Langsung ke konten utama

Mukena Biru Tua : Pandangan Pertama


Pak Karta adalah guru bahasa inggris kelasku. Beliau adalah guru yang termasuk senior di SMA ku. Ada beberapa keriput di wajahnya dan warna rambut putih alias uban yang hampir memenuhi kepalanya. Dengan pengalaman yang sudah lebih dari 30 tahun itu, Pak Karta yang sekaligus dosen dari beberapa perguruan tinggi sering memberi tugas yang aneh dan tidak seperti guru yang lainnya. Kreatifitas dalam mengajar, begitulah yang aku pikirkan. Kali ini, Pak Karta memanggil satu persatu anak untuk maju menghadap beliau di meja guru. Pak Karta ingin menilai cara berbicara bahasa inggris kami. Sehingga kami bisa melakukan apapun jika tidak sedang maju ke depan.

“Semuanya kalo bisa yang rajin kayak Ariyandi ya,” ujar Pak Karta di sela-sela menilai Sugi, temanku yang saat ini duduk di depan Pak Karta untuk unjuk gigi. Aku hanya bisa tersenyum malu ketika namaku disebut oleh Pak Karta.

“Baik Pak!” jawab teman-temanku dengan kompak ditambahi dengan sedikit anggukan. Setelah mendapat balasan dari teman-teman, Pak Karta melanjutkan dengan pria hitam di depannya, yang tidak lain adalah Sugi.
 
“Iya nih, yang udah lanjut ke level selanjutnya,” bisik Yogi, teman sebangku-ku. Seperti biasa, senyuman yang sedikit mengejek itu disematkan di antara pipinya yang tembam.
 
Kubalas bisikan Yogi dengan senyum simpul. Lalu kulanjutkan dengan sedikit memberi kata-kata bijak, “Alhamdulillah, kalo kamu mau rajin, insya Allah bisa lebih dari aku, Yog.”
 
“Yaaa...” ucapnya sambil menyikut tanganku. Walaupun lengannya besar, tapi kali ini tidak terasa sakit seperti ketika ia memukulku. Kubalas serangannya dengan gelitikan di samping badan Yogi, dan menunjukkan muka penuh kegelian. “Sudah sudah, Sok.”
 
Sepertinya perkelahian kecil kami mengundang perhatian Jodi, temanku yang duduk di belakang kami. “Weee..Soki sama Yogi tambah mesra, cuit cuit.. Hahaha,” sindir Jodi. Aku dan Yogi langsung menoleh ke belakang, ke arah pria bertubuh kecil itu. “Cong, lihat nih pasangan warkop kita!” tambahnya, sembari menepuk pundak Hariyadi, teman sebangku Jodi. Seketika itu, Hariyadi yang sedari tadi menatap ke arah kanan, menoleh ke arah kami.
 
“Ihiir..” katanya singkat. Hariyadi termasuk teman yang paling lucu. Kacamatanya yang berbentuk kotak kadang kala menurutku tidak sesuai dengan bentuk kepalanya yang bulat seperti bola dan kumis yang tipis di atas bibirnya. Namun yang sering menjadi bahan ejekan di kelas adalah sebuah tanda lahir berupa tompel di tangan kirinya.

Setelah puas dengan gurauan bersama Yogi, Jodi dan Hariyadi, aku meneruskan untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh Pak Karta. Hari ini aku tidak akan maju untuk berbicara bahasa inggris seperti teman-teman yang lain, karena aku sudah melakukannya pada pertemuan sebelumnya. Level selanjutnya, ini yang dimaksud oleh Yogi.

Semua ini berawal dari beberapa pertemuan yang lalu. Aku mendapat nilai yang bagus pada soal dikte yang diberikan oleh Pak Karta. Bukan hanya aku yang lolos, melainkan ada Diki, sang ketua kelas, Wida dan Silvi yang juga lolos ke soal berikutnya. Soal berikutnya adalah soal listening. Minggu kemarin, kami harus menuju ke perpustakaan sekolah untuk mengerjakannya. Tentu saja ini kami lakukan karena teman-teman yang lain masih harus menyelesaikan soal sebelumnya. Kami takut jika nantinya akan mengganggu mereka.

