Kantin, adalah tempat-ku-jatuh-cinta kedua kepada Dina.
Siang hari ketika siswa-siswa bersorak gembira karena mendapatkan kabar bahwa guru-guru akan mengadakan rapat, ketika Aku dan Ahmad dan Arrasyid bingung karena tak ada kegiatan di masjid Al Maghfiroh (di SMA ku), sehingga harus luntang-lantung mencari kesibukan, aku memutuskan untuk mengajak kedua sahabatku ini menuju kantin. Kantin yang berukuran sebesar setengah lapangan, yang kira-kira berisi 6 penjual makanan dengan tempat masing-masing berpanjang dua-setengah meter dan berlebar tiga meter, mendadak sepi. Mungkin siswa yang lain sudah berebut jalan menuju pulang mereka masing-masing.
Di salah satu lapak penjual makanan, aku melihat wakil ketua kelasku, Iul duduk bersama salah satu temannya, Dina, iya mungkin itu namanya, aku belum yakin alias lupa-lupa ingat. Hal yang kuingat darinya yaitu dia adalah wanita yang pernah menarik perhatianku 2 tahun yang lalu ketika aku masih kelas X. Dialah sang mukena biru tua. Aku menyapa santai kepada wakilku yang tomboy itu, Iul membalas dengan sebuah teriakan yang khas, “Hei, Pak Ketua Kelas!” Sembari bercakap-cakap penuh keseruan, kucuri pandang ke arah wanita berambut kuncir kuda di samping Iul. Mukanya manis apalagi ketika senyumnya mengembang memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Pikiranku tiba-tiba kembali ke 2 tahun yang lalu, ketika aku dan Diki diminta mendata nama calon peserta lomba pidato Bahasa Inggris, ketika kami berada di kelas Dina, ketika pertama kali kulihat mata cerah itu.
Sepertinya Ahmad dan Arrasyid sudah tahu harus berbuat apa, mereka memesan nasi pecel lauk ayam tepung di warung Mami. Sementara itu perhatianku tak ubahnya seperti bumerang, perasaan yang dulu sempat hilang kini kembali datang. Apakah ini jatuh cinta untuk kedua kalinya ke orang yang sama? Dadaku yang semula normal kini deg-deg-an, jantung yang awalnya berdetak biasa kini semakin cepat. Dina, sementara ini nama itu yang kuingat, telah membuat hatiku merasa hangat kembali. Hei, kau telah membuat seorang mantan ketua rohis jatuh hati! Pikirku.
Sama halnya dengan perasaan yang telah lalu, keinginan untuk memiliki itu pasti ada. Namun, aku tetap berusaha untuk sesegera mungkin menghilangkan cinta ini. “Pak Ketua, aku mau balik! Pamit ya?” Ujar Iul secara tiba-tiba, berencana untuk pergi dari kantin, bersama Dina. Kubalas perkataannya dengan sedikit ungkapan kekecewaan, tapi aku malah merasa bahagia ketika Dina melempar senyum dan melambaikan tangan perpisahan yang sangat menarik hati. Aku mengangguk dan berkata “Hati-hati.” Juga kulempar senyum ke arahnya.
Jam-jam setelah pertemuan itu menjadi semakin sulit bagiku. Susah untuk segera melupakan wajahnya. “Mi, saya juga mau nasi pecel dong. Pesen satu ya?” Ucapku kepada Mami. Sekali dua kali kulirik kursi tempat duduk Dina tadi sambil membayangkan dia masih ada di sana. “Nggeh, siap!” Balas Mami cepat. Aku tersenyum setelah balasan ramah itu lalu duduk di samping Ahmad dan Arrasyid. Kulihat mereka sudah menghabiskan separuh piring nasinya.
Bayang-bayang wajah Dina ada pada kaca warung Mami, ada pada meja kayu di depanku, ada pada langit-langit kantin, ada pada rambut Ahmad, ada pada rambut Arrasyid, ada pada tempat manapun mataku memandang. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi ini memang efek dari jatuh cinta. Apalagi ini adalah yang kedua kalinya.
Siang itupun akhirnya berlalu, namun muka manis Dina ikut pulang ke rumah. Mukanya muncul pada cermin di kamarku, mukanya muncul pada ubin biru, mukanya muncul pada kipas angin, televisi, perabotan rumah tangga lainnya. Sial. Aku belum bisa melupakannya barang satu dua detik.
