“Baiklah,
apakah ada pertanyaan atau tanggapan?” ujar Riko, Penanggung Jawab Suksesi
Himpunan tahun ini, namun kali ini dia bertindak sebagai seorang moderator.
Perawakannya yang gagah dan duduknya yang tegak membuatnya terlihat cocok untuk
memimpin jalannya flooring. Malam ini
adalah flooring pertama kami sebagai
Komisi Pemilihan Umum atau KPU.
Tentu saja
pengalaman pertama ini membuatku sedikit tegang. Flooring itu asyik koq, kalimat itu terus berputar di dalam
kepalaku. Kalimat yang sering diucapkan oleh Mas Ar, kakak kelas dari himpunan
yang senantiasa menemani kami dalam mengonsep draf petunjuk pelaksanaan suksesi
himpunan. Ya mungkin saja akan
mengasyikkan sehingga aku dapat tertawa
dengan riangnya, pikirku.
Kulihat ke
depan, ke arah peserta flooring,
penuh. Mungkin karena ini adalah flooring
pertama jadi banyak yang menghadirinya. 4 angkatan mengikuti flooring. Dan tentu saja angkatanku
sebagai yang termuda, jumlahnya lebih banyak daripada angkatan yang lain. Dari
mereka ada yang terpaksa mengikutinya, tampak dari air muka yang masam. Aku
sedikit tersenyum menatapnya. Namun ada yang antusias dengan flooring malam ini. Lembar salinan draf
petunjuk pelaksanaan menjadikan mereka begitu sibuk untuk membacanya.
“Sekali lagi,
apakah ada pertanyaan atau tanggapan?” Tanya Riko sekali lagi. Kali ini dengan
suara yang lebih keras daripada sebelumnya, mencoba untuk menenangkan suasana flooring. Mungkin Riko sudah
berpengalaman untuk menjadi seorang moderator. Dia tahu apa yang seharusnya
dilakukan.
Aku melihat ke
arah teman-teman KPU di samping kiriku. Secara berurutan, Tari, Rizki, Bimo,
Sigit, Fandi, dan Budi. Yang paling kanan tentu saja Riko. Semuanya terlihat
tegang, kecuali Sigit, koordinator kami. Dia tampak rileks dengan tatapan yang
begitu tenang, dengan senyum yang kadang-kadang disunggingkan ke arah peserta flooring. Bimo, yang paling besar di
antara kami, kelihatannya sangat ketakutan. Keringatnya tak henti mengalir sejak
flooring dibuka. Keringatnya memenuhi
dahi yang lebar dan tak jarang kulihat Bimo mengusapnya dengan punggung
tangannya. Mereka semua duduk bersila, sedangkan aku tak terbiasa duduk seperti
itu, aku lebih suka duduk di atas dua kakiku seperti gerakan duduk iftirosy pada saat sholat. Menatap mata mereka membuatku tenang, mereka adalah
keluarga baruku.
“Ya silakan,
Mbak,” Riko mempersilakan seorang kakak kelas yang mengacungkan tangan untuk
bertanya. Mbak Kiki. Dia cantik dengan alisnya yang tebal dan bibir yang
mungil.
Dengan suara
yang tegas seperti biasa, Mbak Kiki berkata, “Adik semua di sini paham kenapa
kalian yang jadi panitia suksesi? Maksudku kenapa angkatan kalian yang harus
bertanggung jawab terhadap pemilihan ketua atau pemimpin yang bakal membawa
himpunan ini ke depannya?”
Aku bingung
dengan pertanyaan Mbak Kiki. Pertanyaan yang diajukan keluar dari topik yang
dibahas. “Maaf, Mbak. Agenda flooring kali ini membahas draf panitia PPU atau
Panitia Pemilihan Umum, pada subbab definisi,” Riko langsung memberikan
penjelasan tentang pembahasan kali ini, “subbab ketentuan dan hak.” Pengucapan
dan susunan katanya diatur sedemikian rupa sehingga sangat jelas untuk
dimengerti. “Jadi mungkin juga untuk semuanya, silakan bertanya apa yang ada di
dalam draf yang ada.”
Mbak Kiki
tampak mengernyitkan dahi dan melemparkan senyuman sarkasme. “Hla iya Dek, ini
pembahasannya mengenai panitia suksesi kan? Mbak tanya alasan kalian menjadi
panitia itu apa?” Aku mulai paham alur pertanyaan Mbak Kiki. “Makanya sebelum
melebar ke definisi, ketentuan dan hak, kalian kan harus tahu dulu tujuan
kalian jadi panitia itu apa?” Aku menoleh ke arah Riko.
“Oh iya Mbak,
silakan bagi temen-temen KPU untuk menjawab,” ujar Riko.
Aku
mengacungkan tangan. Kudengar Riko mempersilakan, lalu aku menjawab, “Saya Aisyah, KPU. Kami menjadi panitia suksesi
karena kami baru saja masuk, Mbak. Sehingga masih netral dan belum terkontaminasi dengan pikiran-pikiran
tertentu.” Kudengar kata-kata yang keluar dari mulutku terlalu puitis, atau
aneh? Seharusnya aku tidak mengeluarkan bakat berpuisi di sini.
