPku bergetar lagi. Kali ini aku tak acuh.
Kupilih D4. Kelas 4. Paralel A. Tampak ada 26 mahasiswa aktif di kelas ini dan laki-laki berjumlah 16 orang. Apakah aku harus membuka satu per satu? Iya! Tak peduli harus memenuhi tab browser dengan halaman biodata kakak kelas, toh akan sepadan dengan apa yang aku cari. Mulai dari NRP 01, Muhammad Habibi. NRP 03, Zein Harahap. NRP 04, Bagas Purnama. Hingga mahasiswa laki-laki terakhir NRP 25, Gugun Cahyo Prianggodo.
Aku melihat dengan seksama laman tiap laman yang menampilkan kakak kelasku itu. Tidak ada yang mirip dengan pria yang kucari. Apakah Abi salah? Atau aku yang salah lihat? Sisa dua biodata lagi untuk dipelototi.
Aku melihat muka bersih yang sama seperti kemarin malam kutemui waktu flooring. Tidak ada perbedaan yang kentara dari wajahnya, walaupun sudah 3 tahun lebih berselang dari foto sewaktu dia maba. Hatiku deg-degan. Muhammad Riduwan. Nama yang indah, mirip dengan nama malaikat penjaga surga. Di dalam MIS juga terdapat nomer HP Mas Riduwan. Aku kini merasakan kegundahan, antara menyimpan nomernya atau tidak. Kalau kusimpan, apa yang ingin aku kirimkan kepada dia? Tanya kabar? Tanya lagi apa? Bagaimana kalau Mas Riduwan tidak membalas. Bagaimana jika ia malah menjauhiku? Perasaan-perasaan itu muncul, ketakutan akan kesia-siaan yang kulakukan. Terbesit ide untuk selalu mengirimkan informasi terkait suksesi dan flooring ke dia. Kurasakan semangat yang tidak biasa. Ya. Aku akan mengajak Mas Riduwan untuk datang flooring. Selalu. Supaya aku dapat memandanginya dalam tundukkan kepalaku.
Tiba-tiba pintu lab IT berpintu gambar apel itu terbuka. Teman-teman kelas D4 IT A berhamburan keluar. Kulihat Sam, koordinator PPU dan juga Tari mengambil sepatu dari rak di pinggirku. Sejurus kemudian kututup laptop untuk menyembunyikan rahasia kecilku yang lain. Kumasukkan laptop dan charger ke dalam tas sambil tersenyum ke arah Tari yang berjalan mendekatiku.
“Hai Syah, apa yang kamu lakukan di sini? Udah lama ta?” ia berdiri di depanku. “Ayo sholat!” ajaknya.
“Ndak apa-apa koq, aku emang sengaja nunggu kamu. Aku pengin ngobrol masalah Bimo. Ia tadi ndak masuk kuliah, Tari.” Aku berdiri dan menjinjing tas. Sepertinya memang rasa saling memiliki di antara kami tumbuh gara-gara KPU, kami berjalan berdua menuju musala D4.
“Beneran ta Bimo ndak masuk? Wah kalo gitu nanti kita omongin ke Sigit waktu kumpul di Hall D4.”
“Kapan kumpul?”
“Abis gini. Kamu ndak tau?”
Aku menggeleng.
“Sigit tadi udah ngirim SMS jarkoman koq.”
Aku teringat satu pesan yang aku abaikan tadi. Kulihat pesan itu. Benar isinya adalah bahwa Sigit mengajak anggota KPU untuk kumpul saat istirahat siang di Hall D4. “Oh iya, Tar, maaf tadi ndak ngecek HP.” Aku berbohong.
Kami terus berjalan menuju tangga, menuruninya. Setelah tiba di lantai 1, belok kiri ke arah musala D4.
Aku teringat kembali dengan Mas Riduwan yang setelah ini akan kusimpan nomer HPnya.
Sesuai shalat dhuhur, aku dan Tari berjalan ke Hall D4 melewati koridor yang sama seperti tadi pagi dengan Mbak Dila. Aku tersenyum-senyum sendiri karena telah berhasil mengetahui nama Mas Riduwan, berkesempatan untuk mengirimkan SMS kepadanya. Aku bahagia.
Kulihat Riko, Sigit, Rizki, Fandi dan Budi sudah duduk setengah melingkar di depan lemari berisi piala-piala. Mereka tampak membahas dengan serius. Sigit menulis sesuatu di buku catatannya, tidak jarang kulihat ia mencoret-coret beberapa bagian.
