Cerpen kolaborasi dengan Rafika Nilasari.
Suara tawa makin nyaring terdengar. Mataku perlahan-lahan terbuka, sekuat tenaga duduk di pinggiran ranjang dan melangkahkan kaki menuju arah suara. Meski langkah kaki gontai, kedua telingaku menangkap dengan baik asal suara gelak tawa itu; Dapur. Kulihat Ibu yang menggoreng ayam dengan sesekali mundur karena cipratan minyak dan Ayah, mencoba membantu Ibu memotong kentang. Keduanya tertawa, menertawakan Ayah yang tidak mengupas kentang dengan bersih dan potongan kentang asimetris. Aku melabuhkan tubuhku sendiri pada pintu kayu itu sembari tersenyum dan tidak sedikit-pun ingin mengganggu. Aku, dianggapnya angin lalu oleh keduanya. Semakin lama, semakin tenggelam tubuhku ke bawah. Terduduk lemah, sambil memeluk lututku sendiri. Menangis.
Kembali ke dalam kamar, menghempaskan diri di atas kasur dan membenamkan kepala ke bantal agar isak tangisku tak terdengar. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit. Aku beranjak, berganti pakaian dan berlari keluar rumah dengan menenteng payung di tangan kiriku.
“Mau ke mana?” tanya Ayah dari depan pintu kamarnya.
Aku tak menjawab, tak mampu menjawab, hanya terus berjalan menutupi muka, membuka pagar dan berjalan secepat mungkin hingga aku berhenti persis di depan batu abu-abu ini. Memandang sekeliling. Aku ialah satu-satunya yang sibuk memegangi payung hitam ini dengan air mata yang terus mengalir. Aku terduduk, memeluk batu nisan ini, tangisku semakin pecah.
Meski sudah hampir satu tahun, aku masih belum bisa melupakan Kak Raihan. Kakak yang selama 17 tahun menjagaku. Kakak yang selama ini memberikanku banyak pelajaran. Aku teringat masa-masa dimana ia memberanikan diri melawan para preman yang tiba-tiba menggodaku ketika SMP dulu, sungguh waktu itu ia terlihat sangat gagah. Atau ketika Kakak melompat ke kolam renang untuk menolongku yang masih belum bisa berenang. Aku masih bisa mengingat bagimana marahnya ia saat itu. Namun setelahnya ia memelukku dan bersyukur karena aku tidak apa-apa.
Setelah Kakak pergi, Ibu juga tak tahu entah kemana. Aku datang ke sini untuk meminta maaf kepada Kak Raihan kalau aku masih belum sanggup untuk membawa Ibu pulang. Rasanya rumah tidak akan pernah menjadi tempat ternyaman tanpa mereka berdua.
Sudah hampir satu jam aku duduk menyendiri, doa-doa tetap kupanjatkan di samping makamnya. Kuusap air mata yang tak hentinya mengalir dengan punggung tangan. Kucoba tuk menghentikan tangisku, namun tetap saja tak kuasa kutahan ketika bayangan Kak Raihan dan Ibu memenuhi otakku.
Sore yang basah oleh hujan itu, angin kian berembus-embus mendramatisir kota yang sedang dalam suasana kabung. Bukan kota, melainkan hatiku. Sembari membetulkan letak tudungku, aku mulai berdiri dan perlahan menjauh dari makam kakak. Aku kembali pulang, kembali mengingat-ingat. Ratusan kali aku terbangun karena suara Ibu namun tidak bisa menemukannya. Aku ingin pergi, berdebat dengan Ayah, lalu menyusul Ibu. Mencari ke mana ia pergi, dan segera menumpahkan rindu beserta isak tangis dalam pelukannya.
Hati memang keras kepala bila berdebat dengan otak, tapi ketololannya membuat argumen yang ia rangkai menjadi tidak masuk akal dan sulit dicerna logika. Ayah yang tidak peduli dengan Kakak hingga ia diambil Tuhan kembali telah membuat Ibu pergi dengan segenap kemarahannya. Sementara aku, setahun berlalu-pun tidak mengubah pendirianku untuk pergi dari sisi Ayah.
Kak Raihan memang bukan anak kandung ayah, lantas apakah pantas jika Ayah tidak peduli toh Ibu telah menjadi istrinya. Aku-pun geram karena ketidak pedulian Ayah tapi aku tidak sanggup meninggalkannya karena ia telah rapuh ditinggal Ibu. Di hari itu, hari pemakaman kakak dan kepergian Ibu, aku menangis memeluk Ayah seakan aku paham benar bagaimana rasanya menyesal, seakan aku pernah menjadi manusia paling bersalah. Ah, Ibu mengapa kau tidak membalikkan badanmu sebentar saja untuk melihat bagaimana memelasnya wajah Ayah padamu, bagaimana ia sungguh menyesal dan bersalah kepadamu. Ah, Ibu seandainya kau mau melihat lebih dalam ke kedua mataku yang tidak pernah sanggup berbohong atas apapun. Aku bersumpah, Bu! Ayah menginginkanmu kembali.
Dalam perjalanan pulang itu aku terus meracau tak karuan, mengembalikan memori pahit hari itu.
Hingga sampailah pada hari ini, tinggal beberapa minggu lagi menuju hari ulang tahunku. Ayah masih tetap tak mau berupaya untuk mencari Ibu walaupun sejatinya ia ingin, namun lebih mementingkan keegoisannya. Ayah juga tak pernah sedikitpun memikirkan makam Kak Raihan dengan mendatanginya. Tiada henti aku berdoa supaya segera menemukan Ibu dan memintanya untuk pulang, tak peduli sudah hampir satu tahun ini berlalu, walaupun segala cara telah aku lakukan.
Selepas sarapan, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Seberapa pedihnya masalah yang kuhadapi saat ini, aku harus tetap berjuang untuk meraih semua impianku. Tentu saja untuk Ibu, untuk kubanggakan kepadanya juga Kak Raihan.
Kuberanikan diri masuk ruang kelas dengan mata yang membengkak akibat berjam-jam menangis semalam. Duduk paling depan, tak banyak bicara, sekuat tenaga mengalihkan hati dan pikiran pada kelemahan teori model atom Bohr yang tidak dapat menjelaskan tentang terjadinya efek Zeeman; terpecahnya spektrum cahaya jika dilewatkan pada magnet yang kuat.
“Persis ya denganku yang tidak bisa menjelaskan efek apapun akibat peliknya permasalahan yang kuhadapi.” Aku tetap saja meracau tidak karuan dalam hati, tidak peduli dengan guru di depan.
“Jangan melamun.” Kata Lala, yang setia menjadi kawan sebangku di 3 tahun ini.
Aku mengabaikannya. Masih melamun dan terus berbicara sendiri dalam hati. Berandai-andai jika Kakak masih ada dan Ibu tidak pergi dari rumah, pasti sepulangku dari sekolah sepiring tumis kangkung dan sambal teri sudah tersaji di meja. Aku dan kakak, makan dengan lahap dan saling menyuapi.
