Aku berjalan melewati koridor besar yang
menghubungkan gedung lama dan gedung baru kampusku. Kampusku adalah kampus tua.
Kata orang kampusku angker. Banyak yang telah membuktikannya. Salah satu
penjaga kampus, Pak Joko pernah berkata bahwa di koridor ini sering terdengar
tangisan wanita. Tidak main-main, setiap Kamis malam di atas pukul 12, suara
itu kerap muncul. Mengganggu siapa saja yang lewat. Dan kini aku berada di
sini. Kulihat jam tanganku. Waktu menunjuk 11.30 malam. Untung saja hari ini
Hari Selasa.
Walaupun begitu, aku tetap merasa takut.
Panjang koridor yang tidak seberapa seharusnya membuatku dapat mencapai gedung
baru dengan cepat. Namun, suasana malam ini terasa lambat. Tidak ada angin yang
berhembus. Semak-semak dan dedaunan dari pohon yang ditanam di taman kanan
kiriku tak bergerak. Membisu, seperti sedang membiarkanku berlalu melewati
koridor yang sepi.
Tidak ada yang tahu, dan mungkin saja karena
terlalu takut memastikan, siapa atau apa yang ada di balik semak-semak itu. Aku
tidak berani membayangkan. Semakin memikirkan hal yang aneh, semakin cepat aku
melangkah. Aku harus segera mencapai gedung baru. Masuk ke ruangan yang lebih
terang daripada koridor ini. Lampu-lampu yang dibiarkan sedikit redup, kadang
tiba-tiba mati, beberapa detik kemudian menyala, seperti menambah kesan
menyeramkan.
Aku memasuki ruangan lobi gedung baru dengan
perasaan lega. Meski tidak ada orang di sini, kebijakan kampus untuk tetap
menyalakan lampu ruang-ruang besar pada malam hari sangat membantu. Malam ini
aku harus mengambil buku catatan yang tertinggal di dalam kelas. Kelas terakhir
mata kuliah matematika. Kebodohanku karena tertidur sejak sore dan meninggalkan
buku yang berisi soal dari Pak Kumis, julukan dosen paling garang (karena kumis
tebalnya) semester ini. Besok pagi buku itu harus dikumpulkan di meja dosen
yang tidak segan memberi nilai E jika telat mengumpulkan. Lebih baik salah
daripada tidak mengerjakan atau terlambat.
Ketakutan mendapat nilai E yang membuatku
berani mengambil buku itu malam ini. Walaupun Pak Joko sempat tak mengizinkan,
namun dengan sedikit lobbying yang kupelajari dari kakak kelas, beliau
mengalah. Cepat ambil dan langsung balik, pesan beliau.
Ruang kelas yang aku tuju berada di lantai 3
gedung ini, sehingga aku harus menaiki tangga untuk mencapainya. Tangga yang
menghubungkan tiap lantai tidak kalah menyeramkan. Tangga yang berbentuk kotak
dengan dinding warna putih dan anak tangga yang tidak terlalu tinggi kulewati
dengan hati-hati. Aku takut terjatuh karena penerangannya kurang, sama seperti
koridor tadi.
Lantai 2 terlewati. Tidak ada hal ganjil yang
kutemui. Tentu saja aku tidak berharap menemui sesuatu yang membuat bulu kuduk
merinding. Kampusku terkenal angker namun kondisinya sekarang tidak ada bedanya
seperti pada siang hari.
Ketika melangkah pada anak tangga terakhir,
aku sampai. Ruang kelas di mana buku catatanku tertinggal berada di ujung
sebelah kanan. Harus melewati 5 ruang kelas untuk mencapainya. Sasaranku ruang
AA-306. Aku berharap bahwa kelas tersebut tidak dikunci seperti biasanya. Kelas-kelas
di lantai 3 ini memang didesain untuk mata kuliah yang tidak membutuhkan
proyektor, hanya berisi papan tulis yang masih menggunakan kapur untuk menulis.
Maka tak perlu pengamanan khusus.
Lampu yang dinyalakan hanya lampu yang
terpasang di luar kelas, sehingga ruang kelas yang semula gelap menjadi sedikit
terang karena cahaya yang berasal dari luar. Kondisi kelas sangat berbeda pada
siang hari, saat di dalamnya para mahasiswa riuh mengikuti perkuliahan. Malam
ini tampak sepi dan hanya dilewati oleh mahasiswa bodoh yang mengorbankan
dirinya untuk mengambil buku catatan yang tertinggal.