“Maaf kami terlambat,” ujarku. “Boleh kami duduk.”
“Silakan,” ucap Sigit. “Langsung saja ya, siang ini kita harus mengubah jadwal yang telah kita buat. Jadwal yang baru harus bisa mengantisipasi kemoloran apabila ada draf yang tidak disahkan. Kayaknya memang akan sering terjadi hal seperti itu.”
Sepertinya mereka tidak memperhatikan bahwa Bimo tidak hadir dan mereka tidak menanyakan kabarnya. Mungkin Sigit sudah tahu karena dia koordinatornya. Sigit jelas sudah mendapatkan informasi itu.
Kami bertujuh membuat jadwal yang baru. Aku akhirnya meminta izin kepada mereka kalau aku tidak bisa berada di kampus sampai pukul 10 malam. Kujelaskan alasan logis yang kukarang sendiri. Mereka menyadari, namun juga memohon jika kondisinya tidak memungkinkan untuk ditinggal salah satu dari kami dan menuntut untuk full-team. Itu adalah pengecualian. Aku mengiyakan. Tentu saja Abi akan memaklumi.
Aku juga berjanji akan selalu hadir flooring. Mereka tidak akan pernah tahu apa alasanku untuk berjanji macam itu, selain karena aku adalah KPU. Dan ketika Sigit bertanya siapa yang akan mengirimkan pesan jarkoman flooring selanjutnya, aku berkata dengan cepat dan sedikit keras, “Aku! Aku yang jarkom!”
Aku tersenyum melihat teman-temanku memandang heran ke arahku.
Aku tidak sabar untuk mengikuti flooring selanjutnya.
“Maafin Mbak kalo ada salah selama mentoring pagi ini, semoga hari kalian menyenangkan. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Mbak Dila menutup mentoring lanjutan pagi ini. Mbak Dila menyalami kami satu per satu dan cipika-cipiki.
Musala D4 memang kecil, hanya berukuran 3 kali 5 meter. Namun jika sering diadakan mentoring di sini, maka manfaatnya akan bertambah. Walaupun mentoring lanjutan telah selesai, aku, Mbak Dila dan teman kelompok mentoring yang lain tidak langsung meninggalkan musala, kami menuju tempat wudu. Kami ingin menunaikan shalat dhuha. Masih terdapat 15 menit sebelum kuliah pertama pukul 08.00 dimulai.
Setelah shalat, memakai kaos kaki, sepatu dan berdiri. Kami semua bersalaman kembali. Roro dan Sekar satu kelas, mereka berjalan beriringan naik ke lantai 2 melewati tangga di sebelah kanan. Atik setelah tersenyum buru-buru berjalan ke arah Hall D4, entah dia mau kemana. Rita sudah pergi sejak tadi, dia selesai shalat terlebih dahulu. Kini tinggal aku dan Mbak Dila.
“Kamu KPU ya Dek?” tanya Mbak Dila saat kami berjalan bersama di lorong di antara laboratorium IT dan lapangan basket.
Aku terdiam sebentar. Kami berhenti di depan mading. Pikiranku kembali kepada flooring tadi malam, kepada pria misterius yang ingin segera kuketahui namanya. Namun aku juga tahu bahwa arah pembicaraan Mbak Dila tidak sebatas itu. Aku mengangguk, “Iya Mbak, kenapa?”
“Oh ndak apa-apa, Dek. Kamu hebat! Semangat ya,” ujar Mbak Dila sembari menyelipkan senyuman di antara pipinya yang merah, di bawah kacamatanya yang indah.
“Siap Mbak!” Kami meneruskan perjalanan.
“Oh iya, ngomong-ngomong, kemarin pulangmu malem banget ya?”
Kami berhenti lagi tepat ketika memasuki Hall D4. Dari mana Mbak Dila tahu? Kami kan beda jurusan. “Hehe iya Mbak, flooringnya molor, huft.” Aku menampilkan muka sok sebal.
“Jaga diri lo Dek, muslimah yang baik tidak pulang selarut itu.”
“Iya, Mbak. Kemarin juga sudah janji sama Abi setelah ini bakal pulang jam 10.”
“Bagus deh kalo begitu. Mbak kuliah dulu ya,” kami bersalaman lagi. Aku dan Mbak Dila berpisah di depan mading D4. Mbak Dila sedikit berlari ke arah gedung D3. Aku menaiki tangga menuju lantai 3.