Tulang-tulang jemariku mendadak rasanya sakit sekali, lebam di segala permukaannya, tak sanggup lagi memegang pena untuk mencatat. Buku tulisku basah, setetes air mata yang berhasil jatuh bebas. Aku menangis lagi.
“Satu tahun masih kurang buat ngurangin kesedihanmu, Kei?” tanya sahabatku itu. Sebagaimana seorang sahabat, Lala memang selalu memberikan perhatiannya kepadaku. Tapi andai ia merasakan apa yang sedang terjadi padaku sekarang. Ah, berdoa macam apa aku ini. Tentu saja, semoga ia tak mengalami kejadian seperti diriku.
Akhirnya kuberanikan diri menatap wajah Lala yang masih tetap menyenangkan. Ia tersenyum dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan tangannya. “Kalau aku dapet cobaan kayak kamu sekarang, mungkin aku gak akan bertahan sejauh ini kayak kamu, Kei.” Selalu seperti ini. Setiap hari. Aku tidak pernah bersyukur memiliki seorang sahabat yang slalu ada di saat aku membutuhkan.
Hari ini pun berakhir, aku tidak tahu harus senang atau sedih karena harus kembali ke rumah yang slalu memberikanku kesedihan. Aku berdiri, menarik tas sekolahku dari kursi dan membawanya. Siswa-siswa di sekelilingku tampak riuh namun aku berasa kosong. Benar kata Lala bahwa satu tahun terasa kurang bagiku untuk mengurangi kesedihan, tetap sama seperti awal kehilangan Kak Raihan dan Ibu. Mengingat wajah mereka berdua, air mataku tumpah. Aku berjalan pulang seakan tanpa tujuan. Kulihat Lala berlari kecil hingga berada di sampingku, menemani berjalan.
Lala mengingatkanku tentang Ujian Nasional Bulan April mendatang. Saat ini, aku masih belum bisa maksimal untuk menyiapkan ujian terakhir SMA tersebut. Kuucapkan terima kasih padanya, dan memaksa sebuah senyuman keluar dari wayahku. Kami masih berjalan beringinan.
Sesampainya di rumah, ada setangkup roti dan segelas susu di meja makan. Ku hampiri, tapi tidak untuk kumakan, hanya kupandangi. Ayah selalu menyiapkan sarapan ini setiap pagi dan sudah seminggu pula aku tidak pernah memakannya. Aku mulai marah padanya, mengapa tak kunjung juga Ibu datang kembali ke rumah dan memasakkan sarapan mengenyangkan seperti biasa. Aku mulai kecewa padanya, mengapa ia berhenti mencari Ibu, mengapa ia mulai lelah dengan segala upaya sia-sia padahal selalu ia sampaikan padaku bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Mengurung diri di kamar sembari membaca atau menulis adalah obat mujarab saat ini. Meski sementara, setidaknya itu adalah dua hal yang hanya bisa kulakukan. Mau belajar? Demi Tuhan berbagai rumus dan nama-nama latin itu sedang serupa sampah sekarang. Tidak sama sekali menarik perhatian untuk dijamah. Hingga dering telepon genggamku mengambil alih konsentrasi.
“Assalamu’alaykum, nduk....” Nafasku tercekat, jantungku berdegup kencang, suara ini seperti suara yang telah membuatku merindu sekian lama, membuat tidak berhenti menangis di setiap sujudku, suara ini.
Suara Ibu. Saking tidak percayanya, aku terdiam beberapa saat. Pikiranku melambung. Rindu yang selama ini kupendam membuat mulutku sulit untuk mengeluarkan kata-kata. “Ibu!” Kata yang dengan susah payah aku keluarkan. Kupanggil-panggil namanya dan menyuruhnya pulang. Namun ketika ia berkata, “Keisha, Ibu ndak apa-apa.” Panggilan itu terputus. Diam. Tanganku kembali melemas.
Kesempatan untuk segera menemukan Ibu dan membawanya pulang ke rumah tiba-tiba berakhir. Kucoba untuk menelpon nomer yang digunakannya tetapi tidak ada balasan. Berkali-kali kucoba dan hasilnya sama. Nihil. Air mataku kembali mengalir. Menyentuh pipi. Rasanya hangat. Andai kehangatan ini adalah pelukanmu, Bu.
Akhirnya kuputuskan ‘tuk menyimpan nomernya.
Hari-hari berikutnya aku disibukkan dengan membuat panggilan ke nomer Ibu yang tiada tersambung, mengirim pesan singkat yang tak juga dibalas hingga terpikir untuk melacak keberadaannya. Walau belum juga ada usaha yang berhasil, aku bersyukur karena masih bisa mendengar suara halusnya. Setidaknya, Ibu masih sehat. Semoga ia slalu sehat.
Pagi ini aku memulai hari dengan cukup menyenangkan, setangkup roti bikinan Ayah dengan segelas teh tawar sudah memenuhi perutku, dan seperti biasanya tidak lupa mengirim pesan singkat kepada pemilik nomor yang kuberi nama Surga.
“Ibu sehat kan? Ayah masih tetap sama, hanya membuatkan roti tawar selai cokelat untuk sarapanku. Aku kangen dadar gulung cinta bikinan Ibu.” Kupencet tombol kirim dan kumasukkan telepon genggamku ke dalam tas dan bersiap menuju sekolah.
Hm hari ini tampaknya akan berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Duduk, berpikir, bercengkerama, melamun, berjalan pulang. 10 jam di sekolah memang benar-benar menguras tenaga dan pikiran, dan membuatku seolah lupa rasanya menangis. Barangkali memang ada kaitannya ya antara lelah dengan kelenjar air mata, besok akan kucoba cari di mesin pencarian nomor wahid sejagad.
“Hai, uangnya hilang mbak?” Lelaki berseragam ini tiba-tiba saja muncul di sampingku.
“Oh eh enggak kok.” Sapaan lelaki ini membuyarkan lamunanku, seharusnya aku berterimakasih karena dengan begini aku tidak jadi salah belok untuk pulang ke rumah.
“Jangan sering bersedih dan menangis ya, karena semua orang menjalani hidup dengan bertahan dan sabar.” Kata lelaki itu tiba-tiba, aku berhenti berjalan dan ia tidak, aku belum melihat wajahnya dengan jelas, menatap punggungnya saja dengan penuh penasaran siapa lelaki ini. Seragamnya sama. Kalimatnya, meneduhkan.
Setelah itu aku kembali melangkahkan kaki, kini dengan penuh rasa penasaran. Tujuannya bukan lagi rumah, tapi ke tempat yang sering kukunjungi saat aku punya banyak cerita. “Aku harus menceritakan ini ke Kakak,” pikirku.
“Dia mirip Kak Raihan lo, Kak,” ucapku di samping makam yang biasa kudatangi seperti sore ini. Aku bercerita panjang lebar mengenai lelaki tadi, tentang caranya berbicara yang menguatkan, nasihatnya, perawakannya, tinggi badannya, semua yang kutahu mirip Kakak, meski aku belum melihat mukanya dengan jelas. Tak mengapa. Sesegera mungkin akan kucari tahu. Ia memakai seragam yang sama. Seperti seragamku.
