Ponokawan Somen melihat seekor rajawali terbang di atas kepalanya. Burung itu berputar-putar seperti sedang menunggu apa yang akan terjadi setelah ini, ingin menyaksikan sebuah pertempuran antara ksatria dan ponokawan yang tak (pernah) sebanding, antara Somen dengan calon musuhnya, Prabu Burisrawa, putra Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka. Padang rumput di Negeri Antah Berantah ini akan menjadi saksi siapa yang terkuat di antara keduanya.
Burung rajawali itu menukik tajam, perlahan pergi hingga tak lagi terlihat di kaki langit. Ponokawan asal Negeri Madayu itu tidak pernah menduga akan terlibat dalam pertarungan ini. Ia merasakan banyak keganjilan di dalam pikiran dan hatinya. Semestinya ia tak menerima tantangan Burisrawa secepat itu, namun ia tahu apa yang akan dilakukan, lagi pula tekadnya sudah bulat.
Sudah hampir 1 jam Ponokawan Somen menunggu kedatangan Burisrawa. Ia duduk bersila sambil mengingat-ingat kejadian sebelum hari ini, menimbang-nimbang kemungkinan yang akan terjadi dan sedikit menyesali penolakannya atas saran Ponokawan Junet.
“Kau harus ajak kami, Men. Burisrawa terlalu kuat. Ia juga ambisius. Mirip ayahnya,” ujar Ponokawan Junet coba membantu.
“Tidak, Jun. Ini adalah masalahku. Aku janji aku akan baik-baik saja.”
Somen sebenarnya memahami bahwa kekuatan yang dimilikinya tak sebanding dengan Burisrawa, ksatria yang pernah melawan Arjuna. Somen juga tahu bahwa ia hanya ingin membuktikan sesuatu, bukan untuk sekedar menegakkan kebajikan, bagaimanapun istilahnya. Ada perasaan yang memberatkan hatinya yang hanya bisa dipecahkan setelah pertarungan ini.
“Kau ingat ketika Burisrawa menantang Arjuna saat memperebutkan Subadra? Burisrawa menggunakan segala macam cara supaya bisa menang.”
“Ya, aku ingat, Jun. Aku slalu ingat akan hal tersebut. Itu yang akan membuatku slalu berhati-hati saat bertarung dengannya nanti.”
Somen mengingat bagaimana ekspresi Junet ketika mencemaskan keadaannya. “Walaupun begitu, aku tetap khawatir,” kata Junet.
Somen tersenyum. “Santai saja, Kawan,” balasnya.
“Kau harus menang dan membunuhnya. Dengan begitu, sekutu Korawa akan berkurang satu.”
“Doakan aku.”
2 jam telah berlalu. Somen tak melihat tanda-tanda kehadiran sang musuh. Apa yang direncanakan Burisrawa? Somen mencoba menerka-nerka. Apakah ini hanyalah sebuah siasat untuk membuatnya lelah menunggu? Keringat Somen bercucuran semakin deras. Sejak tadi ia berada di tengah padang rumput pada siang hari yang terik. Ataukah ini adalah sebuah pengalihan? Somen memikirkan alasan mengapa ia berada pada masalah ini. Kejadian itu bermula kira-kira mulai 2 minggu yang lalu.
Waktu itu Negeri Madayu mendapat seorang ponokawan wanita baru yang bernama Ponokawan Ais. Tersebar desas desus bahwa ia adalah reinkarnasi dari Istri Resi Bagaspati –walaupun pada cerita Keluarnya Hanoman dari Buku, isu itu tidak terbukti--. Kabar angin itu terdengar sampai ke Negeri Mandaraka, tempat Prabu Salya memimpin.
Prabu Salya masih berduka atas Kematian Ayahnya, Mandrapati, meski peristiwa itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Dan hal yang paling diingat oleh Prabu Salya adalah kata-kata Mandrapati sebelum ia memutuskan bunuh diri.