Perkuliahan pertama di ruang B-305. Sangat istimewa, karena pagi-pagi harus naik ke lantai teratas, sekalian berolahraga.
Di atas pukul 8, di awal perkuliahan. Tangga yang kulewati biasanya banyak diisi oleh mahasiswa yang berlari. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang harus segera mengikuti perkuliahan. Takut terlambat dan tidak diizinkan masuk kelas atau laboratorium. Aku tetap berjalan santai, menaiki satu per satu anak tangga dengan perlahan. Jurusanku termasuk jurusan yang tidak terlalu disiplin. Baik mahasiswa atau dosen sering datang terlambat.
Ketika mencapai lantai 3, seseorang memanggilku, “Syah!” Aku menoleh. Dari tangga keluar Tari, salah satu anggota KPU wanita selain aku. Aku berhenti di depan laboratorium IT menunggunya mendekat. Aku dan Tari tanpa diberi komando berjalan ke tengah, memegang pembatas pengaman. Aku dapat melihat Hall D4 dari sini, tampak riuh mahasiswa.
“Ada apa Tar?” Aneh juga nama panggilan Tari. Aku tak kuasa menahan senyumku.
“Eh, kemarin Pak Hanif koq tiba-tiba dateng ke ruang TC? Beliau ada keperluan apa?” tanya Tari.
Tentu saja aku tidak ingin menjelaskannya. Aku masih ingin menutup rapat-rapat salah satu rahasiaku itu. “Eh, kamu ndak terlambat ta? Liat tuh, temen-temenmu sudah banyak yang datang.” Aku mengalihkan pembicaraan. Kutunjuk rak sepatu di depan laboratorium IT yang pintunya bergambar apel.
“Oh iya deh, aku harus segera masuk. Bukan karena telat, tapi karena aku belum mengerjakan tugas gara-gara flooring tadi malam. Hihi.”
Kulihat Tari menuju ruang di depan kami. Kuberikan tangan mengepal dan kuteriakkan, “Semangat Tar!”
Dia membalas dengan jari jempol dan telunjuk membentuk lingkaran. Isyarat OK.
Kini aku lanjutkan perjalananku menuju ruang B-305. Aku memutuskan untuk mengambil jalan di sebelah kiri, di depan ruang kelas A, sehingga aku dapat melihat ruang yang aku tuju dari kejauhan. Dapat melihat apakah teman-temanku sudah datang atau belum, apakah Bu Susi sudah tiba atau belum.
Aku berjalan melewati A-301, A-302, aku dapat melihat Abi mengisi perkuliahan di A-303, dan ketika kuperhatikan lebih seksama. Di meja ketiga dari depan, di pinggir kanan ruangan. Aku melihat pria misterius itu sedang duduk memperhatikan apa yang disampaikan oleh Abi. Masya Allah. Selama ini pria itu adalah mahasiswa Abi. Jadi benar bahwa dia mahasiswa tingkat akhir jurusan IT. Pantas saja aku tidak pernah bertemu. Baik di kelas gedung putih, di laboratorium TA atau di Workshop CE.
Aku adalah mahasiswi jurusan Teknik Komputer angkatan 2010. Dan pria itu apakah D3 atau D4? Yang penting aku telah mengetahui jurusannya. Setelah ini aku akan bertanya kepada Abi lewat SMS dan kucari pria itu di MIS!
Kuteruskan berjalan, dari depan ruang A-304 kulihat ke seberang bahwa kelas masih sepi, Bu Susi belum datang. Aku langsung belok kanan menuju ruang paling pojok itu. Terdapat waktu untuk mencari informasi tentang pria misterius yang tampak pintar itu.
Assalammualaikum, ucapku ketika memasuki kelas. Balasan teman-teman yang tidak terlalu keras menandakan bahwa mereka masih kurang semangat pagi ini. Aku mengambil duduk di meja terdepan baris ketiga dari pintu masuk, tepat di depan meja dosen. Rencananya aku akan menyalakan laptop dan kalau baterainya habis aku bisa menancapkan charger laptop pada stop kontak di depan.
