Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

Pembakaran Hak Asasi dan Nurani

Di siang yang terik itu, Ponokawan Junet berlari ke rumah Somen, dengan tergesa-gesa, hingga mulut ndoweh nya bergetar tak keruan. Ponokawan yang memiliki Aji Jambulseok itu ingin menyampaikan suatu kabar berita kepada sahabatnya tersebut. Kabar yang menurut Junet adalah kabar yang akan membuat Somen tertarik untuk dibahasnya bersama. Junet tahu kalau sahabatnya itu suka membahas hal-hal macam apa yang ingin disampaikannya. Dengan nafas yang tersengal, Junet akhirnya sampai di depan rumah Somen, di Negeri Madayu. Tanpa menunggu kaki-kakinya berhenti bergetar, Junet memanggil nama Ponokawan yang sempat menggegerkan Negeri Kahyangan karena cintanya kepada Dewi Kencana Asri. 3 kali panggilan, Somen pun menjawab. Beruntung bagi Junet karena ponokawan Somen berada di rumah, ia sedang tidak bertugas di keraton Raja Arha. Seketika itu Somen bertanya, ada apa koq grusa grusu kepada Junet. Junet mengatur nafas supaya ucapannya dapat enak didengar Somen.

Pembunuhan Setelah Wisuda

Ian bersedih melihat tubuh Sekar bersimbah darah. Ada bulatan kecil di dada samping bahu kanan yang tercipta gara-gara peluru yang ditembakkan kepadanya. Wanita itu telah menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Ian. Dilihatnya hadiah dan bunga yang tak sempat ia ucapkan terima kasih itu tergeletak. Pria berkacamata yang telah mengganti kostum wisudanya dengan pakaian khas Assassin bertekad akan mengejar pasukan Templar yang telah melakukan hal keji itu. Setelah membaringkan Sekar, mendoakan ketenangan untuk wanita itu, pikiran Assassin muda melambung pada kejadian beberapa menit yang lalu. Seharusnya ini adalah hari paling membahagiakan untuk Ian dan Sekar. Pagi sehabis Ian berganti pakaian wisuda dan memakai toga di kamar mandi kampus, ia bersama Soi berjalan ke arah Graha ITS. Semuanya tampak normal. Sebagai seorang Assassin tentu saja ia harus selalu waspada dengan segala kemungkinan. Ia menyelipkan sebuah bilah pisau tersembunyi di balik jubah panjangnya, yang dapat la

Cintaku Bersemi Sewaktu Flooring bag. 2 : Sebuah Pencarian (Pria Misterius itu Mahasiswa Abi)

“Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.” “Maafin Mbak kalo ada salah selama mentoring pagi ini, semoga hari kalian menyenangkan. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Mbak Dila menutup mentoring lanjutan pagi ini. Mbak Dila menyalami kami satu per satu dan cipika-cipiki.  Musala D4 memang kecil, hanya berukuran 3 kali 5 meter. Namun jika sering diadakan mentoring di sini, maka manfaatnya akan bertambah. Walaupun mentoring lanjutan telah selesai, aku, Mbak Dila dan teman kelompok mentoring yang lain tidak langsung meninggalkan musala, kami menuju tempat wudu. Kami ingin menunaikan shalat dhuha. Masih terdapat 15 menit sebelum kuliah pertama pukul 08.00 dimulai.

Cintaku Bersemi Sewaktu Flooring bag. 1 : Flooring Pertama

“Baiklah, apakah ada pertanyaan atau tanggapan?” ujar Riko, Penanggung Jawab Suksesi Himpunan tahun ini, namun kali ini dia bertindak sebagai seorang moderator. Perawakannya yang gagah dan duduknya yang tegak membuatnya terlihat cocok untuk memimpin jalannya flooring . Malam ini adalah flooring pertama kami sebagai Komisi Pemilihan Umum atau KPU.  Tentu saja pengalaman pertama ini membuatku sedikit tegang. Flooring itu asyik koq, kalimat itu terus berputar di dalam kepalaku. Kalimat yang sering diucapkan oleh Mas Ar, kakak kelas dari himpunan yang senantiasa menemani kami dalam mengonsep draf petunjuk pelaksanaan suksesi himpunan. Ya mungkin saja akan mengasyikkan   sehingga aku dapat tertawa dengan riangnya, pikirku.

Kampusku Angker

Aku berjalan melewati koridor besar yang menghubungkan gedung lama dan gedung baru kampusku. Kampusku adalah kampus tua. Kata orang kampusku angker. Banyak yang telah membuktikannya. Salah satu penjaga kampus, Pak Joko pernah berkata bahwa di koridor ini sering terdengar tangisan wanita. Tidak main-main, setiap Kamis malam di atas pukul 12, suara itu kerap muncul. Mengganggu siapa saja yang lewat. Dan kini aku berada di sini. Kulihat jam tanganku. Waktu menunjuk 11.30 malam. Untung saja hari ini Hari Selasa. Walaupun begitu, aku tetap merasa takut. Panjang koridor yang tidak seberapa seharusnya membuatku dapat mencapai gedung baru dengan cepat. Namun, suasana malam ini terasa lambat. Tidak ada angin yang berhembus. Semak-semak dan dedaunan dari pohon yang ditanam di taman kanan kiriku tak bergerak. Membisu, seperti sedang membiarkanku berlalu melewati koridor yang sepi.

Teruntuk Sang Mentor

Hari Rabu menjelang wisuda kakak kelas program studi Diploma 4, aku mengajak Ilham, Agung, Ian untuk memberikan kenang-kenangan kepada Mas Anugro, mentor lama kami. Kenang-kenangan berupa suatu barang yang dapat bermanfaat. Selain sebagai ucapan maaf dan terima kasih, hadiah yang akan kami berikan sebagai pengganti traktiran yang pernah Mas Anugro lakukan di awal mentoring dulu. Kelompok mentoringku (selain ketiga orang tersebut) juga ada Indro, Arnel dan Aziz, walaupun Aziz hanya mengikuti dua pertemuan. Kami melakukan mentoring tidak sesering kelompok yang lain. Apalagi di akhir-akhir ini, mungkin mulai awal semester 5, kami sudah tidak pernah melaksanakan kegiatan pembinaan tersebut. Ada saja alasan yang kami lontarkan, sebagai dalih untuk menutupi rasa malas kami. “Ayo kita ngasih sesuatu buat Mas Anugro! Ya minimal sebagai pengganti traktiran di Jannah dulu, gimana?” ajakku sore itu. “Oke, aku ikut aja, “ jawab Ian sekenanya, ia masih asyik bermain sebuah game PC.