Cerpen kolaborasi dengan Rafika Nilasari. Suara tawa makin nyaring terdengar. Mataku perlahan-lahan terbuka, sekuat tenaga duduk di pinggiran ranjang dan melangkahkan kaki menuju arah suara. Meski langkah kaki gontai, kedua telingaku menangkap dengan baik asal suara gelak tawa itu; Dapur. Kulihat Ibu yang menggoreng ayam dengan sesekali mundur karena cipratan minyak dan Ayah, mencoba membantu Ibu memotong kentang. Keduanya tertawa, menertawakan Ayah yang tidak mengupas kentang dengan bersih dan potongan kentang asimetris. Aku melabuhkan tubuhku sendiri pada pintu kayu itu sembari tersenyum dan tidak sedikit-pun ingin mengganggu. Aku, dianggapnya angin lalu oleh keduanya. Semakin lama, semakin tenggelam tubuhku ke bawah. Terduduk lemah, sambil memeluk lututku sendiri. Menangis. Kembali ke dalam kamar, menghempaskan diri di atas kasur dan membenamkan kepala ke bantal agar isak tangisku tak terdengar. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit. Aku beranjak, berganti pakaian dan be