“Apakah ada
feedback?”
“Ya,”
sepertinya Mbak Kiki belum puas dengan jawaban yang aku berikan. “Okelah kalian
adalah angkatan termuda. Netral. Belum terkontaminasi. Tapi kan kalian belum mengenal
sepenuhnya himpunan.” Mbak Kiki tidak sepenuhnya benar. Kami dituntut untuk
lebih mengenal himpunan saat menjadi KPU dan mengonsep draf suksesi ini.
“Saya Aisyah,
KPU. Saya izin untuk komunikasi dua arah, Pak Moderator. Diizinkan?”
Kulihat Riko
menggunakan tangannya sebagai isyarat untuk memperbolehkan dua arah, tanpa
moderasi.
“Begini, Mbak.
Kami sebagai KPU dituntut untuk mengenal himpunan sepenuhnya, lebih awal. Kami
sebagai KPU sudah melakukan banyak sharing ke Mas dan Mbak bagaimana himpunan
itu.”
“Sebagai KPU?”
ucap Mbak Kiki. “Panitiamu cuma KPU aja ta Dek?” Sepertinya aku salah bicara.
“Lalu panitiamu yang lain gimana? PPU mu? Panwaslu? Gak harus mengenal himpunan
lebih jauh?”
Aku terdiam
sebentar. “Oh iya Mbak, kami dari KPU sebagai fasilitator. Kami sedikit banyak
akan memberikan informasi yang kami dapat kepada panitia kami,” lanjutku.
“Akan? Jadi
belum?”
Aku mengangguk.
“Kapan?” tanya
Mbak Kiki sekali lagi.
“Saya ijin
berbicara.” Kulihat Sigit mengacungkan tangan. Setelah Riko mengizinkan, Sigit
berbicara, “iya, Mbak. Setelah draf PPU malam ini di-sah-kan. Besok kami akan
mengadakan kumpul komunal PPU untuk melakukan briefing dan pencerdasan draf,
sekaligus memberikan hasil sharing dengan Mas dan Mbak.”
Enak aja di-sah-kan hari ini, kudengar suara-suara lirih. Aku tidak
paham maksudnya.
“Oke, aku
pengin tahu alasan yang lain.”
Flooring
terpotong oleh suara ketukan pintu. Tampak dari luar, Mas Anugro dan pria berbadan
tinggi, bermuka bersih dengan senyumnya yang sedikit manis meminta izin untuk
mengikuti flooring. “Saya Anugro dan teman saya, “ Mas Anugro tidak menyebutkan
nama temannya. “ minta izin untuk mengikuti forum.” Mataku tak bisa lepas dari
pria yang datang bersama Mas Anugro. Sampai dia duduk pun aku masih penasaran
namanya. Aku tidak pernah menjumpai kakak kelasku itu, iya kalau dia kakak
kelas. Aku berharap nanti dia akan mengajukan pertanyaan.
Dan sampai
flooring berakhir pun pria itu tidak bertanya sama sekali, menanggapi pun
tidak. Flooring kali ini bisa dibilang gagal, karena kami belum bisa menelurkan
satu draf pun. Terpaksa kami harus mengubah jadwal yang sebelumnya telah kami
rancang.
Setelah semua
peserta flooring meninggalkan ruangan, termasuk pria yang belum kuketahui
namanya tersebut, Mas Ar meminta kami untuk berkumpul, melakukan evaluasi
flooring pertama. Tinggal kami bersembilan, Mas Ar, Riko, Sam (koor PPU) dan 5
KPU serta aku. Bimo yang sejak awal terlihat gugup tidak dapat mengikuti flooring
sampai akhir.
“Langsung saja,
ya? Assalammualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Sebelum evaluasi ini kita mulai ada baiknya
kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa mulai,” Mas Ar yang memimpin evaluasi.
Setelah doa seadanya, pikiranku kembali terfokus kepada pria pemilik mata yang
indah tersebut.
Siapa
sebenarnya pria itu? Apakah kakak kelas angkatan Mas Anugro? Kalau iya, berarti
dia sekarang sudah tingkat akhir. Jelas saja aku tidak pernah menjumpainya.
Tapi kalau tingkat akhir kenapa aku tak pernah menjumpai di dalam laboratorium
TA? Apakah dia alumni? Keren sekali flooring seperti tadi dihadiri alumni.
Setelah ini aku harus mencari tahu.
“Syah!” bentak
Tari sambil menyenggol pundakku dengan pundaknya. “Kamu melamun?” tanyanya
lirih.
Ehh. Kurasakan
pipiku merona karena malu. “Tidak, tidak. Aku tak melamun.”
“Kamu belum
menulis satu poin pun dari evaluasi ini, Dek.” Kulihat buku catatanku kosong.
“Kurang enak badan?” Aku menggeleng ke arah Mas Ar. “Maafin ya kalo memang
sering kayak gini buat ke depannya. Beruntung ini masih jam set.12 malam, hehe.