Saat kutaruh tas di depan tubuhku seperti ingin memeluknya, membuka tas dan hendak mengeluarkan laptop, kudengar Bu Susi mengucapkan salam dan masuk ke dalam ruangan. Aku harus membatalkan niatku dan fokus ke perkuliahan pagi ini. Kulihat teman-teman juga sudah memenuhi kelas dan duduk di meja masing-masing, kecuali Bimo. Pria berbadan besar itu belum tampak. Apa yang terjadi dengannya? Apakah ada kaitannya dengan flooring tadi malam ? Padahal ia tidak pulang selarut teman-teman KPU yang lain.
Perkuliahan dimulai.
Setelah Bu Susi mengucapkan salam dan menutup kuliah, menunggu beliau keluar kelas, aku berdiri dan buru-buru menuju ke depan Laboratorium IT di mana Tari mengikuti perkuliahan. Aku ingin membahas Bimo dengan dia. Sembari menunggu, aku duduk di samping rak sepatu di depan lab itu. Membuka laptop, menancapkan charger. Aku ingin segera tahu nama pria yang kemarin malam kujumpai.
Aku mengetikkan mis.pens.ac.id di kotak URL browser. Keluar sistem informasi manajemen yang menampilkan segala informasi tentang kampus. Kuarahkan pointer pada Daftar Mahasiswa. Klik. Lalu, kukeluarkan HP dari saku rok dan kukirimkan pertanyaan kepada Abi melalui SMS. Semoga Abi segera menjawab pertanyaanku tanpa balik bertanya.
Karena menunggu balasan Abi, yang semoga saja datang cepat, aku memilih Jurusan Telekomunikasi. D4. Kelas 2. Paralel B. Aku mencari nama Fadila Rahma. Ketemu, ternyata NRP Mbak Dila adalah 32. Ku klik nama mentor superku itu. Keluarlah foto dan biodata Mbak Dila.
Mbak Dila di dalam foto tidak memakai kacamata namun tetap manis dengan mukanya yang bulat, pipi yang mengembang dan senyum yang indah. Mahasiswa jurusan telkom itu berada di kelas 2, sama seperti Mas Ar. Mereka angkatan 2009.
Kuarahkan daftar mahasiswa pada jurusan IT. D3. Paralel B. Kubuka link pada nama Arifin Muhammad. Tampak foto dan biodata Mas Ar. Muka Mas Ar lonjong dengan jenggot tipis di bawah janggutnya. Kulitnya cokelat tapi kuakui Mas Ar adalah pria yang manis.
HPku bergetar. Kulihat sebuah gambar pesan muncul di notifikasi. Kubuka pesan itu dengan segera. Dadaku entah kenapa berdetak kencang. “D4 IT A, Kak. Kenapa?” Balas Abi. Aku tersenyum bahagia, rasa penasaranku setelah ini akan terpuaskan. SMS Abi nanti saja aku balas. HPku bergetar lagi. Kali ini aku tak acuh.
Kupilih D4. Kelas 4. Paralel A. Tampak ada 26 mahasiswa aktif di kelas ini dan laki-laki berjumlah 16 orang. Apakah aku harus membuka satu per satu? Iya! Tak peduli harus memenuhi tab browser dengan halaman biodata kakak kelas, toh akan sepadan dengan apa yang aku cari. Mulai dari NRP 01, Muhammad Habibi. NRP 03, Zein Harahap. NRP 04, Bagas Purnama. Hingga mahasiswa laki-laki terakhir NRP 25, Gugun Cahyo Prianggodo.
Aku melihat dengan seksama laman tiap laman yang menampilkan kakak kelasku itu. Tidak ada yang mirip dengan pria yang kucari. Apakah Abi salah? Atau aku yang salah lihat? Sisa dua biodata lagi untuk dipelototi.
Aku melihat muka bersih yang sama seperti kemarin malam kutemui waktu flooring. Tidak ada perbedaan yang kentara dari wajahnya, walaupun sudah 3 tahun lebih berselang dari foto sewaktu dia maba. Hatiku deg-degan. Muhammad Riduwan. Nama yang indah, mirip dengan nama malaikat penjaga surga. Di dalam MIS juga terdapat nomer HP Mas Riduwan. Aku kini merasakan kegundahan, antara menyimpan nomernya atau tidak. Kalau kusimpan, apa yang ingin aku kirimkan kepada dia? Tanya kabar? Tanya lagi apa? Bagaimana kalau Mas Riduwan tidak membalas. Bagaimana jika ia malah menjauhiku? Perasaan-perasaan itu muncul, ketakutan akan kesia-siaan yang kulakukan. Terbesit ide untuk selalu mengirimkan informasi terkait suksesi dan flooring ke dia. Kurasakan semangat yang tidak biasa. Ya. Aku akan mengajak Mas Riduwan untuk datang flooring. Selalu. Supaya aku dapat memandanginya dalam tundukkan kepalaku.