Pada soal listening, hanya aku, Wida dan Diki yang lolos. Silvi harus mengulanginya karena nilainya masih di bawah standar. Lalu, kami yang lolos dari soal listening harus mengikuti penilaian cara berbicara bahasa inggris seperti yang dilakukan oleh teman-temanku sekarang. Alhamdulillah aku dan Diki lolos soal ketiga tersebut dan sampailah pada selembar kertas di depanku ini, sebuah soal reading yang harus segera aku selesaikan.

Tak terasa, bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku menatap senang ke arah Pak Karta karena aku telah menyelesaikan soal reading yang telah diberikan oleh beliau. Lalu aku menoleh ke arah Diki, air mukanya juga menunjukkan sebuah kebahagiaan. Sepertinya ia juga selesai mengerjakan. Bagus. Masih ada saingan yang bisa membuatku terus berusaha, walaupun sebenarnya aku tak menyukai sebuah kompetisi dan memilih untuk melakukan hal-hal yang  mudah.

Seperti sudah dikomando oleh Pak Karta, aku dan Diki beranjak dari kursi dan menuju meja Pak Karta secara bersama-sama.

“Ini Pak, sudah selesai,” kataku sambil menyerahkan lembar soal dan jawaban yang telah kukerjakan. Begitu pula dengan Diki, melakukan hal yang sama sepertiku. Pak Karta menyambut lembaran-lembaran tersebut tanpa berkata apapun. Setelah beberapa menit merapikan barang-barang beliau dan menarik-narik taplak meja supaya seperti kondisi semula, Pak Karta mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat dari dalam tasnya.

“Ariyandi dan Diki, ini tolong dibaca, ada beberapa file di dalam amplop ini. Bapak harapkan kalian bisa mempersiapkannya,” ujar Pak Karta sambil memberikan amplop coklat ke Diki, “dan tolong nanti sewaktu istirahat siang temui Bapak di ruang guru.”

Aku mengangguk, sedangkan Diki berkata, “Baik Pak.” Aku melirik ke arah amplop coklat itu sambil menerka apa isinya. Mungkinkah soal-soal lagi, atau setumpuk uang sebagai hadiah untuk kami. Entahlah, pikirku.

Selepas itu, Pak Karta keluar ruangan, menuju ruang guru dan berlalu di antara pohon-pohon yang tertanam di pinggir lapangan yang ada di depan ruang kelas kami.

“Apa isinya ini, Men?” tanya Diki ke arahku, sambil memutar-mutar amplop tersebut. Hingga berhenti setelah melihat kertas putih yang tertempel di pojok kiri amplop. “Yang terhormat, Kepala Sekolah SMAN 14 Surabaya,----” Diki membaca tulisan tersebut dan langsung berkata dengan suara yang lebih keras, “Ini undangan untuk lomba pidato bahasa inggris, Somen!”

Kata-kata Diki tidak terlalu mengejutkanku apalagi sampai membuatku antusias dengan undangan lomba tersebut. Aku tidak begitu menyukai kompetisi, sepertinya minatku untuk mengikuti ajang-ajang seperti itu telah pudar sewaktu SMP kemarin, berbeda dengan ketika di Sekolah Dasar. “Jadi?” tanyaku ke Diki, seolah belum menyadari maksudnya.

Ketika pikiranku melambung ke jaman-jaman SMP dan SD dulu, Diki telah membuka amplop dan mengeluarkan kertas-kertas dari dalam amplop itu. Mukanya seperti biasanya, tampak senang dan bersemangat, ketika mendapati hal yang menarik baginya. Kertas-kertas itu dibacanya dengan seksama, hingga seakan-akan melupakan aku yang berada di sampingnya.

“Hei Dik, sampai kapan kita akan berdiri di depan meja guru seperti ini terus?” tanyaku, “Ayo duduk.”