“Oh iya. Kayak biasanya, tadi pagi aku ngirim pesan ke nomer yang pernah kuceritakan ke Kak Raihan, ke nomer yang digunakan Ibu untuk nelponku dulu. Di setiap pesan slalu kusematkan doa supaya suatu ketika Ibu akan membalas dan beritahu dimana Ibu berada. Keisha janji bakal bawa Ibu pulang, Kak.” Setelah mengucapkannya aku berdoa untuk Kak Raihan, selalu berada di tempat terbaik di sisi-Nya.
Sebelum kembali, kuusap lagi batu nisan yang dingin itu. Kupastikan tidak ada dedaunan dan kotoran di atas makamnya.
Hari-hari menjelang Ujian Nasional kini sedikit demi sedikit dapat kuatasi. Aku yang sebelumnya sangat tidak nafsu untuk belajar, sekarang sudah dapat memahami pelajaran-pelajaran dengan baik. Aku yang sebelum ditelpon Ibu begitu mudahnya menangis, sekarang aku mulai dapat menahan air mata. Perjumpaan dengan lelaki mirip Kak Raihan membuatku kembali bersemangat seperti dulu. Kata-katanya yang meski sederhana namun memberi banyak kekuatan. Keisha yang ceria harus kembali. Aku harus membuktikan kepada Kak Raihan bahwa Adiknya bisa lulus SMA walaupun diterpa banyak cobaan. Aku harus bekerja keras supaya bisa membuat Ayah, dan Ibu bangga ketika pulang ke rumah.
Apalagi setelah ini umurku akan bertambah. Aku tak boleh lagi jadi Keisha yang lemah.
Benar kata lelaki asing itu, jika semua orang menjalani hidupnya dengan bertahan dan sabar bukan dengan menangisi. Sepenggal kalimat itu benar-benar membuat beban kesedihan di pundakku yang tadinya terasa 100 ton, berkurang hingga 10 kg. Sedikit berharap akan bertemu dengannya lagi, siapa tahu ada kalimat nasihat lagi yang terlontar dan berhasil membuat beban kesedihanku tersisa tinggal 1 kg, ya siapa tahu.
Malam ini seperti biasa, aku duduk di atas ranjang dengan buku-buku pelajaran yang bertebaran. Berkutat pada segala macam bentuk persamaan reaksi kimia. Satu jam, satu setengah jam, dan mulutku terbuka lebar menguap. Selalu begitu, padahal ini buku kimia bukan buku dongeng yang bisa membuat mengantuk dan akhirnya terlelap terbuai isi ceritanya. “Baiklah, mungkin perlu jeda” pikirku dan aku menyabet satu novel diantara tumpukan buku di meja; Ada Surga di Rumahmu tulisan Oka Aurora. “Kreeet...” Aku melirik ke arah pintu kamar yang perlahan terbuka
“Kok tidak belajar, nduk?” Ayah bicara sambil berjalan pelan menghampiriku dan duduk di pinggiran ranjang.
“Sudah sebentar tadi, Yah. Jeda dulu, nanti dilanjut.” Aku menjawabnya tanpa memalingkan muka dan terus membolak-balik halaman novel yang kupegang.
“Nduk, setiap yang sakit akan selalu menemukan obatnya, entah banyak atau sedikit sakit yang ia rasa. Tuhan sudah menyiapkan porsi waktu untuk menyembuhkan. Sama halnya seperti manusia yang hidup dengan menanggung bebannya, entah berat atau tidak manusia itu harus bertahan agar bebannya sedikit demi sedikit berkurang.” Aku menutup novelku dan memandangi raut muka Ayah yang tampak penuh beban, ia menepuk pundakku seraya tersenyum dan beranjak pergi. Aku memandanginya dari belakang, masih tidak percaya dengan kalimat Ayah barusan. Persis dengan lelaki asing itu.
Aku kembali membuka novel dan mataku tertuju pada kutipan haru di dalamnya.
Surga ada di tapak Ibu. Ia ada di senyum Ayah. Surga itu dekat, dekat sekali. Tapi kau, mencarinya sampai jauh.
Aku terbangun dengan sebuah novel tergenggam di tangan. Tampaknya kemarin malam, tanpa sadar aku ketiduran. Mungkin karena asyik membaca atau hal yang lain. Namun, hari ini adalah hari baru, aku tahu itu. Tidak pernah kurasakan sebuah kebahagiaan seperti hari ini.
Kulihat kalender yang bertengger di dinding. Besok adalah hari ulang tahunku. Usiaku akan beranjak 18 tahun.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, meski kunantikan, tapi tahun ini rasanya tidak ada gunanya lagi merayakan hari ulang tahun. Aku ingat tahun kemarin, aku masih bisa mendapatkan ucapan selamat dari Kak Raihan, Ibu dan Ayah. Malam harinya, kami pergi makan bersama di luar sebagai acara syukuran sederhana. Dan tahun ini rasanya berbeda. Tanpa Kak Raihan dan Ibu. Aku juga tak berharap Ayah ingat hari ulang tahunku. Atau mungkin ia ingat setelah apa yang dikatakannya kemarin malam? Ah, aku tak mau berekspektasi lebih. Aku hanya ingin menikmati setiap detik yang terus berkurang untuk mengembalikan semangat hidup. Tiap nafas yang masih diberikan Tuhan untuk terus bersyukur.
Satu-satunya hadiah ulang tahun yang kuinginkan adalah Ibu kembali pulang. Walau kurasa harapan itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Tapi Tuhan adalah sebaik-baik perencana. Aku yakin itu.
Setelah bangkit dari ranjang, mandi, bersiap ke sekolah, sarapan, mengirim pesan singkat ke nomer Surga, aku pamit ke Ayah. Benar rasanya jika ada sebuah perubahan besar pada dirinya, pada hubungan kami. Aku merasakan beberapa hari ke depan akan ada banyak keajaiban. Saking bahagianya, kupercepat langkah kaki ketika menuju ke sekolah.
Di sekolah, Lala tampak bingung dengan apa yang dilihatnya. Tiada lagi Keisha yang datang dengan muka sedih dan mata sayu. Aku tersenyum melihat dirinya yang terheran-heran. “Kau abis kenapa, Kei?” tanyanya penuh rasa penasaran. Aku memilih untuk diam biar dia semakin ingin tahu.
Sepertinya ia tak puas jika aku belum memberikan jawaban. Lala pun bertanya “Abis ditembak cowok, Kei?” Pertanyaannya itu membuatku membayangkan lelaki asing yang dulu kutemui.
“Hush, udah! Mulai hari ini fokus sekolah. Ujian tinggal sebulan lagi.”
Lala tidak menanggapi, mungkin menurutnya benar. Aku tertawa kecil, senang karena berhasil menyumpal mulutnya dengan menyebut kata mistis ‘ujian’.
Bel istirahat berbunyi, aku segera beranjak dari bangku. Aku bilang pada sahabatku ini ingin ke toilet dan kantin sebentar, mencari jajan teman belajar. Aku berbohong. Benar, aku berjalan ke toilet lalu ke kantin tapi untuk mencari lelaki asing itu. Hanya penasaran. Penasaran dalam waktu yang lama, karena sudah seminggu ini aku tidak berhasil menemukannya, yang ada semakin membuat sahabatku curiga.
Kupindai seluruh isi kantin. Dari lapak paling luar hingga yang paling dalam. Memelototi para siswa yang ada, mulai mukanya sampai tubuhnya. Aku tahu kemungkinan lelaki asing itu berada di kantin saat ini sangatlah kecil, tapi harus kulakukan daripada aku terus kepikiran. Dan tetap saja tak membuahkan hasil.
Setelah membeli 2 kue cokelat aku kembali ke kelas. Malas jika terlalu lama, malas kalau Lala bertanya macam-macam. Saat perjalanan ke kelas pun, mataku tidak henti memandangi sekitar, rasanya tidak ingin melewatkan sesentimeter pun jarak dengan lelaki asing itu. Tak ingin kelewatan.
Tapi mungkin ini yang namanya belum jodoh, aku belum mengetahui informasi apapun terkait lelaki itu, sampai saat ini.
Dan sekolah hari ini ditutup dengan rasa penasaran, baik aku maupun Lala memilikinya. Eits, tunggu dulu. Aku lupa mencoba satu cara lagi, yaitu berjalan melewati rute yang sama saat lelaki itu menyapaku. Ya. Pantas untuk dicoba. Selepas berpamitan dengan Lala, kulangkahkan kaki melewati jalan yang kuingat aku pernah hampir tersesat di sana. Dengan sengaja, kupelankan langkahku. Pelan. Hampir sangat pelan. Tidak jarang sesekali kutengok ke belakang, siapa tahu ia ada di belakangku.
Akhirnya aku sampai di rumah, belum juga berjumpa lelaki mirip Kak Raihan. Rasa kecewa itu merayap ke hatiku. Tapi ketika aku ingat besok adalah hari ulang tahunku, aku buru-buru ke kamar. Menyelesaikan semua tugas dan belajar. Ingin segera tidur dan bangun pagi-pagi sekali. Menunggu kejutan apa yang akan kudapatkan esok hari.
Aku sungguhan bangun pagi-pagi sekali, 10 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Tidak ada kejutan, sama sekali. Ayah juga sudah tidak ada di kamarnya, sudah berangkat bekerja mungkin. Hm baiklah. Manusia memang aneh, kejutan macam apa yang diinginkan saat usia semakin berkurang, jatah hidup berkurang meski hanya Tuhan yang tahu masa berlaku hidup seseorang.
Berangkat ke sekolah seperti biasanya, berjalan dengan rute biasanya, bertemu pedagang kaki lima yang sama, berpapasan dengan majikan dan anjing mengerikan seperti biasanya, melihat tukang sayur yang dikerumuni ibu-ibu dan pembantu rumah tangga seperti biasanya. Dari sekian hal seperti biasanya, ada yang paling menyenangkan, yakni berhenti 5 menit di pinggiran taman yang kulewati hanya untuk mendengarkan alunan musisi jalanan yang sedang mengamen ini. Pagi ini lagunya Tenda Biru, hahaha lagu paling menyayat hati di waktu itu.
Sesampainya di kelas, aku masih sedikit berharap akan ada kejutan dari sahabat sebangku-ku. Nyatanya? Tidak. Lala dan lainnya, sedang sibuk dengan isi kepala masing-masing, menjejalkan rumus ataupun nama-nama aneh untuk dihapalkan dengan baik. Tidak apa, aku tidak apa, aku juga akan begitu, membenamkan diri ke dalam lautan buku, melupakan hari-berkurangnya-jatah-hidup dan melupakan mencari lelaki itu. Waktu demi waktu, hari demi hari.
Kini tinggal beberapa hari menuju hari H Ujian Nasional. Deg-degan? Tentu saja. Ketakutan? Pasti. Tapi sekarang aku telah terbiasa untuk mengontrol emosi. Sudah tidak kaget dengan kenyataan-kenyataan pahit dalam kehidupan. Yang harus kulakukan hanyalah terus berjuang dan tidak patah semangat.
Semua yang kubutuhkan untuk mengikuti ujian sudah cukup maksimal. Hanya saja aku takut jika tiba-tiba aku merasa sedih ketika kepikiran Kak Raihan dan Ibu.
Di tiap malam, ketika aku belajar, Ayah tidak lupa memberikan nasihat-nasihat seperti dulu kala, ketika Kak Raihan dan Ibu masih ada di rumah. Mungkin Ayah juga telah bangkit. Sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk tidak berusaha sebaik mungkin untuk bisa lulus dan membahagiakan orang-orang yang kucintai itu.
Dan di pagi harinya, slalu kusempatkan mengirim pesan ke nomer Ibu. Dan tak peduli ia membacanya atau tidak.
Hingga hari besar ini-pun tiba. “Buk, aku berangkat ujian. Doa-nya jangan pernah putus ya.” Sebaris kalimat yang aku yakini menjadi jimat keberuntunganku kali ini, baru saja kukirim ke nomor yang masih kusimpan dengan nama ‘Surga’.
Sahabatku sudah datang menjemput tepat waktu, buru-buru aku menghabiskan segelas susu dalam satu tegukan, menenteng tas dan beranjak mencium tangan Ayah sambil meminta doa. Kami berangkat.
Masih ada waktu 45 menit lagi sebelum memasuki ruang ujian, aku memilih untuk menanti di taman dan bercanda dengan kawan. Hitung-hitung menghilangkan ketegangan. Mata memandang sekeliling, aku yakin jantung mereka berdegup lebih kencang dari biasanya, lalu tangan mereka mendadak menjadi berkeringat. Bagaimana tidak, 3 tahun proses belajar kami akan ditentukan mulai hari ini hingga beberapa hari ke depan. Masing-masing dari kami sedang berusaha memetik semua buah dari pohon yang telah kami tanam di tiga tahun ini.
Iseng aku membuka layar telepon genggamku, barangkali ada yang menyemangati di pagi ini.
“Ibu tidak pernah berhenti bersujud meminta pada Tuhan agar kebaikan dan keberkahan selalu berada di sekeliling kita. Terimakasih, nduk untuk tetap berjuang. Semangat!” Kubaca berulang kali isi pesan ini, tidak peduli nomor siapa lagi ini. Ibu, ini Ibu. Pesan ini serupa amunisi senjataku yang tidak akan pernah bisa habis.
“Banyaknya luka bisa dibabat habis oleh senyuman, pastikan hasil ujianmu sebahagia senyumanmu ya. Ah ya, selamat ulang tahun di 23 hari yang lalu, Keisha.” Aku mengangkat kepalaku, beralih memandang sosok yang tiba-tiba bicara di depanku ini. Laki-laki asing ini. Aku hendak menanggapi kalimatnya, baru akan membuka mulut laki-laki ini sudah berbalik badan dan pergi bersamaan dengan bunyi bel tanda ujian akan dimulai.
Kalimat lelaki itu, masih meledak-ledak di kepalaku. Aku mulai menggenggam pensil dengan segenap keyakinan bahwa amunisiku bertambah. Senjataku sudah tidak lagi tertandingi.