Tiba-tiba pintu lab IT berpintu gambar apel itu terbuka. Teman-teman kelas D4 IT A berhamburan keluar. Kulihat Sam, koordinator PPU dan juga Tari mengambil sepatu dari rak di pinggirku. Sejurus kemudian kututup laptop untuk menyembunyikan rahasia kecilku yang lain. Kumasukkan laptop dan charger ke dalam tas sambil tersenyum ke arah Tari yang berjalan mendekatiku.
“Hai Syah, apa yang kamu lakukan di sini? Udah lama ta?” ia berdiri di depanku. “Ayo sholat!” ajaknya.
“Ndak apa-apa koq, aku emang sengaja nunggu kamu. Aku pengin ngobrol masalah Bimo. Ia tadi ndak masuk kuliah, Tari.” Aku berdiri dan menjinjing tas. Sepertinya memang rasa saling memiliki di antara kami tumbuh gara-gara KPU, kami berjalan berdua menuju musala D4.
“Beneran ta Bimo ndak masuk? Wah kalo gitu nanti kita omongin ke Sigit waktu kumpul di Hall D4.”
“Kapan kumpul?”
“Abis gini. Kamu ndak tau?”
Aku menggeleng.
“Sigit tadi udah ngirim SMS jarkoman koq.”
Aku teringat satu pesan yang aku abaikan tadi. Kulihat pesan itu. Benar isinya adalah bahwa Sigit mengajak anggota KPU untuk kumpul saat istirahat siang di Hall D4. “Oh iya, Tar, maaf tadi ndak ngecek HP.” Aku berbohong.
Kami terus berjalan menuju tangga, menuruninya. Setelah tiba di lantai 1, belok kiri ke arah musala D4.
Aku teringat kembali dengan Mas Riduwan yang setelah ini akan kusimpan nomer HPnya.
Sesuai shalat dhuhur, aku dan Tari berjalan ke Hall D4 melewati koridor yang sama seperti tadi pagi dengan Mbak Dila. Aku tersenyum-senyum sendiri karena telah berhasil mengetahui nama Mas Riduwan, berkesempatan untuk mengirimkan SMS kepadanya. Aku bahagia.
Kulihat Riko, Sigit, Rizki, Fandi dan Budi sudah duduk setengah melingkar di depan lemari berisi piala-piala. Mereka tampak membahas dengan serius. Sigit menulis sesuatu di buku catatannya, tidak jarang kulihat ia mencoret-coret beberapa bagian.
“Maaf kami terlambat,” ujarku. “Boleh kami duduk.”
“Silakan,” ucap Sigit. “Langsung saja ya, siang ini kita harus mengubah jadwal yang telah kita buat. Jadwal yang baru harus bisa mengantisipasi kemoloran apabila ada draf yang tidak disahkan. Kayaknya memang akan sering terjadi hal seperti itu.”
Sepertinya mereka tidak memperhatikan bahwa Bimo tidak hadir dan mereka tidak menanyakan kabarnya. Mungkin Sigit sudah tahu karena dia koordinatornya. Sigit jelas sudah mendapatkan informasi itu.
Kami bertujuh membuat jadwal yang baru. Aku akhirnya meminta izin kepada mereka kalau aku tidak bisa berada di kampus sampai pukul 10 malam. Kujelaskan alasan logis yang kukarang sendiri. Mereka menyadari, namun juga memohon jika kondisinya tidak memungkinkan untuk ditinggal salah satu dari kami dan menuntut untuk full-team. Itu adalah pengecualian. Aku mengiyakan. Tentu saja Abi akan memaklumi.
Aku juga berjanji akan selalu hadir flooring. Mereka tidak akan pernah tahu apa alasanku untuk berjanji macam itu, selain karena aku adalah KPU. Dan ketika Sigit bertanya siapa yang akan mengirimkan pesan jarkoman flooring selanjutnya, aku berkata dengan cepat dan sedikit keras, “Aku! Aku yang jarkom!”
Aku tersenyum melihat teman-temanku memandang heran ke arahku.
Aku tidak sabar untuk mengikuti flooring selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar