Waktu itu aku masih belum memaknai
amanah sebagaimana yang kamu percaya, wahai wanita dengan seribu kesibukan.
Terkadang aku malu dengan waktu yang
telah banyak aku siakan, tentang kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh
Tuhan kepada diri ini, juga tentang keistimewaan yang aku pegang. Namun terlalu
banyak keegoisan yang membuat semua itu lenyap begitu saja.
Satu tahun yang lalu aku mengenalmu,
di sebuah kesempatan. Pertama aku bertemu, aku tak acuh, hanya saja, memang aku
akui bahwa ada sedikit perasaan yang hinggap di hati. Aku tidak pernah
membayangkan akan menjadikan rasa itu sungguhan, apalagi kita di antara
orang-orang yang saling menundukkan pandangan.
Aku menaruh perhatian lebih padamu
waktu itu karena selama satu tahun sebelumnya aku belum pernah melihatmu, di
tempat di mana kita berjuang. Aku tak pernah mendapati wajah itu di dalam
pertemuan-pertemuan, sampai akhirnya bersua di dalam ketertarikan. Dan salahku
karena tidak juga memastikan pada hati ini apakah itu perasaan yang suci
ataukah angin lalu, entahlah.
Hingga akhirnya, kamu harus menemani
ku dalam sebuah amanah, sebagai partner yang akan berjuang untuk satu tahun
berikutnya. Awalnya aku tak percaya, harus bersyukur atau mengumpat. Aku yang
berusaha untuk sesegera mungkin melupakan muka itu malah harus terikat
denganmu, dalam sebuah profesionalitas. Aku berada di dalam dua rasa yang
sebenarnya mudah untuk di-logika, tapi aku memilih untuk membiarkannya. Biarlah
waktu yang menjawab, batinku.
Dan akhirnya aku menyesal karena
membiarkan rasa itu ada.
Aku adalah orang yang terlalu
singkat dalam memaknai perjuangan, apalagi ketika aku merasakan susah-payahnya
memegang bara api itu, aku telah memberikan patokan yang tinggi, tapi bagimu
itu hal yang sepele, sampai kamu harus menanggung dua jabatan. “Sudah biasa
kalau di sini harus pegang dua amanah,” katamu. Aku tak kunjung meyakinkan hati
bahwa pilihanmu itu benar, aku masih menyimpan sifat kekanak-kanakanku bahwa
yang kamu perjuangkan itu tidak benar.
Padahal kamu adalah anak yang
terlahir dari jalan itu, gerakan itu. Kamu dan teman-temanmu yang lain telah
merasakan sebuah keyakinan, kredo dari suara rakyat. Lantas aku menyuruhmu
untuk tak kembali pulang, sungguh aku ini tak panjang hati. Dan akhirnya
kubiarkan kamu memilih untuk tetap di sini, dan di sana.
Selama setahun kita berusaha
bersama, menjadikan ide-ide kita terwujud semua. Kita bukannya selalu
se-iya-se-kata, kita sering berbeda pendapat malah, tapi karena kita
mengedepankan mufakat kita dapat menyelesaikannya. Walau ada beberapa gagasan
yang harus kupaksakan, maafkan aku akan hal itu.
Selama setahun kita juga menyiapkan
penerus kita, kamu lebih memilih fokus pada pembinaan, aku lebih suka
manajerial. Kamu lebih memilih tak acuh terhadap satu orang, aku lebih suka
pengkhususan. Dan kita telah banyak mencetak kader yang luar biasa, yang dapat
menginpirasi dimanapun mereka berada.
Selama setahun aku telah banyak
berbuat salah, namun kamu yang sering meminta maaf jika terdapat
ketidak-biasaan. Dalam kesempatan ini, jika ada kata yang lebih merendah
daripada ‘maaf’ ingin segera kuucapkan padamu.
Selama setahun kita telah banyak
belajar, terutama aku. Walaupun kamu telah berterima kasih karena katamu aku
telah banyak mendidik, tapi sebenarnya aku lah yang kamu didik.
Wahai aktivis yang telah banyak
turun ke jalanan, aku berterima kasih karena telah banyak memberikanku arti
kehidupan. Tentang betapa sempitnya pikiranku ini ketika dihadapkan dengan
permasalahan-permasalahan remeh, tentang masih mudahnya aku mengedepankan
perasaan daripada logika, yang mana seharusnya kamu yang lebih menggunakan keahlianmu
itu dalam merasa.
Wahai teman yang masih akan
menerimaku, untuk saling mengisi perbincangan di dunia maya, aku berterima
kasih karena lewat percakapan kita yang dibatasi media itu aku menjadi lebih
banyak merenung tentang amanah yang telah aku lewatkan, tentang prestasi yang
aku banggakan, padahal di matamu itu sungguh tiada berharga, dibandingkan
dengan perjuanganmu di jalan yang sama.
Wahai wanita yang telah hijrah, dari
masa lalu yang tak cerah, aku berterima kasih karena bagimu aku ini masih orang
yang luar biasa, aku masih orang yang membuatmu masih memberikan hormat dan
harga, padahal jauh di lubuk hatiku aku mengelak untuk kau sandarkan dengan
orang-orang hebat di luar sana. Kamu masih saja memberikanku kesempatan untuk
berubah, walaupun terlampau lama aku harus memaksakan gagasan-gagasan.
Wahai perempuan berjuta kesibukan,
kamu telah membuktikan bahwa kamu adalah yang paling mandiri di antara kita.
Kamu telah pergi ke banyak kota, dan aku hanya bisa menemanimu dalam
percakapan, yang kita larut di dalamnya, hingga kita lupa bahwa itu salah.
Maafkan aku akan hal itu.
Wahai ibu dari anak-anakmu kelak,
jangan salah sangka. Aku menulis bukan berarti aku mengharapkanmu, karena harus
aku akui jika tak mudah untuk memenangkanmu. Aku berdoa kepada Tuhan untuk
diberikan wanita setegar, sebaik, seriang engkau, sembari aku terus memantaskan
diri jika memang suatu ketika kita dipersatukan.
Terima kasih kamu, karena telah
memberikanku banyak pelajaran tentang amanah. Terima kasih amanah, karena telah
mempertemukanku dengan dia. Terima kasih Tuhan, karena telah mengijinkanku
memikul amanah itu.
Komentar
Posting Komentar