Pak Karta adalah guru bahasa inggris kelasku.
Beliau adalah guru yang termasuk senior di SMA ku. Ada beberapa keriput di
wajahnya dan warna rambut putih alias uban yang hampir memenuhi kepalanya.
Dengan pengalaman yang sudah lebih dari 30 tahun itu, Pak Karta yang sekaligus dosen dari beberapa
perguruan tinggi sering memberi tugas yang aneh dan tidak seperti guru yang
lainnya. Kreatifitas dalam mengajar,
begitulah yang aku pikirkan. Kali ini, Pak Karta memanggil satu persatu anak untuk
maju menghadap beliau di meja guru. Pak Karta ingin menilai cara berbicara bahasa inggris kami. Sehingga
kami bisa melakukan apapun jika tidak sedang maju ke depan.
“Semuanya kalo bisa yang rajin kayak
Ariyandi ya,” ujar Pak Karta
di sela-sela menilai Sugi,
temanku yang saat ini duduk di depan Pak Karta untuk unjuk gigi. Aku hanya bisa tersenyum malu ketika
namaku disebut oleh Pak Karta.
“Baik Pak!” jawab teman-temanku
dengan kompak ditambahi dengan sedikit anggukan. Setelah mendapat balasan dari
teman-teman, Pak Karta melanjutkan dengan pria hitam di
depannya, yang tidak lain adalah Sugi.
“Iya nih, yang udah lanjut ke level
selanjutnya,” bisik Yogi,
teman sebangku-ku. Seperti biasa, senyuman yang sedikit mengejek itu disematkan
di antara pipinya yang tembam.
Kubalas bisikan Yogi dengan senyum simpul. Lalu
kulanjutkan dengan sedikit memberi kata-kata bijak, “Alhamdulillah, kalo kamu
mau rajin, insya Allah bisa lebih dari aku, Yog.”
“Yaaa...” ucapnya sambil menyikut
tanganku. Walaupun lengannya besar, tapi kali ini tidak terasa sakit seperti
ketika ia memukulku. Kubalas serangannya dengan gelitikan di samping badan Yogi, dan menunjukkan muka penuh
kegelian. “Sudah sudah, Sok.”
Sepertinya perkelahian kecil kami
mengundang perhatian Jodi, temanku yang duduk di belakang kami. “Weee..Soki
sama Yogi tambah mesra, cuit cuit.. Hahaha,”
sindir Jodi. Aku dan Yogi
langsung menoleh ke belakang, ke arah pria bertubuh kecil itu. “Cong, lihat nih
pasangan warkop kita!” tambahnya, sembari menepuk pundak Hariyadi, teman
sebangku Jodi. Seketika itu, Hariyadi yang sedari tadi menatap ke arah kanan,
menoleh ke arah kami.
“Ihiir..” katanya singkat. Hariyadi
termasuk teman yang paling lucu. Kacamatanya yang berbentuk kotak kadang kala
menurutku tidak sesuai dengan bentuk kepalanya yang bulat seperti bola dan
kumis yang tipis di atas bibirnya. Namun yang sering menjadi bahan ejekan di
kelas adalah sebuah tanda lahir berupa tompel di tangan kirinya.
Setelah puas dengan gurauan bersama
Yogi, Jodi dan Hariyadi, aku meneruskan
untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh Pak Karta. Hari ini aku tidak akan maju untuk
berbicara bahasa inggris seperti teman-teman yang lain, karena aku sudah
melakukannya pada pertemuan sebelumnya. Level selanjutnya, ini yang dimaksud
oleh Yogi.
Semua ini berawal dari beberapa
pertemuan yang lalu. Aku mendapat nilai yang bagus pada soal dikte yang
diberikan oleh Pak Karta.
Bukan hanya aku yang lolos, melainkan ada Diki, sang ketua kelas, Wida dan
Silvi yang juga lolos ke soal berikutnya. Soal berikutnya adalah soal
listening. Minggu kemarin, kami harus menuju ke perpustakaan sekolah untuk
mengerjakannya. Tentu saja ini kami lakukan karena teman-teman yang lain masih
harus menyelesaikan soal sebelumnya. Kami takut jika nantinya akan mengganggu
mereka.
