"Kenapa lagi kau, Men?" tanya Ponokawan Junet, sembari mendekat, lalu duduk di samping Somen yang sedang menatap danau belakang istana.
"Haruskah seseorang semakin dewasa tentang cinta, setelah ia mengalami beberapa kali patah hati, Jun?" Pandangan Somen semakin kabur. Ia berusaha tegar namun ia tak sanggup menahan air mata yang seindah kaleidoskop itu di matanya.
"Setiap orang berhak menjadi dewasa, Men. Semua orang juga berhak merasakan cinta," Junet yang sebelumnya memandangi muka Somen, setelah tahu mata temannya itu mulai berair, ia mengalihkan pandangannya ke arah danau. "Kau harus belajar dari masa lalu, bukankah kau pernah merasakan hal yang sama ketika mencintai Dewi Kencana Asri?"
"Tidak, Jun! Tidak." Somen mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Ini berbeda."
"Selain teringat kenangan-kenangan bersama Ais, adakah hal lain yang membuat ponokawan kuat macam kau ini meneteskan air mata?"
"Aku mencintai Dewi Kencana Asri hanya sampai hati, bukan nurani. Aku mencintainya hanya sampai dunia, bukan nirwana (Akhirat, Red.). Aku mencintainya hanya sampai rindu, bukan impian." Somen terdiam sebentar. "Bahkan, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan jika Sang Dewi membalas cintaku. Aku tak akan pernah merencanakannya."
"Dan kau punya rencana yang serius kalau Ais membalas cintamu?" Tanya Junet ketika segerombol burung bangau terlihat melintasi atas danau, sehingga bayang-bayang putih tampak di atasnya.
Somen mengangguk. "Tentu saja, Jun. Aku sudah merencanakan semuanya. Mungkin satu atau dua tahun ini aku berniat untuk menikahinya."
"Kau serius, Men? Maksudku, kalau memang begitu kenapa kau tiba-tiba berhenti?"
Jagat pewayangan sepertinya ikut menyimak percakapan dua ponokawan ini. Langit senja yang awalnya indah, lembayung yang semula tampak di kaki langit, kini berubah menjadi hitam. Awan-awan berkejaran bersama angin. Pekat. Gelap. Tampaknya hujan akan segera turun.
"Entahlah, Jun. Aku tidak pernah memahami sebuah perasaan, bahkan perasaanku sendiri. Hanya saja, kali ini aku benar-benar merasakan bahwa ini adalah jawaban dari doa yang selama ini kupanjatkan." Air hujan satu per satu turun ke bumi. "Aku merasa apa yang kukejar selama ini hanyalah kesia-siaan."
Hujan semakin deras, maka Junet pun memberi gagasan. "Men, ayo kita kembali ke istana. Tak bisakah kau rasakan hujan membasahimu?" Junet sudah berdiri, bersiap untuk berlari menuju tempat untuk berlindung dari hujan. "Walaupun kau saat ini sedang patah hati, tapi kau jangan seperti ini."
"Biarlah, Jun. Aku tak ingin orang-orang menganggapku lemah, aku tak ingin mereka melihatku menangis. Aku ingin puas menangis di bawah hujan."
Junet yang semula berdiri, kini kembali duduk di atas kursi kayu yang sedikit licin gara-gara terkena air hujan. "Aku mengenalmu sudah lama, Men. Kelemahanmu itu masih sama, yaitu jika menyangkut masalah wanita. Kau ini pemimpin para pasukan ponokawan. Kau murid Puntadewa. Kau satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga Negeri Madayu ini. Tapi kau masih saja harus bertekuk lutut kepada wanita."
"Andai aku tahu cara mengalahkan kelemahanku itu, Jun. Aku memang tak pernah bisa menguasai hatiku yang kadang begitu liar." Hujan yang jatuh di atas danau membuat volume air bertambah.
"Kalau begitu mulai sekarang kau harus berubah. Kau harus menjaga hati."
"Tentu saja, Jun. Aku sedang berusaha untuk mengurangi semua hal yang dapat mengingatkanku pada dia. Bahkan aku tak ingin lagi menyebut namanya." Kini seluruh tubuh Somen dan Junet basah terkena derasnya hujan.
Junet menyunggingkan sebuah senyuman. "Kedewasaan tentu saja akan segera kau dapatkan. Aku memang hanya bisa berteori, mungkin kalau aku berada di posisimu, aku tak tahu harus menunggu berapa lama untuk bangkit."
"Kau beruntung, Jun. Kau sama seperti kebanyakan orang yang mudah menyembunyikan perasaan."
"Tidak juga. Kadang aku iri kepada orang-orang sepertimu Men, yang berani mengungkapkan perasaan yang belum tentu akan terbalas dan malah berujung penolakan. Kau memang pemberani, dalam segala hal."
Mendengar ucapan itu, Somen tertawa. "Hahaha. Aku tak tahu aku ini pemberani atau aku hanya tak memikirkan hal ini masak-masak."
"Hahaha, hanya kau sendiri yang memahami hatimu, Men."
"Semua kenangan indah di masa lalu semoga sekali lagi akan menjadi pembelajaran untukku. Semua rencana manis di masa depan, yang telah kusiapkan untuknya, kini harus kututup rapat-rapat. Hingga .." Suara Somen kembali serak, " Hingga ada seseorang yang benar-benar ditakdirkan untuk mendampingiku."
"Kau pasti bisa, Men. Kau pasti bisa melupakan Ais, sama seperti wanita-wanita yang pernah mengisi hatimu."
"Ini berbeda, Jun!" Bentak Somen.
"Iya, maaf. Maaf. Ini berbeda."
Kini langit gelap bukan hanya karena tertutupi awan mendung melainkan matahari memang sudah tenggelam. Malam telah menyelimuti dunia pewayangan. Kedua ponokawan masih bertahan di atas kursi reyot yang disiapkan untuk memandangi keindahan danau.
Junet mendongak ke atas langit. "Men, hujan sepertinya akan segera berhenti. Tapi sekarang sudah malam." Ujar Junet lalu ia menoleh ke arah Somen, "Tak maukah kau kembali ke istana? Itu sih kalau kau sudah puas menangis. Hahaha"
"Hahaha. Sudah koq, Jun. Apa kata dunia jika orang sepertiku ini terlalu lama menangis? Aku kan pemimpin pasukan ponokawan."
Junet kembali tersenyum ketika hujan benar-benar berhenti. "Bagus lah kalau begitu," setelah mengucapkannya, Junet berdiri. "Kau mau aku bantu berdiri atau tidak?"
"Dasar kau ini, Jun!" Somen kini berdiri, mengusap matanya sekali lagi. "Masalah hari ini jangan kau ceritakan ke siapapun."
"Bukankah aku selalu begitu?"
"Kau memang anak buah yang baik."
"Sialan. Hahaha"
"Haha. Kau satu-satunya sahabat yang selalu mau mendengar cerita-ceritaku." Somen akhirnya berjalan ke arah istana, diikuti Junet di belakangnya.
"Sekarang. Kita harus memikirkan alasan kenapa kita basah kuyup seperti ini, Men."
"Bilang saja abis menyelam ke danau. Mencari pusaka tirta, sama seperti Werkudara ketika bertemu Dewa Ruci!"
"Hahaha."
Akhirnya kedua ponokawan itu kembali ke istana. Somen telah mengalami patah hati yang sempat membuatnya berantakan. Namun, semua tahu bahwa ia adalah ponokawan kuat. Ia dapat segera bangkit. Pengalaman ini akan menambah kedewasaannya.
Komentar
Posting Komentar