“Anakku, perlu kau tahu bahwa aku dan Bagaspati sudah lama menjadi sahabat. Lalu kau telah membunuhnya supaya anaknya, Pujawati dapat hidup bahagia bersamamu. Bagaspati rela mati demi cinta anaknya padahal aku tahu, jauh di dalam hatinya, Ia merindukan istrinya yang telah lama meninggal, seperti aku merindukan Ibumu.”
Prabu Salya tidak dapat menahan kesedihan ketika mengingat-ingat wajah Ibunya yang cantik dimana kecantikan tersebut diturunkan kepada adiknya, Madri.
“Sebagai bentuk persahabatan abadi. Dan cinta. Aku juga akan menyusul Bagaspati.”
Saat mendengar kata-kata ‘menyusul Bagaspati’, Salya merasa prihatin karena telah membunuh mertuanya.
“Aku punya satu pesan untukmu. Suatu hari nanti, ada dua orang wanita, entah apapun pekerjaan mereka, di mana pun mereka saat ini, mereka adalah reinkarnasi dari Istri Resi Bagaspati dan Ibumu. Temukan mereka dan jadikanlah istri untuk anak-anakmu,” ujar Mandrapati untuk yang terakhir sebelum ia menebas lehernya sendiri dengan pedang.
Setelah Kematian Mandrapati, Prabu Salya diangkat menjadi raja di Mandaraka. Sampai kapan pun, ia akan mengingat wasiat dari Ayahnya. Maka ketika terdengar desas-desus bahwa ada seorang ponokawan wanita yang mirip dengan Istri Resi Bagaspati, Prabu Salya mengutus anaknya, Burisrawa untuk menuju ke Negeri Madayu. Burisrawa sendiri yang harus menjemput jodohnya.
Burisrawa datang ke Negeri Madayu tidak dengan cara yang damai. Negeri Madayu yang dipimpin oleh Prabu Arha adalah sekutu Para Pandawa, tentu saja tidak dapat menerima sekutu Korawa dalam keadaan yang baik dan penuh sopan santun. Saat itu Burisrawa membawa banyak sekali pasukan. Ia menginginkan kemudahan, datang dan menang, membawa Ponokawan Ais dan pulang. “Tidak semudah itu!” Teriak Prabu Arha.
Burisrawa yang merasa tersinggung dengan perlakuan Sang Prabu akhirnya menyuruh para pasukannya untuk menyerang Negeri Madayu. Ia memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua orang termasuk warga yang tak berdosa. Desa-desa di Negeri Madayu menjadi sasaran kemarahan Burisrawa, hingga akhirnya ponokawan Somen bersama ketiga sahabatnya, Junet, Takmir, dan Rosed datang. Mereka melawan semua pasukan Burisrawa dengan bantuan para pasukan Prabu Arha. Somen yang masih belum menyadari alasan Burisrawa menyerang Negerinya itu hanya ingin mengabdi kepada Prabu Arha, sebagaimana mestinya.
Somen membunuh satu per satu pasukan musuh dengan tombak yang mirip dengan milik Yudhistira alias Puntadewa. Junet meremukkan kepala pasukan Burisrawa dengan gada andalannya. Takmir hampir menghabiskan anak-anak panahnya. Rosed memainkan pedang dengan lihai. Keempat ponokawan lagi-lagi harus berhadapan dengan permasalahan cinta.
Ketika sebagian besar pasukan Burisrawa telah mati karena yang lain lari melarikan diri, Somen menatap mata bengis seorang ksatria bertubuh besar di depannya. Kali ini pun Somen belum mengerti penyebab pertumpahan darah di Negeri yang terkenal asri dan damai itu. Somen mengatur nafasnya (karena kelelahan) supaya dapat berbicara dengan keras.
“Mau apa kau mengganggu ketenangan Negeri Madayu?” tanya Somen dengan lantang.
Burisrawa tertawa seakan tak menyesali para pasukan yang gugur membelanya. “Aku hanya ingin mengambil jodohku.”
Somen terdiam, berpikir, lalu bertanya, “Siapa orang yang kau maksud?”
“Oh rupanya kau belum tahu, Bajingan. Aku ingin menjemput, hmm..” Burisrawa terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu, “Ais! Ya, jodohku adalah Ais.”