Pada soal listening, hanya aku, Wida
dan Diki yang lolos. Silvi harus mengulanginya karena nilainya masih di bawah
standar. Lalu, kami yang lolos dari soal listening harus mengikuti penilaian
cara berbicara bahasa inggris seperti yang dilakukan oleh teman-temanku
sekarang. Alhamdulillah aku dan Diki lolos soal ketiga tersebut dan sampailah
pada selembar kertas di depanku ini, sebuah soal reading yang harus segera aku
selesaikan.
Tak terasa, bel pergantian jam
pelajaran berbunyi. Aku menatap senang ke arah Pak Karta karena aku telah menyelesaikan soal
reading yang telah diberikan oleh beliau. Lalu aku menoleh ke arah Diki, air
mukanya juga menunjukkan sebuah kebahagiaan. Sepertinya ia juga selesai
mengerjakan. Bagus. Masih ada saingan yang bisa membuatku terus berusaha,
walaupun sebenarnya aku tak menyukai sebuah kompetisi dan memilih untuk
melakukan hal-hal yang mudah.
Seperti sudah dikomando oleh Pak Karta, aku dan Diki beranjak dari kursi
dan menuju meja Pak Karta
secara bersama-sama.
“Ini Pak, sudah selesai,” kataku
sambil menyerahkan lembar soal dan jawaban yang telah kukerjakan. Begitu pula
dengan Diki, melakukan hal yang sama sepertiku. Pak Karta menyambut lembaran-lembaran
tersebut tanpa berkata apapun. Setelah beberapa menit merapikan barang-barang
beliau dan menarik-narik taplak meja supaya seperti kondisi semula, Pak Karta mengambil sebuah amplop besar
berwarna coklat dari dalam tasnya.
“Ariyandi dan Diki, ini tolong
dibaca, ada beberapa file di dalam amplop ini. Bapak harapkan kalian bisa
mempersiapkannya,” ujar Pak Karta sambil memberikan amplop coklat ke Diki, “dan tolong nanti
sewaktu istirahat siang temui Bapak di ruang guru.”
Aku mengangguk, sedangkan Diki
berkata, “Baik Pak.” Aku melirik ke arah amplop coklat itu sambil menerka apa
isinya. Mungkinkah soal-soal lagi, atau setumpuk uang sebagai hadiah untuk
kami. Entahlah, pikirku.
Selepas itu, Pak Karta keluar ruangan, menuju ruang guru
dan berlalu di antara pohon-pohon yang tertanam di pinggir lapangan yang ada di
depan ruang kelas kami.
“Apa isinya ini, Men?” tanya Diki ke
arahku, sambil memutar-mutar amplop tersebut. Hingga berhenti setelah melihat
kertas putih yang tertempel di pojok kiri amplop. “Yang terhormat, Kepala
Sekolah SMAN 14 Surabaya,----” Diki membaca tulisan tersebut dan langsung
berkata dengan suara yang lebih keras, “Ini undangan untuk lomba pidato bahasa
inggris, Somen!”
Kata-kata Diki tidak terlalu
mengejutkanku apalagi sampai membuatku antusias dengan undangan lomba tersebut.
Aku tidak begitu menyukai kompetisi, sepertinya minatku untuk mengikuti
ajang-ajang seperti itu telah pudar sewaktu SMP kemarin, berbeda dengan ketika
di Sekolah Dasar. “Jadi?” tanyaku ke Diki, seolah belum menyadari maksudnya.
Ketika pikiranku melambung ke
jaman-jaman SMP dan SD dulu, Diki telah membuka amplop dan mengeluarkan
kertas-kertas dari dalam amplop itu. Mukanya seperti biasanya, tampak senang
dan bersemangat, ketika mendapati hal yang menarik baginya. Kertas-kertas itu
dibacanya dengan seksama, hingga seakan-akan melupakan aku yang berada di
sampingnya.
“Hei Dik, sampai kapan kita akan
berdiri di depan meja guru seperti ini terus?” tanyaku, “Ayo duduk.”
“Oh iya Men, haha, ayo kita duduk
sambil membaca ini semua.” Setelah itu kami menuju bangku terdekat untuk duduk
dan membaca kertas-kertas tersebut, menghabiskan waktu sebelum Bu Jum, guru
Biologi masuk ke dalam kelas.