Rasa penasaran itu benar-benar memuncaki pikiranku. Aku harus mendekatinya, minimal kami harus mulai menjalin komunikasi. Kuambil ponsel dan kubuka browser. Pertama kali hal yang ingin kulakukan adalah mencarinya di Facebook. Kuketikkan nama lengkapnya pada kolom pencarian. Ketika menunggu, pikiranku sudah kemana-mana tanpa izin. Oh ternyata kami sudah berteman di Facebook, mengapa aku tidak sadar? Batinku. Setelah itu aku berniat untuk membuka twitter, hingga sebuah pesan singkat masuk. “Pak Bos. Jangan lupa laporan pertanggung-jawaban kepengurusan kita segera di-cek dan di-tanda-tangani.” Ternyata itu pesan dari Sekretaris ku, Maria. Ah, Maria ini, jadi keinget kan kalo aku ini mantan ketum rohis, padahal mau ndeketin cewek, kataku dalam hati.
Kubalas cepat pesan tersebut dengan kata “Iya.” Lalu aku menuju kamar, melihat di atas meja belajar, membuka tumpukan kertas dan map, mencari laporan pertanggung-jawaban (LPJ) rohisku. “Dimana lagi LPJnya ini,” gumamku. Kadang terlintas di pikiranku, apakah seorang mantan ketua umum rohis boleh melakukan apapun, melakukan hal-hal yang dijaga sewaktu menjabat, contohnya pacaran. Tapi kalau seperti itu berarti aku menyia-nyiakan semua kebaikan yang pernah kulakukan. Lagipula aku malu dengan sambutan terakhirku waktu serah terima jabatan kemarin, “Setelah tak lagi menjabat di rohis, kita harus tetap bermanfaat bagi sekitar dan menjaga keistiqomahan kita di jalan Islam.”
Setelah lama membolak-balik tumpukan kertas dan map dan buku, akhirnya apa yang kucari ketemu. Berada di dalam map warna hijau, seketika itu juga langsung kutuliskan “LPJ” di atas mapnya menggunakan spidol. Sisa sore itu kuhabiskan untuk mempelajari LPJ yang dibuat oleh sekretarisku, pikiran mengenai Dina seakan mendadak hilang.
Keesokan harinya, saat sinar matahari terasa hangat, sinar putih menerobos sesuka hati, aku bersiap untuk berangkat ke sekolah. Masalah perasaanku ke Dina? Sudah lupa. Selepas berpamitan ke orang tua, kupacu motor hitamku menuju SMA melewati rute yang biasa. Ketika tidak ada hal yang menarik perhatian di jalan, sebuah motor tiba-tiba menyalip motorku. Tak seperti biasanya dimana aku tak acuh dengan salip-menyalip, mataku seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita yang dibonceng tampak familiar, seorang wanita rambut kuncir kuda memakai jaket hoodie kombinasi warna abu-abu dan biru muda duduk di belakang. Itu Dina! Hlo rumahnya di sekitar sini? Aku baru ingat, dulu aku pernah bertemu dengan seorang wanita yang baru keluar dari Perumahan Griya Kencana Asri saat aku mengantar adikku pergi sekolah. Oh jangan-jangan Dina tinggal di Perumahan GKA? Perumahan GKA berada di pinggir jalan menuju lokasi sekolah adikku, jalanan tersebut sering aku lalui karena memang berada tidak jauh dengan rumah.
Tiba-tiba aku merasakan perasaan seperti kemarin merayap di dalam hatiku. Kurasakan sebuah senyuman tercipta di mukaku. Senyuman yang mungkin akan sering keluar ketika mengingat-ingat kejadian seperti ini. Karena tak ingin tertinggal jauh alias ingin tetap berjarak dekat dengan motor Dina, kujalankan motorku lebih cepat. Kalau terlalu dekat kupelankan motorku. Dan di saat yang tepat, kusalip motornya dengan sedikit melirik ke arah wanita yang dibonceng. Apakah Dina melihatku? Ah, sepertinya kejadian seperti ini sangat jarang terjadi. Selama 3 tahun aku baru sekali ini berangkat ke sekolah bertemu Dina di jalan, atau aku yang tidak pernah menyadarinya?