Suara tawa makin nyaring terdengar. Mataku perlahan-lahan terbuka, sekuat tenaga duduk di pinggiran ranjang dan melangkahkan kaki menuju arah suara. Meski langkah kaki gontai, kedua telingaku menangkap dengan baik asal suara gelak tawa itu; Dapur. Kulihat Ibu yang menggoreng ayam dengan sesekali mundur karena cipratan minyak dan Ayah, mencoba membantu Ibu memotong kentang. Keduanya tertawa, menertawakan Ayah yang tidak mengupas kentang dengan bersih dan potongan kentang asimetris. Aku melabuhkan tubuhku sendiri pada pintu kayu itu sembari tersenyum dan tidak sedikit-pun ingin mengganggu. Aku, dianggapnya angin lalu oleh keduanya. Semakin lama, semakin tenggelam tubuhku ke bawah. Terduduk lemah, sambil memeluk lututku sendiri. Menangis.
Kembali ke dalam kamar, menghempaskan diri di atas kasur dan membenamkan kepala ke bantal agar isak tangisku tak terdengar. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit. Aku beranjak, berganti pakaian dan berlari keluar rumah dengan menenteng payung di tangan kiriku.
“Mau ke mana?” tanya Ayah dari depan pintu kamarnya.
Aku tak menjawab, tak mampu menjawab, hanya terus berjalan menutupi muka, membuka pagar dan berjalan secepat mungkin hingga aku berhenti persis di depan batu abu-abu ini. Memandang sekeliling. Aku ialah satu-satunya yang sibuk memegangi payung hitam ini dengan air mata yang terus mengalir. Aku terduduk, memeluk batu nisan ini, tangisku semakin pecah.
Meski sudah hampir satu tahun, aku masih belum bisa melupakan Kak Raihan. Kakak yang selama 17 tahun menjagaku. Kakak yang selama ini memberikanku banyak pelajaran. Aku teringat masa-masa dimana ia memberanikan diri melawan para preman yang tiba-tiba menggodaku ketika SMP dulu, sungguh waktu itu ia terlihat sangat gagah. Atau ketika Kakak melompat ke kolam renang untuk menolongku yang masih belum bisa berenang. Aku masih bisa mengingat bagimana marahnya ia saat itu. Namun setelahnya ia memelukku dan bersyukur karena aku tidak apa-apa.
Setelah Kakak pergi, Ibu juga tak tahu entah kemana. Aku datang ke sini untuk meminta maaf kepada Kak Raihan kalau aku masih belum sanggup untuk membawa Ibu pulang. Rasanya rumah tidak akan pernah menjadi tempat ternyaman tanpa mereka berdua.
Sudah hampir satu jam aku duduk menyendiri, doa-doa tetap kupanjatkan di samping makamnya. Kuusap air mata yang tak hentinya mengalir dengan punggung tangan. Kucoba tuk menghentikan tangisku, namun tetap saja tak kuasa kutahan ketika bayangan Kak Raihan dan Ibu memenuhi otakku.
Sore yang basah oleh hujan itu, angin kian berembus-embus mendramatisir kota yang sedang dalam suasana kabung. Bukan kota, melainkan hatiku. Sembari membetulkan letak tudungku, aku mulai berdiri dan perlahan menjauh dari makam kakak. Aku kembali pulang, kembali mengingat-ingat. Ratusan kali aku terbangun karena suara Ibu namun tidak bisa menemukannya. Aku ingin pergi, berdebat dengan Ayah, lalu menyusul Ibu. Mencari ke mana ia pergi, dan segera menumpahkan rindu beserta isak tangis dalam pelukannya.
Hati memang keras kepala bila berdebat dengan otak, tapi ketololannya membuat argumen yang ia rangkai menjadi tidak masuk akal dan sulit dicerna logika. Ayah yang tidak peduli dengan Kakak hingga ia diambil Tuhan kembali telah membuat Ibu pergi dengan segenap kemarahannya. Sementara aku, setahun berlalu-pun tidak mengubah pendirianku untuk pergi dari sisi Ayah.
Kak Raihan memang bukan anak kandung ayah, lantas apakah pantas jika Ayah tidak peduli toh Ibu telah menjadi istrinya. Aku-pun geram karena ketidak pedulian Ayah tapi aku tidak sanggup meninggalkannya karena ia telah rapuh ditinggal Ibu. Di hari itu, hari pemakaman kakak dan kepergian Ibu, aku menangis memeluk Ayah seakan aku paham benar bagaimana rasanya menyesal, seakan aku pernah menjadi manusia paling bersalah. Ah, Ibu mengapa kau tidak membalikkan badanmu sebentar saja untuk melihat bagaimana memelasnya wajah Ayah padamu, bagaimana ia sungguh menyesal dan bersalah kepadamu. Ah, Ibu seandainya kau mau melihat lebih dalam ke kedua mataku yang tidak pernah sanggup berbohong atas apapun. Aku bersumpah, Bu! Ayah menginginkanmu kembali.
Dalam perjalanan pulang itu aku terus meracau tak karuan, mengembalikan memori pahit hari itu.
Hingga sampailah pada hari ini, tinggal beberapa minggu lagi menuju hari ulang tahunku. Ayah masih tetap tak mau berupaya untuk mencari Ibu walaupun sejatinya ia ingin, namun lebih mementingkan keegoisannya. Ayah juga tak pernah sedikitpun memikirkan makam Kak Raihan dengan mendatanginya. Tiada henti aku berdoa supaya segera menemukan Ibu dan memintanya untuk pulang, tak peduli sudah hampir satu tahun ini berlalu, walaupun segala cara telah aku lakukan.
Selepas sarapan, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Seberapa pedihnya masalah yang kuhadapi saat ini, aku harus tetap berjuang untuk meraih semua impianku. Tentu saja untuk Ibu, untuk kubanggakan kepadanya juga Kak Raihan.
Kuberanikan diri masuk ruang kelas dengan mata yang membengkak akibat berjam-jam menangis semalam. Duduk paling depan, tak banyak bicara, sekuat tenaga mengalihkan hati dan pikiran pada kelemahan teori model atom Bohr yang tidak dapat menjelaskan tentang terjadinya efek Zeeman; terpecahnya spektrum cahaya jika dilewatkan pada magnet yang kuat.
“Persis ya denganku yang tidak bisa menjelaskan efek apapun akibat peliknya permasalahan yang kuhadapi.” Aku tetap saja meracau tidak karuan dalam hati, tidak peduli dengan guru di depan.
“Jangan melamun.” Kata Lala, yang setia menjadi kawan sebangku di 3 tahun ini.
Aku mengabaikannya. Masih melamun dan terus berbicara sendiri dalam hati. Berandai-andai jika Kakak masih ada dan Ibu tidak pergi dari rumah, pasti sepulangku dari sekolah sepiring tumis kangkung dan sambal teri sudah tersaji di meja. Aku dan kakak, makan dengan lahap dan saling menyuapi.
Tulang-tulang jemariku mendadak rasanya sakit sekali, lebam di segala permukaannya, tak sanggup lagi memegang pena untuk mencatat. Buku tulisku basah, setetes air mata yang berhasil jatuh bebas. Aku menangis lagi.