Kami lanjutkan untuk membaca
kertas-kertas tersebut. Kami membaca poster yang berisi jadwal seleksi,
kertas-kertas yang berisi persyaratan lomba, formulir pendaftaran,
teknis-teknis perlombaan dan banyak berisi konten pendukung lainnya. Sampai
sini pun aku masih belum terlalu tertarik untuk mengikutinya, berbeda dengan
Diki yang dari tadi terlihat sangat bersemangat. Hingga kami tak sadar kalau Bu
Jum sudah berada di depan pintu.
Aku langsung berdiri dari kursi yang
aku duduki, “Dik, udah ya, nanti kita langsung menghadap Pak Karta aja, tanya-tanya, oke?” Aku tak
menunggu jawaban dari Diki dan langsung berjalan menuju mejaku, kurasakan Diki
mengangguk dan saat kulirik, kertas-kertas tadi sudah tidak ada di atas
mejanya.
Sesampainya Bu Jum di depan meja
guru, aku sudah duduk di tempatku semula.
###
“Baiklah anak-anak, selamat
beristirahat, jangan lupa mengerjakan tugas yang tadi Ibu berikan.” ujar Bu Jum
mengakhiri pelajaran Biologi hari ini. Berarti sekarang waktunya istirahat.
Kuingat pesan Pak Karta
tadi pagi dan aku menoleh ke arah Diki. Aku yakin ia masih ingat pesan tersebut
dan berkeinginan untuk menemui Pak Karta, namun aku ingin mengerjakan salat duhur terlebih dahulu.
“Dik, aku salat dulu ya?” kataku
kepada Diki, sepertinya ia kaget dengan teriakanku, ketika dia menoleh ke
arahku, aku mengusulkan, “Eh, kenapa kita nggak bareng aja ya salatnya? Terus
menemui Pak Karta bareng-bareng.”
“Oke, Meen.” Jawab Diki, ditambahi acungan
jempol ke arahku menunjukkan kalau dia setuju.
“Ayo, Yog, Jod, Cong.” Ajakku ke
teman-teman yang lain di sekelilingku.
“Meen..”
Sontak saja kulihat ke luar kelas
setelah kudengar seseorang memanggilku. Oh, ternyata itu Assaghaf, temanku dari
kelas X-1 yang aku kenal di SKI 14, sebuah organisasi islam di SMAku.
“Ada apa Seed?” tanyaku ke arah
temanku yang memiliki nama lengkap Rasyid Assaghaf tersebut.
“Ayo salat.” Ajaknya.
Aku mengangguk, “Iya, emang ini mau
ke musala.”
“Fikri sama Rishal mana?”
“Hmm..” kutanggapi pertanyaan
Assaghaf dengan memutar kepala ke kanan-kiri untuk mencari Arrasyid dan Ahmad.
Aku berhenti pada seseorang di sebelah Diki, muka lonjong dengan kacamata kotak
di bawah jambul, “Muhammad Nur Fikri Arrasyid Sukino.” Aku memanggil nama
lengkapnya dan memberi penekanan pada nama terakhir. Dia menolehku dengan muka
sedikit marah. Namun bagiku ia masih tampak lucu jika menunjukkan ekspresi
seperti itu. Sukino, adalah nama ayahnya. “Dipanggil Rosed, diajak ke musala.”
Kulihat Arrasyid mengangguk dan langsung berdiri. Kulanjutkan pencarianku, dan
kudapati pria berponi itu sudah bercakap-cakap dengan Assaghaf di luar kelas.
“Ohh..Takmir mayak!” ujarku sedikit jengkel yang tanpa alasan itu.
Pria berponi itu adalah Ahmad
Rishaldi Yahya. Dia kupanggil dengan nama Takmir karena dia diberi amanah
sebagai Wakil Ketua Departemen Ketakmiran SKI 14. Ya! Aku, Ahmad, Arrasyid dan
Assaghaf akhir-akhir ini mulai bertambah akrab karena kami baru saja sama-sama
mendapatkan amanah di SKI
14. Jika Ahmad menjadi Wakil Ketua Departemen Ketakmiran, aku di bagian
Departemen Informasi dan Jurnalistik, sedangkan Arrasyid di bagian Departemen
Dakwah. Berbeda dengan kami, Assaghaf menjadi Ketua 2 SKI 14, tingkatnya sedikit di atas kami
bertiga.
Setelah aku menghampiri Assaghaf dan
yang lainnya, kami bergegas menuju musala yang tidak jauh dari kelas kami. Kami
hanya perlu melewati sebuah lapangan berukuran sedang yang berada di belakang
ruang kelas 3 IPA, yang berada di depan ruang kelas kami. Kami melewati sebuah
celah kecil di antara kelas 3 IPA dan sekretariat musala untuk sampai di depan
musala. Berbeda dengan beberapa minggu yang lalu, ketika awal-awal tahun ajaran
baru, musala dalam tahap pembangunan. Depan musala ini penuh dengan kayu-kayu
tinggi yang terpasang. Kayu-kayu tegak yang berada di depan membuat musala
tampak seperti sebuah penjara, sehingga waktu itu kami harus melewati ruang
kosong di antara dua kayu yang berdiri untuk bisa masuk ke dalam musala. Dan
sekarang, kayu-kayu itu telah dilepas dan meninggalkan sebuah tempat terusan
dari beranda musala di depan musala. Berbentuk kotak yang mirip seperti sebuah
gazebo yang menjadi bagian dari beranda musala. Tempat itu menjadi tempat
favorit para siswa untuk menghabiskan waktu istirahat. Dari tempat itu juga
terlihat lapangan utama SMAku, di lapangan itu sering terdapat pertandingan
sepak bola pada jam-jam kosong seperti sekarang.
Sesampainya aku di beranda musala,
kulepas sepatu dan berdiri, aku berjalan menuju ke arah tempat wudu pria yang
berada di samping musala. Untuk mencapainya, terdapat beberapa kotak dari tegel
dan semen yang memiliki jarak di antaranya, membentuk sebuah jembatan yang
menghubungkan musala dengan tempat wudu. Jembatan kecil itu berfungsi untuk
menjaga kaki agar tetap bersih dan suci.
“Assalammualaikum, Sok” ujar
seseorang dengan menepuk-nepuk pundakku. Aku pun menoleh, ternyata yang
melakukannya adalah Mas Udin, Ketua Umum SKI 14 yang baru saja dilantik. Seketika itu aku mematikan kran
air yang ada di depanku, yang rencananya akan kugunakan untuk berwudu.
Kulihat tangan kanannya mengarah
kepadaku, mengajak untuk bersalaman. Langsung kuraih tangannya dan kamipun
berjabat tangan. “Waalaikumussalam, Mas Din.” Kukira Mas Udin akan memulai
percakapan panjang denganku, ternyata setelah melepas tangannya, dia berlalu
dan menuju kran air yang berada di samping kiriku.
Setelah berwudu, aku menuju ruang
utama musala. Ketika melewati jembatan kecil tadi, aku hampir saja menabrak
seorang gadis yang berjalan memotong jalanku, untungnya aku segera menyadari
keberadaannya. Jembatan kecil tadi berada di tengah jalan menuju daerah dan
tempat wudu wanita. Selepas gadis itu berlalu, aku kembali berjalan dengan
langkah panjang menyeberangi jembatan kecil.
Sesampainya di dalam ruangan utama,
aku melihat banyak siswa yang sudah bersiap melaksanakan salat duhur. Kupindai
samping kanan dan kiri ruangan dan aku melihat Pak Karta di sisi kanan, sedang bersandar ke
dinding dengan tumpuan badan sebelah kanan beliau. Alhamdulillah, tadi
memutuskan untuk salat dulu, kalo ndak, mungkin aku gak nemui Pak Karta di ruang guru, pikirku. Di depan
Pak Karta ada Pak Rudi yang biasa disapa Rudi
Sensei oleh para siswa. Rudi Sensei adalah satu-satunya guru yang mengajar
Bahasa Jepang di SMAku. Tentu saja imej Sensei sangat melekat pada beliau. Rudi
sensei duduk bersila sambil menundukkan kepala.
Tidak lama setelah aku menunggu.
Kulihat Pak Ajid, guru Agama Islam sekaligus Pembina SKI 14 menyuruh salah seorang anak untuk
melakukan ikamah. Dan salat duhur pun dimulai dengan khidmat.
###
Seusai salat duhur berjemaah, dengan
posisi duduk bersila dan menyamping bertumpu pada tangan kananku, aku menoleh
ke kiri, lalu ke kanan, aku mencari Diki. Setelah lama mencari, aku tidak
menemukannya di dalam ruang utama musala. Mungkin ia sudah berada di serambi
musala. Aku pun beranjak dari posisi duduk, dan berjalan keluar musala. Karena
pintu musala yang dapat digunakan untuk jalan keluar-masuk ruang utama hanya
ada satu, dan itu terletak di tengah-tengah musala, aku harus melihat bagian
salat wanita yang berada di belakang. Bagian wanita dan pria hanya dibatasi
oleh 3 pembatas panjang setinggi paha orang dewasa, yang terbuat dari kumpulan
kayu lonjong yang berbentuk seperti tangga horizontal.