Hari ini pun berlalu, dengan bayangan wajah Dina di setiap detiknya.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan penuh rasa penasaran, sekaligus kegundahan. Berbagai macam pertanyaan mulai muncul di dalam pikiranku, seperti: bagaimana bila rasa ini hanya cinta monyet seperti yang lalu-lalu, apa lagi dulu aku pernah menyukai Dina dan akhirnya bisa melupakannya. Bagaimana jika pemilik senyum manis itu sudah punya pacar, kalau ini ketakutan klise. Bagaimana kalau mukena biru tua itu hanya mau menjadikanku teman, ini juga klise, namun satu pertanyaan yang sangat aku takuti untuk terpikir adalah apa yang akan kuperbuat setelah aku sudah dekat dengan wanita itu, sangat dekat melebihi apa yang dapat kubayangkan. Aku adalah mantan ketua umum rohis sehingga tentunya aku harus tetap menjaga diri supaya tidak terjebak dalam hal-hal seperti ini.
Mungkin aku harus segera mengakhiri kegalauan ini, karena istilah ‘orang alim’ masih tersemat pada diriku. Seperti tadi siang ketika waktu sholat dhuhur, aku masih saja ditunjuk menjadi imam, atau dalam hal yang paling sederhana ketika para siswi yang mengenalku sudah tahu bahwa aku tidak mau bersentuhan dengan mereka. Memang menjadi seorang aktivis itu susah, bahkan dalam urusan klasik seperti masalah cinta. Lalu, apakah salah dengan rasa yang saat ini kumiliki?
Jatuh cinta kedua kepada Dina membuatku gundah, untuk saat ini.
Akhirnya malam ini kututup dengan membuka Twitter, kuputuskan untuk mencari akun Dina. Hal terpenting yang harus kulakukan sekarang adalah mengurangi rasa penasaran yang melanda. Aku harus mengenal dirinya lebih banyak. Kugulir linimasa Twitter sekilas lalu kucari akun wanita itu pada kolom pencarian. Kudapati sebuah akun bernama @dinatika, dengan nama lengkap yang menunjukkan nama Dina. Biodata yang tertulis adalah -- Desember 1994. Ulang tahunnya bulan ini? Wow. Tanggal berapa ya?
Ketika aku melihat-lihat isi tweetnya, sayang sekali, update terakhirnya 2 minggu yang lalu. Dina sudah lama tidak menggunakan akunnya. Tak masalah bagiku, aku tetap akan mengikuti akunnya.
Keesokan harinya, entah mengapa ketika aku membuka twitter kuputuskan untuk berhenti mengikuti @dinatika. Jam-jam setelahnya terasa lebih ringan karena kebetulan aku belum berjumpa lagi dengan Dina, yang biasanya sering kutemukannya ketika shalat dhuha di Masjid Al Maghfiroh.
Tepat selepas aku mulai tak acuh dengan Dina, sore hari di dunia Twitter. Seorang teman dengan akun twitternya membalas tweet dari akun yang pernah aku ikuti. Akun Dina. Seketika itu juga kubuka akunnya dan benar saja apa yang kupikirkan. Setelah 2 minggu tak aktif, kini Dina kembali bercuit-cuit di dunia maya. Lalu terbesit di pikiranku, apakah ini hanya kebetulan? Apakah ini yang disebut takdir? Apakah definisi jodoh adalah orang yang tiba-tiba aktif ketika kita stalking akunnya? Ah, aku tak ingin terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi. Namun, yang pasti saat ini juga aku harus mengikuti akunnya, kutekan tombol follow. Semoga kali ini istiqomah.
Tak lama setelah itu, Dina mengikut-balik akun twitterku. Rasanya seperti berjuta rasanya.
Setelah puas dengan apa yang telah aku lakukan dan dapatkan, aku mulai dipenuhi rasa penasaran baru. Apa maksud dari tulisan -- Desember 1994 yang tertulis pada biodata akun Twitter Dina? Kalau memang itu adalah tanggal kelahirannya, aku tidak boleh kecolongan. Aku harus mengucapkan selamat kepadanya. Tapi tanggal berapa? Ah, sekali lagi kau telah membuat mantan ketua rohis penasaran.
Duh, gara-gara perjumpaan di kantin kala itu.