“Satu tahun masih kurang buat ngurangin kesedihanmu, Kei?” tanya sahabatku itu. Sebagaimana seorang sahabat, Lala memang selalu memberikan perhatiannya kepadaku. Tapi andai ia merasakan apa yang sedang terjadi padaku sekarang. Ah, berdoa macam apa aku ini. Tentu saja, semoga ia tak mengalami kejadian seperti diriku.
Akhirnya kuberanikan diri menatap wajah Lala yang masih tetap menyenangkan. Ia tersenyum dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan tangannya. “Kalau aku dapet cobaan kayak kamu sekarang, mungkin aku gak akan bertahan sejauh ini kayak kamu, Kei.” Selalu seperti ini. Setiap hari. Aku tidak pernah bersyukur memiliki seorang sahabat yang slalu ada di saat aku membutuhkan.
Hari ini pun berakhir, aku tidak tahu harus senang atau sedih karena harus kembali ke rumah yang slalu memberikanku kesedihan. Aku berdiri, menarik tas sekolahku dari kursi dan membawanya. Siswa-siswa di sekelilingku tampak riuh namun aku berasa kosong. Benar kata Lala bahwa satu tahun terasa kurang bagiku untuk mengurangi kesedihan, tetap sama seperti awal kehilangan Kak Raihan dan Ibu. Mengingat wajah mereka berdua, air mataku tumpah. Aku berjalan pulang seakan tanpa tujuan. Kulihat Lala berlari kecil hingga berada di sampingku, menemani berjalan.
Lala mengingatkanku tentang Ujian Nasional Bulan April mendatang. Saat ini, aku masih belum bisa maksimal untuk menyiapkan ujian terakhir SMA tersebut. Kuucapkan terima kasih padanya, dan memaksa sebuah senyuman keluar dari wayahku. Kami masih berjalan beringinan.
Sesampainya di rumah, ada setangkup roti dan segelas susu di meja makan. Ku hampiri, tapi tidak untuk kumakan, hanya kupandangi. Ayah selalu menyiapkan sarapan ini setiap pagi dan sudah seminggu pula aku tidak pernah memakannya. Aku mulai marah padanya, mengapa tak kunjung juga Ibu datang kembali ke rumah dan memasakkan sarapan mengenyangkan seperti biasa. Aku mulai kecewa padanya, mengapa ia berhenti mencari Ibu, mengapa ia mulai lelah dengan segala upaya sia-sia padahal selalu ia sampaikan padaku bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Mengurung diri di kamar sembari membaca atau menulis adalah obat mujarab saat ini. Meski sementara, setidaknya itu adalah dua hal yang hanya bisa kulakukan. Mau belajar? Demi Tuhan berbagai rumus dan nama-nama latin itu sedang serupa sampah sekarang. Tidak sama sekali menarik perhatian untuk dijamah. Hingga dering telepon genggamku mengambil alih konsentrasi.
“Assalamu’alaykum, nduk....” Nafasku tercekat, jantungku berdegup kencang, suara ini seperti suara yang telah membuatku merindu sekian lama, membuat tidak berhenti menangis di setiap sujudku, suara ini.
Suara Ibu. Saking tidak percayanya, aku terdiam beberapa saat. Pikiranku melambung. Rindu yang selama ini kupendam membuat mulutku sulit untuk mengeluarkan kata-kata. “Ibu!” Kata yang dengan susah payah aku keluarkan. Kupanggil-panggil namanya dan menyuruhnya pulang. Namun ketika ia berkata, “Keisha, Ibu ndak apa-apa.” Panggilan itu terputus. Diam. Tanganku kembali melemas.
Kesempatan untuk segera menemukan Ibu dan membawanya pulang ke rumah tiba-tiba berakhir. Kucoba untuk menelpon nomer yang digunakannya tetapi tidak ada balasan. Berkali-kali kucoba dan hasilnya sama. Nihil. Air mataku kembali mengalir. Menyentuh pipi. Rasanya hangat. Andai kehangatan ini adalah pelukanmu, Bu.
Akhirnya kuputuskan ‘tuk menyimpan nomernya.
Hari-hari berikutnya aku disibukkan dengan membuat panggilan ke nomer Ibu yang tiada tersambung, mengirim pesan singkat yang tak juga dibalas hingga terpikir untuk melacak keberadaannya. Walau belum juga ada usaha yang berhasil, aku bersyukur karena masih bisa mendengar suara halusnya. Setidaknya, Ibu masih sehat. Semoga ia slalu sehat.
Pagi ini aku memulai hari dengan cukup menyenangkan, setangkup roti bikinan Ayah dengan segelas teh tawar sudah memenuhi perutku, dan seperti biasanya tidak lupa mengirim pesan singkat kepada pemilik nomor yang kuberi nama Surga.
“Ibu sehat kan? Ayah masih tetap sama, hanya membuatkan roti tawar selai cokelat untuk sarapanku. Aku kangen dadar gulung cinta bikinan Ibu.” Kupencet tombol kirim dan kumasukkan telepon genggamku ke dalam tas dan bersiap menuju sekolah.
Hm hari ini tampaknya akan berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Duduk, berpikir, bercengkerama, melamun, berjalan pulang. 10 jam di sekolah memang benar-benar menguras tenaga dan pikiran, dan membuatku seolah lupa rasanya menangis. Barangkali memang ada kaitannya ya antara lelah dengan kelenjar air mata, besok akan kucoba cari di mesin pencarian nomor wahid sejagad.
“Hai, uangnya hilang mbak?” Lelaki berseragam ini tiba-tiba saja muncul di sampingku.
“Oh eh enggak kok.” Sapaan lelaki ini membuyarkan lamunanku, seharusnya aku berterimakasih karena dengan begini aku tidak jadi salah belok untuk pulang ke rumah.
“Jangan sering bersedih dan menangis ya, karena semua orang menjalani hidup dengan bertahan dan sabar.” Kata lelaki itu tiba-tiba, aku berhenti berjalan dan ia tidak, aku belum melihat wajahnya dengan jelas, menatap punggungnya saja dengan penuh penasaran siapa lelaki ini. Seragamnya sama. Kalimatnya, meneduhkan.
Setelah itu aku kembali melangkahkan kaki, kini dengan penuh rasa penasaran. Tujuannya bukan lagi rumah, tapi ke tempat yang sering kukunjungi saat aku punya banyak cerita. “Aku harus menceritakan ini ke Kakak,” pikirku.
“Dia mirip Kak Raihan lo, Kak,” ucapku di samping makam yang biasa kudatangi seperti sore ini. Aku bercerita panjang lebar mengenai lelaki tadi, tentang caranya berbicara yang menguatkan, nasihatnya, perawakannya, tinggi badannya, semua yang kutahu mirip Kakak, meski aku belum melihat mukanya dengan jelas. Tak mengapa. Sesegera mungkin akan kucari tahu. Ia memakai seragam yang sama. Seperti seragamku.