Kulihat ruang kelas AA-306 di depanku. Sangat
gelap karena jauh dari lampu yang menyala. Kucoba membuka pintunya. Kuputar
gagang perlahan dan kudorong pintu berwarna cokelat itu. Suara decit yang
dihasilkan sedikit mengagetkanku. Kuingat pesan kakak kelas jika memasuki
ruangan di kampus ini harus mengucapkan salam. Assalammualaikum, suaraku lirih.
Hatiku berdoa seadanya.
Aku menuju ke meja kedua dari depan kelas di
pojok ruangan. Kumasukkan tanganku untuk mengambil buku yang kucari.
Kuraba-raba bagian dalam kolong meja tersebut. Di satu bagian tidak ada, kucoba
di bagian yang lain. Hasilnya nihil. Seingatku, tadi siang aku duduk di sini.
Kuputuskan untuk mencari buku itu di meja sekitar. Kuraih-raih bagian dalam
kolong meja dengan tanganku. Aku tak dapat melihat dengan jelas karena memang
ruangan ini sangat gelap.
Aku mulai bingung. Kemarahan Pak Kumis yang
akan kudapatkan ketika mengikuti mata kuliah matematika menghantui. Pikiranku
galau. Aku keluar ruangan untuk mendapat cahaya yang cukup hanya sekedar untuk
mengecek jam tangan. Pukul 11.50, hampir tengah malam dan aku belum mendapat
apa yang aku cari. Belum juga mengerjakan soal-soal yang ada.
Kuputuskan untuk mencari sekali lagi, semoga
saja ketemu. Kali ini kucoba untuk mencari di meja-meja yang berada di sisi
lain ruang kelas. Ketika aku melangkah menuju meja ketiga, pintu yang kupaksa
untuk terus terbuka tiba-tiba tertutup. Suara bantingan pintu yang dihasilkan
benar-benar mengagetkanku. Aku setengah melompat karena terkejut. Beberapa
detik bergeming merasakan bulu kudukku berdiri. Kali ini aku mendengar suara
decit yang lain. Seperti dihasilkan oleh kursi yang digeser. Aku tak berani
meneruskan pencarian. Seketika itu aku bergerak menuju pintu, memegang
gagangnya dan memutarnya. Tanganku gemetar sehingga tak bisa dengan mudah
melakukannya. Pintu yang seharusnya ditarik dari dalam, malah ku dorong saking
takutnya. Saat berhasil membuka, aku berlari menuju tangga di ujung sana,
melewati ruang-ruang kelas yang gelap.
Gabungan antara kecepatan dan kehati-hatian
berlari kulakukan. Aku tak ingin terpeleset di lantai yang berubin ini. Badanku
yang terasa ringan, juga kegemaranku untuk berlari memudahkanku untuk mencapai
tangga. Kuturuni tangga itu dengan cara yang sama, dengan cepat dan hati-hati.
Tidak boleh ada khayalan buruk di kepala. Tidak boleh memikirkan hal yang
menakutkan.
Saat mencapai satu lantai di bawah, aku
berlari ke depan keluar tangga. Kulihat tidak ada gerbang penghubung koridor.
Aku mendongak pada dinding yang berada di sebelah kiri. Terdapat tulisan :
Lantai 2. Sial. Karena ketakutan aku sampai salah lantai. Ku berlari menuju
tangga dengan kaki-kaki yang kini gemetar. Kuturuni tangga dengan cara yang
sama. Hatiku tetap melambungkan doa dan zikir.
Aku sampai pada lantai 1 gedung baru, memasuki
lobi dan buru-buru ke arah pintu keluar. Dan pikiranku semakin kacau karena
teringat harus melewati koridor yang tadi.
Aku menapakkan kaki kanan ke koridor.
Jantungku berdebar. Bulu kudukku meninggi. Berbeda seperti awal tadi aku
melewatinya, berbeda dengan ketika aku melewatinya di pagi hari atau siang hari
atau sore hari. Malam yang tenang sangat mengganggu. Tidak ada angin dan aku
teringat pintu kelas AA-306 yang tiba-tiba tertutup, kursi-kursi kelas yang
bergeser sendiri. Andai kelas tadi tidak gelap, mungkin aku bisa melihat
sesuatu yang menggerakkan mereka.
Kuucapkan basmalah dengan suara yang serak.