Somen tersentak. Kaget. Ada perasaan yang aneh merayap di dadanya, seperti perasaan tak percaya. Ia jelas tak tahu perasaan apa itu, ataukah hanya perasaan biasa. Tapi ia juga merasa sedih. Marah. Gundah.
“Kenapa kau hanya terdiam? Kau ingin aku sendiri yang meluluhlantakkan Negerimu ini? Dan mengambil Ais?”
Ponokawan Junet, Takmir dan Rosed menatap muka Somen. Mereka tidak mengetahui apapun tentang ponokawan wanita itu, mereka hanya tahu bahwa bantuan mereka hanya bentuk pengabdian kepada sekutu Pandawa. Karena kepo, akhirnya Junet angkat bicara, “Apa maksud perkataan ksatria aneh itu, Men?”
“Tidak Jun, ini semua mungkin hanya kesalahpahaman.” Somen masih belum percaya. Ia tak dapat menerima jika Ponokawan Ais akan hidup bersama orang lain. Walaupun singkat, namun Somen tahu bahwa ia merasa bahagia di dekat ponokawan (yang di kemudian hari akan menjadi partnernya).
“Tapi, apakah gugurnya para warga, para pasukan, hanya karena kesalahpahaman? Untuk membela kesia-siaan?” tanya Rosed.
“Semoga tidak. Aku berdoa untuk mereka.”
Kacap kacarita. Ponokawan Somen berhasil membuat kesepakatan dengan Burisrawa. Sebuah kesepakatan untuk bertarung memperebutkan salah satu ponokawan manis di dunia pewayangan. Mengenai Junet, Takmir dan Rosed, memang ada hal-hal yang sengaja disembunyikan oleh Somen kepada para sahabatnya itu, yaitu tentang Ais, tentang motif, tentang semuanya. Kali ini Somen ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Selain itu, dengan mudah Ia dapat membujuk Prabu Arha untuk mengijinkannya pergi tanpa pasukan, walaupun ia sadar bahwa Burisrawa bukanlah orang yang akan menepati janji untuk bertarung satu lawan satu. Namun ia siap akan segala kondisi.
Hingga akhirnya Somen berada di sini. Di sebuah padang rumput yang luas. Sepanjang penglihatan hanya tampak rerumputan dan pohon. Ia masih menunggu dan hampir merasa bosan. Merasa dipermainkan oleh putra Prabu Salya tersebut.
Ketika matanya perlahan menutup karena rasa kantuk, terik panas tiba-tiba tergantikan oleh mendung yang datang dari arah Barat. Somen buru-buru berdiri. Dilihatnya jauh ke arah datangnya rasa dingin itu. Seorang pria berbadan besar berukuran dua kali Somen tampak semakin mendekat. Ponokawan itu ragu apakah sesosok pria yang dilihatnya adalah Burisrawa atau bukan. Badannya jauh lebih besar daripada musuh yang ditunggu-tunggu itu.
Saat muka pria itu mulai tampak, Somen yakin bahwa itu bukanlah orang yang ingin dihadapinya. Somen tak tahu maksud kedatangan pria ini. Ia kawan atau lawan? Somen tak dapat memastikannya. Apakah ia orang suruhan Burisrawa untuk melawan dirinya?
“Ada ribuan pasukan sedang menuju ke sini.”
“Siapa kau?” tanya Somen pada pria misterius itu.
“Aku datang untuk memperingatkanmu.”
“Apakah mereka dipimpin oleh seorang pria besar bermuka bengis?”
“Kau memiliki musuh yang sangat berbahaya, padahal kulihat di dalam hatimu, kau adalah orang yang baik.”
“Aku ingin membela apa yang kuyakini benar.”
“Coba kutebak. Apakah semua ini masalah wanita? Masalah cinta?” Pria besar itu berhasil membuat Somen semakin berhati-hati dengannya. Somen tak tahu siapa pria yang sedang berdiri di depannya, namun pria tersebut dapat menebak permasalahan yang sedang terjadi.
“Tidak ada alasan bagiku untuk memberimu informasi apapun terkait diriku.” Somen mencoba untuk tetap tenang dan bersiap menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi.
“Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi,” ujar pria itu, ia masih belum menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan selain pengetahuan yang dimilikinya. Pria itu melanjutkan, “Masalah cinta adalah masalah klasik, masalah semua orang. Orang-orang pertama di dunia pewayangan ini pun bunuh-membunuh gara-gara cinta. Dua raja yang saling berebut wanita dapat memberikan perintah kepada pasukan-pasukannya untuk bertarung, saling menghabisi. Tapi tahukah mereka hakikat cinta yang sesungguhnya? Apa yang mereka yakini sebenarnya adalah ...”
“Oh, jadi kau ini pakar percintaan?” potong Somen.
“Aku telah hidup lebih lama daripada dirimu, Ponokawan. Percayalah padaku, ...”
“Percaya padamu? Kau saja belum menjawab pertanyaanku mengenai dirimu.”
Sepertinya kondisi yang sangat berat dan penantian lama di padang rumput membuat Ponokawan Somen kehilangan kontrol akan emosinya.
“Apakah kau sudah menjamin bahwa wanita yang saat ini sedang kau perjuangkan dapat memberikan semua hal yang kau inginkan? Minimal cinta? Kau yakin dia juga mencintaimu?”
Somen mendadak memikirkan apa yang dikatakan oleh pria besar itu. Apa yang membuat Somen datang ke sini adalah bahwa dia ingin segera memenangkan Ais, wanita yang dikenalnya di Negeri Madayu. Ia bahkan tak tahu apakah Ais menginginkan hal ini atau tidak.
“Sekarang pulanglah. Ikhlaskan wanita itu karena kau sendiri belum bisa menjamin apakah dia ditakdirkan untukmu atau bukan. Jangan mati konyol di sini, lagipula baik kau atau orang yang akan melawanmu tidak ditakdirkan untuk mati sekarang.”
Somen terlihat berpikir. “Aku tidak ingin terlihat seperti seorang pengecut.”
“Kau telah membuktikan bahwa kau pemberani dengan datang ke tempat ini. Tapi kuberitahu kau, kau dan wanita yang kau cintai itu akan jadi partner di mana kau sekarang mengabdi. Jangan sia-siakan itu.” Perkataan itu membuat Somen berpikir lagi. Bagaimana pria besar ini tahu?
“Aku semakin penasaran denganmu, Pria besar!”
Setelah Somen mengatakan kekagumannya, ribuan pasukan terlihat di atas gunung. Seorang pria berbadan tegap, Burisrawa tampak berada di depan, memimpin para pasukan.
“Mereka telah tiba. Sekarang kembalilah ke negerimu. Siapkan pasukan buat berjaga-jaga jika Burisrawa dan pasukannya kembali menyerang negerimu. Biar aku yang mengurus mereka, mereka telah membuat banyak kerusakan selama perjalanan ke sini.”
“Terima kasih, siapapun namamu.”
Somen seketika itu juga langsung berlari menjauh. Saat ia menoleh pria bertubuh besar itu membalikkan badan dan gunung-gunung yang berada di ujung padang rumput tampak seperti bergerak. Para pasukan Burisrawa berjatuhan dan kocar-kacir. Somen sebenarnya ingin melihat apa yang ingin diperbuat oleh pria yang telah memberinya peringatan, tapi ia harus segera kembali ke Negeri Madayu untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk.
Akhir cerita, Somen menemui Ais untuk sekedar bercakap-cakap dengannya. Ia masih belum bisa berbuat apa-apa termasuk mengakui perasaannya, malah ia berusaha untuk segera melupakan ponokawan wanita itu. Tapi di kemudian hari, rencana itu gagal karena Somen dan Ais akhirnya diberikan titah oleh Raja Arha untuk bekerja sama dalam mengatur keperluan istana.
Cinta mungkin saja dapat membuat kita melakukan apapun untuk memperjuangkannya. Tapi di sisi yang lain, cinta yang sesungguhnya juga berarti mengikhlaskan orang yang kita cintai untuk hidup bersama orang lain. Itulah yang saat ini coba aku lakukan.
Komentar
Posting Komentar