Saat aku hendak keluar melewati
pintu tersebut, aku melihat gadis yang hampir kutabrak tadi berdiri selepas
salat dan merapikan mukenahnya yang berwarna biru tua. Aku terdiam beberapa
detik menatapnya, lalu berpura-pura untuk melihat jam yang terpasang di dinding
belakangnya. Kemudian aku berlalu keluar musala.
Di luar ruangan, tepatnya di samping
gazebo musala, kulihat Diki sudah bersiap untuk pergi. Diki telah memakai
sepasang sepatunya. Di sampingnya ada Yogi yang belum selesai memakai sepatunya. Sepertinya keduanya
baru saja bercakap-cakap, hingga Diki melihat aku mendekati mereka, “Eh Meen..”
Karena letak sepatuku berada di sisi
lain gazebo aku menggunakan telunjuk tangan kananku untuk menunjuk sisi kiri
dan memberitahunya, “Sebentar Dik, aku pakai sepatu dulu ya?”
“Oke Somen, barusan aku ketemu Pak Karta di sini, dan beliau tampaknya sudah
menunggu kita.”
Aku mengangguk dan segera mengambil
sepasang sepatuku yang berada di depan seorang anak. Aku mencari ruang kosong
untuk duduk dan memakai sepatuku.
Setelah selesai memakainya, aku
berjalan menemui Diki yang sudah berdiri di depan musala. Tanpa berkata apapun,
Diki dan aku berjalan menjauhi musala. Jalan yang dilalui untuk sampai di ruang
guru adalah sebuah lorong yang terhampar di depan ruang kelas 3 IPA. Jika
berjalan menjauhi musala, ruang kelas 3 IPA berada di sisi kiri dan lapangan
utama SMA berada di sisi kanan. Tak lama berjalan, kami sudah sampai di depan
ruang guru.
“Dik, aku gak pernah ke ruang guru
sebelumnya. Jadi ----”
“Santai Men, kan aku sering,”
potongnya. Tentu saja Diki sering masuk ke ruangan ini. Dia kan ketua kelas.
Sering menemui guru, mengingatkan untuk mengajar atau mengumpulkan tugas
teman-teman. “Nanti, kalo masuk langsung ngucap salam, Men, lama-lama nanti
kamu terbiasa.”
“Oke oke,” aku mengangguk dan tak
lama kemudian Diki mengetuk pintu dan membukanya. Kami pun melangkah masuk.
“Assalammualaikum..” kami
mengucapkannya secara bersamaan. Beberapa guru yang berada di dalam ruangan
menjawab salam kami.
Tak sulit untuk menemukan Pak Karta. Kulihat Pak Karta duduk di sebelah kanan ruangan. Di
belakang meja panjang yang di atasnya terdapat banyak tumpukan buku. Pak Karta duduk bersedekap sambil menunduk,
kebiasaan beliau. Posisi seperti itu sering beliau tampilkan di depan siswanya.
Seperti ketika menilai berbahasa inggris kami beberapa jam yang lalu. Memang
sepertinya beliau menunjukkan ekspresi mengantuk atau tidur, namun beliau
begitu awas dan memperhatikan sekitar.
Kami pun berjalan menghampirinya.
“Assalammuaikum, permisi Pak Karta.” Diki menyapa terlebih dahulu. Walaupun sepertinya
menganggu orang yang sedang tidur, tapi Diki pasti sudah hafal kebiasaan Pak Karta yang ini. Setelah itu, Pak Karta langsung mengangkat kepala dan
melihat kami berdua.
“Oh iya, ambil kursi, silakan
duduk.”
“Baik Pak,” jawab Diki sambil meraih
kursi di depannya. Aku mengambil kursi yang berada di sisi kiri dan menduduki
kursi tersebut. “Apa yang ingin Bapak bicarakan dengan kami, Pak?” lanjut Diki,
memulai pembicaraan. Kali ini aku berniat untuk berdiam diri dan mendengarkan
dengan seksama, hanya berbicara jika diberi pertanyaan.