Tanggal 12 Desember ketika semua urusanku di rohis hampir selesai, aku memutuskan untuk mengirim Direct Message untuk Dina. Entah apa yang aku pikirkan, aku hanya ingin mengurangi kegundahan hatiku, yang ternyata sekarang bertambah-tambah, berlapis-lapis. Aku takut jika Dina tak membalas DM ku dan malu sejadi-jadi yang akan kudapatkan jika hal itu benar adanya. Sebuah DM yang intinya menanyakan hari ulang tahunnya itu kukirimkan dengan perasaan, mengunggu balasannya pun dengan penuh perasaan.
Sebuah balasan ‘Hahaha kasian rek, emang knp?’ itu yang mengawali semua rasa campur aduk yang kurasakan, mengawali kebahagiaan yang telah lama tak kudapatkan, mengawali sebuah percakapan yang tidak akan terlupakan. Berbalas DM di hari itu tak membuahkan hasil. Masih ada hari esok, pikirku.
Keesokan harinya, tidak seperti biasa aku terbangun sekitar pukul 2 dini hari. Kuputuskan membuka twitter dan membaca tweet “Alhamdulillah. Welcome 13-12-11 :)” dari akun Dina. Tiba-tiba di pikiranku muncul sebuah pertanyaan, jangan-jangan hari ini hari ulang tahun Dina? Kuputuskan untuk bertanya lewat DM, dan benar saja. Tanggal itu adalah tanggal kelahiran Dina. Sekali lagi kupertanyakan hakikat jodoh. Apakah ini hanya kebetulan?
Berawal dari jatuh cinta kedua di kantin. Hari-hari setelahnya pun menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan. Namun, selayaknya seorang ‘alim’, Allah tetap menjagaku untuk tidak mendekati hal-hal seperti itu. Meski aku dan Dina lebih dekat dari sebelumnya, aku tak lagi berpikiran untuk memilikinya karena ternyata ia baru saja dekat dengan salah satu temanku. Kuakui aku cemburu, tapi mungkin ini adalah cara Allah untuk menunjukkan kecemburuan-Nya.
Kuputuskan tak lagi menaruh harapan kepada Dina dan hampir melupakannya. Namun, yang aku sesali adalah tanggal 10 Maret 2012 dia mengirimkan pesan ulang tahun kepadaku. Duh!
Siang hari ketika siswa-siswa bersorak gembira karena mendapatkan kabar bahwa guru-guru akan mengadakan rapat, ketika Aku dan Ahmad dan Arrasyid bingung karena tak ada kegiatan di masjid Al Maghfiroh (di SMA ku), sehingga harus luntang-lantung mencari kesibukan, aku memutuskan untuk mengajak kedua sahabatku ini menuju kantin. Kantin yang berukuran sebesar setengah lapangan, yang kira-kira berisi 6 penjual makanan dengan tempat masing-masing berpanjang dua-setengah meter dan berlebar tiga meter, mendadak sepi. Mungkin siswa yang lain sudah berebut jalan menuju pulang mereka masing-masing.
Di salah satu lapak penjual makanan, aku melihat wakil ketua kelasku, Iul duduk bersama salah satu temannya, Dina, iya mungkin itu namanya, aku belum yakin alias lupa-lupa ingat. Hal yang kuingat darinya yaitu dia adalah wanita yang pernah menarik perhatianku 2 tahun yang lalu ketika aku masih kelas X. Dialah sang mukena biru tua. Aku menyapa santai kepada wakilku yang tomboy itu, Iul membalas dengan sebuah teriakan yang khas, “Hei, Pak Ketua Kelas!” Sembari bercakap-cakap penuh keseruan, kucuri pandang ke arah wanita berambut kuncir kuda di samping Iul. Mukanya manis apalagi ketika senyumnya mengembang memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Pikiranku tiba-tiba kembali ke 2 tahun yang lalu, ketika aku dan Diki diminta mendata nama calon peserta lomba pidato Bahasa Inggris, ketika kami berada di kelas Dina, ketika pertama kali kulihat mata cerah itu.
Sepertinya Ahmad dan Arrasyid sudah tahu harus berbuat apa, mereka memesan nasi pecel lauk ayam tepung di warung Mami. Sementara itu perhatianku tak ubahnya seperti bumerang, perasaan yang dulu sempat hilang kini kembali datang. Apakah ini jatuh cinta untuk kedua kalinya ke orang yang sama? Dadaku yang semula normal kini deg-deg-an, jantung yang awalnya berdetak biasa kini semakin cepat. Dina, sementara ini nama itu yang kuingat, telah membuat hatiku merasa hangat kembali. Hei, kau telah membuat seorang mantan ketua rohis jatuh hati! Pikirku.