“Oh iya. Kayak biasanya, tadi pagi aku ngirim pesan ke nomer yang pernah kuceritakan ke Kak Raihan, ke nomer yang digunakan Ibu untuk nelponku dulu. Di setiap pesan slalu kusematkan doa supaya suatu ketika Ibu akan membalas dan beritahu dimana Ibu berada. Keisha janji bakal bawa Ibu pulang, Kak.” Setelah mengucapkannya aku berdoa untuk Kak Raihan, selalu berada di tempat terbaik di sisi-Nya.
Sebelum kembali, kuusap lagi batu nisan yang dingin itu. Kupastikan tidak ada dedaunan dan kotoran di atas makamnya.
Hari-hari menjelang Ujian Nasional kini sedikit demi sedikit dapat kuatasi. Aku yang sebelumnya sangat tidak nafsu untuk belajar, sekarang sudah dapat memahami pelajaran-pelajaran dengan baik. Aku yang sebelum ditelpon Ibu begitu mudahnya menangis, sekarang aku mulai dapat menahan air mata. Perjumpaan dengan lelaki mirip Kak Raihan membuatku kembali bersemangat seperti dulu. Kata-katanya yang meski sederhana namun memberi banyak kekuatan. Keisha yang ceria harus kembali. Aku harus membuktikan kepada Kak Raihan bahwa Adiknya bisa lulus SMA walaupun diterpa banyak cobaan. Aku harus bekerja keras supaya bisa membuat Ayah, dan Ibu bangga ketika pulang ke rumah.
Apalagi setelah ini umurku akan bertambah. Aku tak boleh lagi jadi Keisha yang lemah.
Benar kata lelaki asing itu, jika semua orang menjalani hidupnya dengan bertahan dan sabar bukan dengan menangisi. Sepenggal kalimat itu benar-benar membuat beban kesedihan di pundakku yang tadinya terasa 100 ton, berkurang hingga 10 kg. Sedikit berharap akan bertemu dengannya lagi, siapa tahu ada kalimat nasihat lagi yang terlontar dan berhasil membuat beban kesedihanku tersisa tinggal 1 kg, ya siapa tahu.
Malam ini seperti biasa, aku duduk di atas ranjang dengan buku-buku pelajaran yang bertebaran. Berkutat pada segala macam bentuk persamaan reaksi kimia. Satu jam, satu setengah jam, dan mulutku terbuka lebar menguap. Selalu begitu, padahal ini buku kimia bukan buku dongeng yang bisa membuat mengantuk dan akhirnya terlelap terbuai isi ceritanya. “Baiklah, mungkin perlu jeda” pikirku dan aku menyabet satu novel diantara tumpukan buku di meja; Ada Surga di Rumahmu tulisan Oka Aurora. “Kreeet...” Aku melirik ke arah pintu kamar yang perlahan terbuka
“Kok tidak belajar, nduk?” Ayah bicara sambil berjalan pelan menghampiriku dan duduk di pinggiran ranjang.
“Sudah sebentar tadi, Yah. Jeda dulu, nanti dilanjut.” Aku menjawabnya tanpa memalingkan muka dan terus membolak-balik halaman novel yang kupegang.
“Nduk, setiap yang sakit akan selalu menemukan obatnya, entah banyak atau sedikit sakit yang ia rasa. Tuhan sudah menyiapkan porsi waktu untuk menyembuhkan. Sama halnya seperti manusia yang hidup dengan menanggung bebannya, entah berat atau tidak manusia itu harus bertahan agar bebannya sedikit demi sedikit berkurang.” Aku menutup novelku dan memandangi raut muka Ayah yang tampak penuh beban, ia menepuk pundakku seraya tersenyum dan beranjak pergi. Aku memandanginya dari belakang, masih tidak percaya dengan kalimat Ayah barusan. Persis dengan lelaki asing itu.
Aku kembali membuka novel dan mataku tertuju pada kutipan haru di dalamnya.
Surga ada di tapak Ibu. Ia ada di senyum Ayah. Surga itu dekat, dekat sekali. Tapi kau, mencarinya sampai jauh.
Aku terbangun dengan sebuah novel tergenggam di tangan. Tampaknya kemarin malam, tanpa sadar aku ketiduran. Mungkin karena asyik membaca atau hal yang lain. Namun, hari ini adalah hari baru, aku tahu itu. Tidak pernah kurasakan sebuah kebahagiaan seperti hari ini.
Kulihat kalender yang bertengger di dinding. Besok adalah hari ulang tahunku. Usiaku akan beranjak 18 tahun.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, meski kunantikan, tapi tahun ini rasanya tidak ada gunanya lagi merayakan hari ulang tahun. Aku ingat tahun kemarin, aku masih bisa mendapatkan ucapan selamat dari Kak Raihan, Ibu dan Ayah. Malam harinya, kami pergi makan bersama di luar sebagai acara syukuran sederhana. Dan tahun ini rasanya berbeda. Tanpa Kak Raihan dan Ibu. Aku juga tak berharap Ayah ingat hari ulang tahunku. Atau mungkin ia ingat setelah apa yang dikatakannya kemarin malam? Ah, aku tak mau berekspektasi lebih. Aku hanya ingin menikmati setiap detik yang terus berkurang untuk mengembalikan semangat hidup. Tiap nafas yang masih diberikan Tuhan untuk terus bersyukur.
Satu-satunya hadiah ulang tahun yang kuinginkan adalah Ibu kembali pulang. Walau kurasa harapan itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Tapi Tuhan adalah sebaik-baik perencana. Aku yakin itu.
Setelah bangkit dari ranjang, mandi, bersiap ke sekolah, sarapan, mengirim pesan singkat ke nomer Surga, aku pamit ke Ayah. Benar rasanya jika ada sebuah perubahan besar pada dirinya, pada hubungan kami. Aku merasakan beberapa hari ke depan akan ada banyak keajaiban. Saking bahagianya, kupercepat langkah kaki ketika menuju ke sekolah.
Di sekolah, Lala tampak bingung dengan apa yang dilihatnya. Tiada lagi Keisha yang datang dengan muka sedih dan mata sayu. Aku tersenyum melihat dirinya yang terheran-heran. “Kau abis kenapa, Kei?” tanyanya penuh rasa penasaran. Aku memilih untuk diam biar dia semakin ingin tahu.
Sepertinya ia tak puas jika aku belum memberikan jawaban. Lala pun bertanya “Abis ditembak cowok, Kei?” Pertanyaannya itu membuatku membayangkan lelaki asing yang dulu kutemui.
“Hush, udah! Mulai hari ini fokus sekolah. Ujian tinggal sebulan lagi.”
Lala tidak menanggapi, mungkin menurutnya benar. Aku tertawa kecil, senang karena berhasil menyumpal mulutnya dengan menyebut kata mistis ‘ujian’.
Bel istirahat berbunyi, aku segera beranjak dari bangku. Aku bilang pada sahabatku ini ingin ke toilet dan kantin sebentar, mencari jajan teman belajar. Aku berbohong. Benar, aku berjalan ke toilet lalu ke kantin tapi untuk mencari lelaki asing itu. Hanya penasaran. Penasaran dalam waktu yang lama, karena sudah seminggu ini aku tidak berhasil menemukannya, yang ada semakin membuat sahabatku curiga.