Siap siap aja pulang jam 3 pagi.” Kulihat Mas Ar tertawa. Aku kembali
mempertanyakan hakikat asyiknya flooring dalam hati.
Kali ini aku
harus fokus mengikuti evaluasi. Rasa penasaranku ke pria misterius itu harus
segera kuhapuskan. Dan ketika Riko, Sigit dan Rizki secara bergantian
menyebutkan poin-poin kekurangan flooring malam ini, aku teringat besok pagi
pukul setengah tujuh aku ada mentoring lanjutan dengan Mbak Dila. Astaga, aku
lupa. Aku takut bangun kesiangan, walaupun aku tahu akan dibangunkan oleh Umi.
Astaghfirullah. Aku lupa, tadi aku berjanji pada Umi akan pulang sebelum pukul
10. Dan sampai sekarang pun aku belum sampai di rumah.
Mungkin Mas Ar
melihat gelagatku yang kebingungan. “Kamu kenapa lagi Dek?” Ku ambil HP dari
saku rokku. Terang saja dari tadi tidak ada panggilan masuk, HPku mati. Umi
pasti sangat mengkhawatirkanku. “Kamu ndak apa-apa Dek?”
“Maaf Mas, ndak
apa-apa. Silakan dilanjutkan.”
“Okelah kalo
beg beg begitu. Kalau misalkan ada keperluan, izin aja Dek.”
“Iya Mas.”
Forum
dilanjutkan tanpa perhatian dari aku.
Tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu. Kutoleh ke depan ruang kelas. Abi! Aku menepok jidat.
Lalu Aku menunduk.
Kulihat Mas Ar
dan Riko akan berdiri, ingin keluar ruangan. Aku melompat terlebih dahulu untuk
menemui Abi, aku tak ingin rahasia yang selama ini kututupi akan terbuka malam
ini. Kuberi isyarat kepada dua orang yang paling bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan suksesi itu untuk tidak keluar.
“Kamu! Udah jam
berapa ini koq masih ada di kampus?” kutarik tangan Abi untuk menjauh dari
kelas. “Abi sama Umi khawatir sama kamu, Kak, udah malem belum pulang. Masih
belum selesai ta?”
Aku menjelaskan
panjang lebar kepada Abi. Aku tahu Abi pasti akan mengerti dengan penjelasanku.
Satu-satunya alasan kenapa aku mau menjadi KPU karena aku ingin membuktikan
kepada Abi dan Umi bahwa aku sudah besar, sudah bisa menjaga diri, walaupun aku
bukan seperti wanita yang lain, walaupun aku adalah seorang akhwat. Dan kini
alasan kenapa aku harus bertahan bertambah satu. Aku ingin tahu nama pria yang
tadi datang terlambat. Aku harus segera tahu, entah mengapa aku harus tahu dan
apa yang akan aku lakukan jika aku sudah tahu.
“Baiklah, Kakak
boleh ngelanjutin kegiatan ini. Tapi mulai besok jam 10 sudah harus sampai di
rumah. Janji?”
“Janji!” Aku
tersenyum dan memeluk Abi.
Abi mengajakku
untuk pulang dan menyuruhku untuk menaruh motor di pos satpam. Biar besok aku
berangkat bareng Abi.
Aku berpamitan
kepada Mas Ar dan teman-teman yang lain. Meminta maaf karena harus pulang
terlebih dahulu, masalah besok dan seterusnya aku harus pulang pukul 10, biar
nanti saja aku beri tahu mereka.
Ketika berjalan
bersama Abi ke arah parkiran, ada satpam yang sedang berkeliling menyapa Abi.
“Pak Hanif,” sapa Pak Satpam. Aku memasuki area parkir dan Abi menuju mobil
yang diparkir di sisi pos satpam. Kucoba menyalakan HP, kutunggu sebentar
sambil menyiapkan motor, dan nada dering HPku berbunyi. Kulihat ada sebuah
pesan masuk.
“Bismillah.
Jangan lupa besok pagi kita melingkar cinta lagi :) Jam set.7 di
Musala D4 yaa, love you :*” SMS dari Mbak Dila. Aku lagi-lagi lupa. Buru-buru
kupacu motor keluar parkiran menuju mobil Abi. Aku harus menjelaskan bahwa besok
ada mentoring lanjutan.
Setelah
kuberitahu Abi bahwa besok pagi pukul 06.30 aku harus sudah berada di kampus,
beliau tetap akan mengantarku. Aku berterima kasih kepadanya.
Kuparkir
motorku di pos satpam, masuk ke mobil dan menuju ke rumah.
Malam ini aku
mendapat pengalaman pertama flooring yang katanya mengasyikkan. Juga menaruh
rasa penasaran kepada seorang pria, yang semoga besok aku sudah lupa, walaupun
dalam hati yang terdalam aku ingin mengetahui nama kerennya. Melayang ke langit
setelah mendengarnya berbicara. Entah mengapa bakat puisiku kembali dan tak
sabar untuk berjumpa esok hari.
Komentar
Posting Komentar