Sama halnya dengan perasaan yang telah lalu, keinginan untuk memiliki itu pasti ada. Namun, aku tetap berusaha untuk sesegera mungkin menghilangkan cinta ini. “Pak Ketua, aku mau balik! Pamit ya?” Ujar Iul secara tiba-tiba, berencana untuk pergi dari kantin, bersama Dina. Kubalas perkataannya dengan sedikit ungkapan kekecewaan, tapi aku malah merasa bahagia ketika Dina melempar senyum dan melambaikan tangan perpisahan yang sangat menarik hati. Aku mengangguk dan berkata “Hati-hati.” Juga kulempar senyum ke arahnya.
Jam-jam setelah pertemuan itu menjadi semakin sulit bagiku. Susah untuk segera melupakan wajahnya. “Mi, saya juga mau nasi pecel dong. Pesen satu ya?” Ucapku kepada Mami. Sekali dua kali kulirik kursi tempat duduk Dina tadi sambil membayangkan dia masih ada di sana. “Nggeh, siap!” Balas Mami cepat. Aku tersenyum setelah balasan ramah itu lalu duduk di samping Ahmad dan Arrasyid. Kulihat mereka sudah menghabiskan separuh piring nasinya.
Bayang-bayang wajah Dina ada pada kaca warung Mami, ada pada meja kayu di depanku, ada pada langit-langit kantin, ada pada rambut Ahmad, ada pada rambut Arrasyid, ada pada tempat manapun mataku memandang. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi ini memang efek dari jatuh cinta. Apalagi ini adalah yang kedua kalinya.
Siang itupun akhirnya berlalu, namun muka manis Dina ikut pulang ke rumah. Mukanya muncul pada cermin di kamarku, mukanya muncul pada ubin biru, mukanya muncul pada kipas angin, televisi, perabotan rumah tangga lainnya. Sial. Aku belum bisa melupakannya barang satu dua detik.
Rasa penasaran itu benar-benar memuncaki pikiranku. Aku harus mendekatinya, minimal kami harus mulai menjalin komunikasi. Kuambil ponsel dan kubuka browser. Pertama kali hal yang ingin kulakukan adalah mencarinya di Facebook. Kuketikkan nama lengkapnya pada kolom pencarian. Ketika menunggu, pikiranku sudah kemana-mana tanpa izin. Oh ternyata kami sudah berteman di Facebook, mengapa aku tidak sadar? Batinku. Setelah itu aku berniat untuk membuka twitter, hingga sebuah pesan singkat masuk. “Pak Bos. Jangan lupa laporan pertanggung-jawaban kepengurusan kita segera di-cek dan di-tanda-tangani.” Ternyata itu pesan dari Sekretaris ku, Maria. Ah, Maria ini, jadi keinget kan kalo aku ini mantan ketum rohis, padahal mau ndeketin cewek, kataku dalam hati.
Kubalas cepat pesan tersebut dengan kata “Iya.” Lalu aku menuju kamar, melihat di atas meja belajar, membuka tumpukan kertas dan map, mencari laporan pertanggung-jawaban (LPJ) rohisku. “Dimana lagi LPJnya ini,” gumamku. Kadang terlintas di pikiranku, apakah seorang mantan ketua umum rohis boleh melakukan apapun, melakukan hal-hal yang dijaga sewaktu menjabat, contohnya pacaran. Tapi kalau seperti itu berarti aku menyia-nyiakan semua kebaikan yang pernah kulakukan. Lagipula aku malu dengan sambutan terakhirku waktu serah terima jabatan kemarin, “Setelah tak lagi menjabat di rohis, kita harus tetap bermanfaat bagi sekitar dan menjaga keistiqomahan kita di jalan Islam.”
Setelah lama membolak-balik tumpukan kertas dan map dan buku, akhirnya apa yang kucari ketemu. Berada di dalam map warna hijau, seketika itu juga langsung kutuliskan “LPJ” di atas mapnya menggunakan spidol. Sisa sore itu kuhabiskan untuk mempelajari LPJ yang dibuat oleh sekretarisku, pikiran mengenai Dina seakan mendadak hilang.