Pak Karta meminta tolong kepada kami untuk
mendata teman-teman yang sekiranya dapat mengikuti lomba pidato bahasa inggris.
Aku teringat dengan file-file dalam amplop cokelat tadi pagi. Memang sepertinya
tak mungkin jika hanya aku dan Diki yang diberi perintah untuk mengikuti lomba
tersebut. Yaah syukurlah, gumamku.
“Pokoknya, nanti setelah data siswa
yang berminat buat ikut lomba tersebut sudah ada segera kasih ke Bapak.”
“Baik, Pak,” jawab Diki mengiyakan.
Seketika mengucapkan terima kasih,
meminta ijin untuk keluar, bersalaman dan merapikan kursi. Aku dan Diki keluar
ruangan. Kami langsung berunding apa yang harus dikerjakan selanjutnya.
“Bagaimana ini Men?” tanya Diki
sekenanya, selepas berada di luar ruang guru. Kami berjalan menuju kelas kami,
melewati sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan. Pohon-pohon seperti
pohon mangga, pohon jambu dan beberapa yang tak aku ketahui namanya memberikan
kami sedikit kesejukan ketika berjalan di bawahnya.
“Yang terpenting, kita harus bawa
bolpen dan buku, hehe, lalu mungkin, ke kelas-kelas? Mulai dari kelas X-1
sampai X-7” usulku. Kulihat Diki tersenyum dan dilanjutkan dengan mengangguk
pelan.
Aku menunggu Diki di depan kelas.
Kulihat dia segera menuju ke mejanya dan menarik selembar kertas dan bolpen.
Setelah itu kutoleh teman-teman yang lainnya, mereka tampak sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Ada yang mengerjakan PR yang diberikan oleh Bu Emi,
guru matematika kami, ada yang bermain handphone dan lain sebagainya.
Setelah puas memandangi mereka,
kulihat Diki sudah berjalan keluar kelas dan menghampiriku. “Ayo,” katanya
sambil memberi isyarat menggunakan tangan kanannya. Kami segera menuju kelas
X-1, kelas Assaghaf yang berada di lantai 2, sehingga kami harus menuju tangga
yang berada di samping kelas kami, dan menaikinya.
Kelas X-1 berada di paling pojok
lantai 2. Di sana tidak aku jumpai Assaghaf, mungkin ia sedang berada di kantin
atau di sekretariat masjid, markas SKI 14. Maklum dia adalah Ketua 2, sehingga sedikit lebih sibuk
daripada aku atau Arrasyid atau Ahmad. Setelah menanyai teman-teman di sana,
kami mendapatkan beberapa nama yang berminat untuk mengikuti lomba pidato
bahasa inggris. Kami melanjutkan ke kelas X-2 yang berada di sebelah kelas X-1.
Kami telah mendapatkan nama-nama
yang sekiranya berminat dari kelas X-1 dan X-2, sekarang kami melangkahkan kaki
menuju kelas X-3. Berbeda dengan kelas sebelumnya, kelas X-3 dan X-4 berada di
sisi lain lantai 2 gedung ini. Kami melewati tangga yang tadi kami gunakan
untuk naik ke sini. Ku langkahkan kaki sedikit lebih cepat, karena waktu
istirahat tinggal sedikit. Tentunya kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang
tersisa, apalagi kami belum menikmati waktu istirahat tersebut. Kuberikan kode
kepada Diki untuk juga mempercepat langkahnya.
Di depan kelas X-3, aku sedikit
terengah, kusuruh Diki yang menanyai ke teman-teman yang ada di sana perihal
lomba bahasa inggris. Ketika aku sudah cukup melepas lelah, yang tak seberapa
itu, aku juga masuk ke kelas X-3. Kulihat Diki berbicara dengan beberapa anak
dari kelas X-3, salah satunya adalah gadis yang hampir kutabrak di tempat
wudu, pemilik mukena biru tua. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sebuah
perasaan aneh yang sedari tadi tak aku rasakan. Gadis itu tak berjilbab,
belum, rambutnya dikuncir kuda, mungkin panjangnya sebahu jika diurai. Dia
melihatku dengan sedikit judes, mungkin karena memang kami belum saling
mengenal. Tapi yang pasti, kali ini aku benar-benar jatuh cinta.
Komentar
Posting Komentar