Kupindai seluruh isi kantin. Dari lapak paling luar hingga yang paling dalam. Memelototi para siswa yang ada, mulai mukanya sampai tubuhnya. Aku tahu kemungkinan lelaki asing itu berada di kantin saat ini sangatlah kecil, tapi harus kulakukan daripada aku terus kepikiran. Dan tetap saja tak membuahkan hasil.
Setelah membeli 2 kue cokelat aku kembali ke kelas. Malas jika terlalu lama, malas kalau Lala bertanya macam-macam. Saat perjalanan ke kelas pun, mataku tidak henti memandangi sekitar, rasanya tidak ingin melewatkan sesentimeter pun jarak dengan lelaki asing itu. Tak ingin kelewatan.
Tapi mungkin ini yang namanya belum jodoh, aku belum mengetahui informasi apapun terkait lelaki itu, sampai saat ini.
Dan sekolah hari ini ditutup dengan rasa penasaran, baik aku maupun Lala memilikinya. Eits, tunggu dulu. Aku lupa mencoba satu cara lagi, yaitu berjalan melewati rute yang sama saat lelaki itu menyapaku. Ya. Pantas untuk dicoba. Selepas berpamitan dengan Lala, kulangkahkan kaki melewati jalan yang kuingat aku pernah hampir tersesat di sana. Dengan sengaja, kupelankan langkahku. Pelan. Hampir sangat pelan. Tidak jarang sesekali kutengok ke belakang, siapa tahu ia ada di belakangku.
Akhirnya aku sampai di rumah, belum juga berjumpa lelaki mirip Kak Raihan. Rasa kecewa itu merayap ke hatiku. Tapi ketika aku ingat besok adalah hari ulang tahunku, aku buru-buru ke kamar. Menyelesaikan semua tugas dan belajar. Ingin segera tidur dan bangun pagi-pagi sekali. Menunggu kejutan apa yang akan kudapatkan esok hari.
Aku sungguhan bangun pagi-pagi sekali, 10 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Tidak ada kejutan, sama sekali. Ayah juga sudah tidak ada di kamarnya, sudah berangkat bekerja mungkin. Hm baiklah. Manusia memang aneh, kejutan macam apa yang diinginkan saat usia semakin berkurang, jatah hidup berkurang meski hanya Tuhan yang tahu masa berlaku hidup seseorang.
Berangkat ke sekolah seperti biasanya, berjalan dengan rute biasanya, bertemu pedagang kaki lima yang sama, berpapasan dengan majikan dan anjing mengerikan seperti biasanya, melihat tukang sayur yang dikerumuni ibu-ibu dan pembantu rumah tangga seperti biasanya. Dari sekian hal seperti biasanya, ada yang paling menyenangkan, yakni berhenti 5 menit di pinggiran taman yang kulewati hanya untuk mendengarkan alunan musisi jalanan yang sedang mengamen ini. Pagi ini lagunya Tenda Biru, hahaha lagu paling menyayat hati di waktu itu.
Sesampainya di kelas, aku masih sedikit berharap akan ada kejutan dari sahabat sebangku-ku. Nyatanya? Tidak. Lala dan lainnya, sedang sibuk dengan isi kepala masing-masing, menjejalkan rumus ataupun nama-nama aneh untuk dihapalkan dengan baik. Tidak apa, aku tidak apa, aku juga akan begitu, membenamkan diri ke dalam lautan buku, melupakan hari-berkurangnya-jatah-hidup dan melupakan mencari lelaki itu. Waktu demi waktu, hari demi hari.
Kini tinggal beberapa hari menuju hari H Ujian Nasional. Deg-degan? Tentu saja. Ketakutan? Pasti. Tapi sekarang aku telah terbiasa untuk mengontrol emosi. Sudah tidak kaget dengan kenyataan-kenyataan pahit dalam kehidupan. Yang harus kulakukan hanyalah terus berjuang dan tidak patah semangat.
Semua yang kubutuhkan untuk mengikuti ujian sudah cukup maksimal. Hanya saja aku takut jika tiba-tiba aku merasa sedih ketika kepikiran Kak Raihan dan Ibu.
Di tiap malam, ketika aku belajar, Ayah tidak lupa memberikan nasihat-nasihat seperti dulu kala, ketika Kak Raihan dan Ibu masih ada di rumah. Mungkin Ayah juga telah bangkit. Sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk tidak berusaha sebaik mungkin untuk bisa lulus dan membahagiakan orang-orang yang kucintai itu.
Dan di pagi harinya, slalu kusempatkan mengirim pesan ke nomer Ibu. Dan tak peduli ia membacanya atau tidak.
Hingga hari besar ini-pun tiba. “Buk, aku berangkat ujian. Doa-nya jangan pernah putus ya.” Sebaris kalimat yang aku yakini menjadi jimat keberuntunganku kali ini, baru saja kukirim ke nomor yang masih kusimpan dengan nama ‘Surga’.
Sahabatku sudah datang menjemput tepat waktu, buru-buru aku menghabiskan segelas susu dalam satu tegukan, menenteng tas dan beranjak mencium tangan Ayah sambil meminta doa. Kami berangkat.
Masih ada waktu 45 menit lagi sebelum memasuki ruang ujian, aku memilih untuk menanti di taman dan bercanda dengan kawan. Hitung-hitung menghilangkan ketegangan. Mata memandang sekeliling, aku yakin jantung mereka berdegup lebih kencang dari biasanya, lalu tangan mereka mendadak menjadi berkeringat. Bagaimana tidak, 3 tahun proses belajar kami akan ditentukan mulai hari ini hingga beberapa hari ke depan. Masing-masing dari kami sedang berusaha memetik semua buah dari pohon yang telah kami tanam di tiga tahun ini.
Iseng aku membuka layar telepon genggamku, barangkali ada yang menyemangati di pagi ini.
“Ibu tidak pernah berhenti bersujud meminta pada Tuhan agar kebaikan dan keberkahan selalu berada di sekeliling kita. Terimakasih, nduk untuk tetap berjuang. Semangat!” Kubaca berulang kali isi pesan ini, tidak peduli nomor siapa lagi ini. Ibu, ini Ibu. Pesan ini serupa amunisi senjataku yang tidak akan pernah bisa habis.
“Banyaknya luka bisa dibabat habis oleh senyuman, pastikan hasil ujianmu sebahagia senyumanmu ya. Ah ya, selamat ulang tahun di 23 hari yang lalu, Keisha.” Aku mengangkat kepalaku, beralih memandang sosok yang tiba-tiba bicara di depanku ini. Laki-laki asing ini. Aku hendak menanggapi kalimatnya, baru akan membuka mulut laki-laki ini sudah berbalik badan dan pergi bersamaan dengan bunyi bel tanda ujian akan dimulai.
Kalimat lelaki itu, masih meledak-ledak di kepalaku. Aku mulai menggenggam pensil dengan segenap keyakinan bahwa amunisiku bertambah. Senjataku sudah tidak lagi tertandingi.
Komentar
Posting Komentar