Keesokan harinya, saat sinar matahari terasa hangat, sinar putih menerobos sesuka hati, aku bersiap untuk berangkat ke sekolah. Masalah perasaanku ke Dina? Sudah lupa. Selepas berpamitan ke orang tua, kupacu motor hitamku menuju SMA melewati rute yang biasa. Ketika tidak ada hal yang menarik perhatian di jalan, sebuah motor tiba-tiba menyalip motorku. Tak seperti biasanya dimana aku tak acuh dengan salip-menyalip, mataku seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita yang dibonceng tampak familiar, seorang wanita rambut kuncir kuda memakai jaket hoodie kombinasi warna abu-abu dan biru muda duduk di belakang. Itu Dina! Hlo rumahnya di sekitar sini? Aku baru ingat, dulu aku pernah bertemu dengan seorang wanita yang baru keluar dari Perumahan Griya Kencana Asri saat aku mengantar adikku pergi sekolah. Oh jangan-jangan Dina tinggal di Perumahan GKA? Perumahan GKA berada di pinggir jalan menuju lokasi sekolah adikku, jalanan tersebut sering aku lalui karena memang berada tidak jauh dengan rumah.
Tiba-tiba aku merasakan perasaan seperti kemarin merayap di dalam hatiku. Kurasakan sebuah senyuman tercipta di mukaku. Senyuman yang mungkin akan sering keluar ketika mengingat-ingat kejadian seperti ini. Karena tak ingin tertinggal jauh alias ingin tetap berjarak dekat dengan motor Dina, kujalankan motorku lebih cepat. Kalau terlalu dekat kupelankan motorku. Dan di saat yang tepat, kusalip motornya dengan sedikit melirik ke arah wanita yang dibonceng. Apakah Dina melihatku? Ah, sepertinya kejadian seperti ini sangat jarang terjadi. Selama 3 tahun aku baru sekali ini berangkat ke sekolah bertemu Dina di jalan, atau aku yang tidak pernah menyadarinya?
Hari ini pun berlalu, dengan bayangan wajah Dina di setiap detiknya.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan penuh rasa penasaran, sekaligus kegundahan. Berbagai macam pertanyaan mulai muncul di dalam pikiranku, seperti: bagaimana bila rasa ini hanya cinta monyet seperti yang lalu-lalu, apa lagi dulu aku pernah menyukai Dina dan akhirnya bisa melupakannya. Bagaimana jika pemilik senyum manis itu sudah punya pacar, kalau ini ketakutan klise. Bagaimana kalau mukena biru tua itu hanya mau menjadikanku teman, ini juga klise, namun satu pertanyaan yang sangat aku takuti untuk terpikir adalah apa yang akan kuperbuat setelah aku sudah dekat dengan wanita itu, sangat dekat melebihi apa yang dapat kubayangkan. Aku adalah mantan ketua umum rohis sehingga tentunya aku harus tetap menjaga diri supaya tidak terjebak dalam hal-hal seperti ini.
Mungkin aku harus segera mengakhiri kegalauan ini, karena istilah ‘orang alim’ masih tersemat pada diriku. Seperti tadi siang ketika waktu sholat dhuhur, aku masih saja ditunjuk menjadi imam, atau dalam hal yang paling sederhana ketika para siswi yang mengenalku sudah tahu bahwa aku tidak mau bersentuhan dengan mereka. Memang menjadi seorang aktivis itu susah, bahkan dalam urusan klasik seperti masalah cinta. Lalu, apakah salah dengan rasa yang saat ini kumiliki?
Jatuh cinta kedua kepada Dina membuatku gundah, untuk saat ini.
Akhirnya malam ini kututup dengan membuka Twitter, kuputuskan untuk mencari akun Dina. Hal terpenting yang harus kulakukan sekarang adalah mengurangi rasa penasaran yang melanda. Aku harus mengenal dirinya lebih banyak. Kugulir linimasa Twitter sekilas lalu kucari akun wanita itu pada kolom pencarian. Kudapati sebuah akun bernama @dinatika, dengan nama lengkap yang menunjukkan nama Dina. Biodata yang tertulis adalah -- Desember 1994. Ulang tahunnya bulan ini? Wow. Tanggal berapa ya?