Kututup mata supaya tak melihat hal yang menakutkan. Kupacu kaki untuk berlari
melewati koridor dan menuju ke gedung lama. Ketika melewati koridor aku hanya
harus berlari lurus, baru setelah itu Aku berencana tidak akan berhenti berlari
hingga mencapai pos satpam di sisi luar gedung lama.
Namun, ketika setengah jalan (kurasa) melewati
koridor itu, sekilas aku mendengar suara rintihan. Bukan, ini suara tangisan.
Suara tangisan wanita. Aku takut bukan main. Kutambah kecepatan berlari hingga
tak sengaja aku menabrak salah satu tiang di pinggir koridor. Secara refleks
aku membuka mata, dan benar yang aku tabrak adalah tiang koridor. Dan itu
adalah tiang koridor terakhir, tiang pertama yang berada di gedung tua. Koridor
itu telah terlewati.
Untuk sekedar beristirahat, dan juga karena
kaget dengan tabrakan itu, aku berdiam. Kedua tanganku memeluk lutut dengan
posisi seperti setengah menungging. Aku terengah. Entah mengapa aku penasaran
dan menoleh ke belakang, ke arah koridor. Suara tangisan yang samar-samar tadi,
siapa itu?
Kulihat di tengah koridor yang kini gelap itu
berdiri sesosok wanita. Wanita berbaju putih, rambutnya panjang. Menyerupai
hantu-hantu yang pernah kulihat di film horror. Tangannya diayunkan ke depan
seperti gerakan seorang vampir. Dia menuju ke arahku. Aku membatu melihat
matanya yang kolong, lingkar mata yang hitam dan tidak berisi bola mata.
Semakin jelas kulihat bentuk muka yang menyeramkan itu ketika wanita yang
tiba-tiba menangis (lagi) itu mendekat.
Walaupun seperti ada sebuah pemberat di
kakiku, aku berusaha berlari. Tak
memedulikan wanita atau yang telah kupastikan sebagai seorang hantu itu
mengejar. Aku memacu kakiku dengan cepat, suara tangisan itu berdentuman di
kepala. Ini adalah pengalaman pertama ku melihat hantu. Sosok putih itu
bermunculan di dalam benakku. Ini adalah malam terburuk dalam hidupku.
Kulihat sebuah cahaya yang lama-kelamaan
menjadi besar di depanku. Cahaya yang berasal dari pos satpam. Aku bersyukur.
Kecepatan lariku bertambah.
Akhirnya aku mencapai pos satpam yang berada
di gedung lama kampus. Kulihat tidak ada siapapun di sini, tidak juga Pak Joko
yang tadi kutemui. Nafasku berat dan tersengal. Aku terbatuk karena terlalu
lelah. Keringatku bercucuran.
Suara tangisan itu tidak menghilang, dan
selalu muncul di otak. Wajah wanita dengan matanya yang berlobang menghantui.
Kurasakan tubuhku bergetar tidak keruan. Kali ini aku tak berani untuk menoleh
ke belakang.
Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundakku. Aku
tak bisa menahan ketakutan. Kurasakan mataku menutup perlahan, jantung berdebar
kencang, dunia menjadi semakin hitam.
...
Dini hari tadi aku mendapat pengalaman yang
sangat menakutkan dan di waktu yang sama telah membuktikan bahwa kampus ini
angker. Pak Joko mencoba menenangkanku saat aku tersadar, ketika azan subuh
berkumandang. Aku menceritakan apa yang telah kualami kepada beliau, dan beliau
membenarkan kejadian yang kerap terjadi itu. Pak Joko menyarankanku untuk
melupakan kejadian itu dan tidak menceritakan ini pada siapapun supaya tidak
terjadi kehebohan.
Urusanku dengan Pak Kumis berakhir bahagia.
Beliau membolehkan soal untuk dikumpulkan pekan depan karena beliau ada rapat
mendadak di luar kota. Buku catatan yang kucari ternyata dibawa oleh Dila yang
kebetulan ada kuliah di ruang kelas yang sama setelah kelasku berakhir. Dila
telah memberitahuku, namun aku tak acuh. Pesan yang dikirim olehnya lewat
Whatsapp tidak kuhiraukan malam tadi, karena memang aku sedang marah dengannya,
malas membaca pesan dari wanita yang pernah membantuku di sebuah organisasi.
Komentar
Posting Komentar