Ketika aku melihat-lihat isi tweetnya, sayang sekali, update terakhirnya 2 minggu yang lalu. Dina sudah lama tidak menggunakan akunnya. Tak masalah bagiku, aku tetap akan mengikuti akunnya.
Keesokan harinya, entah mengapa ketika aku membuka twitter kuputuskan untuk berhenti mengikuti @dinatika. Jam-jam setelahnya terasa lebih ringan karena kebetulan aku belum berjumpa lagi dengan Dina, yang biasanya sering kutemukannya ketika shalat dhuha di Masjid Al Maghfiroh.
Tepat selepas aku mulai tak acuh dengan Dina, sore hari di dunia Twitter. Seorang teman dengan akun twitternya membalas tweet dari akun yang pernah aku ikuti. Akun Dina. Seketika itu juga kubuka akunnya dan benar saja apa yang kupikirkan. Setelah 2 minggu tak aktif, kini Dina kembali bercuit-cuit di dunia maya. Lalu terbesit di pikiranku, apakah ini hanya kebetulan? Apakah ini yang disebut takdir? Apakah definisi jodoh adalah orang yang tiba-tiba aktif ketika kita stalking akunnya? Ah, aku tak ingin terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi. Namun, yang pasti saat ini juga aku harus mengikuti akunnya, kutekan tombol follow. Semoga kali ini istiqomah.
Tak lama setelah itu, Dina mengikut-balik akun twitterku. Rasanya seperti berjuta rasanya.
Setelah puas dengan apa yang telah aku lakukan dan dapatkan, aku mulai dipenuhi rasa penasaran baru. Apa maksud dari tulisan -- Desember 1994 yang tertulis pada biodata akun Twitter Dina? Kalau memang itu adalah tanggal kelahirannya, aku tidak boleh kecolongan. Aku harus mengucapkan selamat kepadanya. Tapi tanggal berapa? Ah, sekali lagi kau telah membuat mantan ketua rohis penasaran.
Duh, gara-gara perjumpaan di kantin kala itu.
Tanggal 12 Desember ketika semua urusanku di rohis hampir selesai, aku memutuskan untuk mengirim Direct Message untuk Dina. Entah apa yang aku pikirkan, aku hanya ingin mengurangi kegundahan hatiku, yang ternyata sekarang bertambah-tambah, berlapis-lapis. Aku takut jika Dina tak membalas DM ku dan malu sejadi-jadi yang akan kudapatkan jika hal itu benar adanya. Sebuah DM yang intinya menanyakan hari ulang tahunnya itu kukirimkan dengan perasaan, mengunggu balasannya pun dengan penuh perasaan.
Sebuah balasan ‘Hahaha kasian rek, emang knp?’ itu yang mengawali semua rasa campur aduk yang kurasakan, mengawali kebahagiaan yang telah lama tak kudapatkan, mengawali sebuah percakapan yang tidak akan terlupakan. Berbalas DM di hari itu tak membuahkan hasil. Masih ada hari esok, pikirku.
Keesokan harinya, tidak seperti biasa aku terbangun sekitar pukul 2 dini hari. Kuputuskan membuka twitter dan membaca tweet “Alhamdulillah. Welcome 13-12-11 :)” dari akun Dina. Tiba-tiba di pikiranku muncul sebuah pertanyaan, jangan-jangan hari ini hari ulang tahun Dina? Kuputuskan untuk bertanya lewat DM, dan benar saja. Tanggal itu adalah tanggal kelahiran Dina. Sekali lagi kupertanyakan hakikat jodoh. Apakah ini hanya kebetulan?
Berawal dari jatuh cinta kedua di kantin. Hari-hari setelahnya pun menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan. Namun, selayaknya seorang ‘alim’, Allah tetap menjagaku untuk tidak mendekati hal-hal seperti itu. Meski aku dan Dina lebih dekat dari sebelumnya, aku tak lagi berpikiran untuk memilikinya karena ternyata ia baru saja dekat dengan salah satu temanku. Kuakui aku cemburu, tapi mungkin ini adalah cara Allah untuk menunjukkan kecemburuan-Nya.
Kuputuskan tak lagi menaruh harapan kepada Dina dan hampir melupakannya. Namun, yang aku sesali adalah tanggal 10 Maret 2012 dia mengirimkan pesan ulang tahun kepadaku. Duh!
Komentar
Posting Komentar