“Oh iya Men, haha, ayo kita duduk sambil membaca ini semua.” Setelah itu kami menuju bangku terdekat untuk duduk dan membaca kertas-kertas tersebut, menghabiskan waktu sebelum Bu Jum, guru Biologi masuk ke dalam kelas.

Kami lanjutkan untuk membaca kertas-kertas tersebut. Kami membaca poster yang berisi jadwal seleksi, kertas-kertas yang berisi persyaratan lomba, formulir pendaftaran, teknis-teknis perlombaan dan banyak berisi konten pendukung lainnya. Sampai sini pun aku masih belum terlalu tertarik untuk mengikutinya, berbeda dengan Diki yang dari tadi terlihat sangat bersemangat. Hingga kami tak sadar kalau Bu Jum sudah berada di depan pintu.

Aku langsung berdiri dari kursi yang aku duduki, “Dik, udah ya, nanti kita langsung menghadap Pak Karta aja, tanya-tanya, oke?” Aku tak menunggu jawaban dari Diki dan langsung berjalan menuju mejaku, kurasakan Diki mengangguk dan saat kulirik, kertas-kertas tadi sudah tidak ada di atas mejanya.

Sesampainya Bu Jum di depan meja guru, aku sudah duduk di tempatku semula.

###

“Baiklah anak-anak, selamat beristirahat, jangan lupa mengerjakan tugas yang tadi Ibu berikan.” ujar Bu Jum mengakhiri pelajaran Biologi hari ini. Berarti sekarang waktunya istirahat. Kuingat pesan Pak Karta tadi pagi dan aku menoleh ke arah Diki. Aku yakin ia masih ingat pesan tersebut dan berkeinginan untuk menemui Pak Karta, namun aku ingin mengerjakan salat duhur terlebih dahulu.

“Dik, aku salat dulu ya?” kataku kepada Diki, sepertinya ia kaget dengan teriakanku, ketika dia menoleh ke arahku, aku mengusulkan, “Eh, kenapa kita nggak bareng aja ya salatnya? Terus menemui Pak Karta bareng-bareng.”

“Oke, Meen.” Jawab Diki, ditambahi acungan jempol ke arahku menunjukkan kalau dia setuju.

“Ayo, Yog, Jod, Cong.” Ajakku ke teman-teman yang lain di sekelilingku.

“Meen..”

Sontak saja kulihat ke luar kelas setelah kudengar seseorang memanggilku. Oh, ternyata itu Assaghaf, temanku dari kelas X-1 yang aku kenal di SKI 14, sebuah organisasi islam di SMAku.

“Ada apa Seed?” tanyaku ke arah temanku yang memiliki nama lengkap Rasyid Assaghaf tersebut.

“Ayo salat.” Ajaknya.
 
Aku mengangguk, “Iya, emang ini mau ke musala.”

“Fikri sama Rishal mana?”

“Hmm..” kutanggapi pertanyaan Assaghaf dengan memutar kepala ke kanan-kiri untuk mencari Arrasyid dan Ahmad. Aku berhenti pada seseorang di sebelah Diki, muka lonjong dengan kacamata kotak di bawah jambul, “Muhammad Nur Fikri Arrasyid Sukino.” Aku memanggil nama lengkapnya dan memberi penekanan pada nama terakhir. Dia menolehku dengan muka sedikit marah. Namun bagiku ia masih tampak lucu jika menunjukkan ekspresi seperti itu. Sukino, adalah nama ayahnya. “Dipanggil Rosed, diajak ke musala.” Kulihat Arrasyid mengangguk dan langsung berdiri. Kulanjutkan pencarianku, dan kudapati pria berponi itu sudah bercakap-cakap dengan Assaghaf di luar kelas. “Ohh..Takmir mayak!” ujarku sedikit jengkel yang tanpa alasan itu.

Pria berponi itu adalah Ahmad Rishaldi Yahya. Dia kupanggil dengan nama Takmir karena dia diberi amanah sebagai Wakil Ketua Departemen Ketakmiran SKI 14. Ya! Aku, Ahmad, Arrasyid dan Assaghaf akhir-akhir ini mulai bertambah akrab karena kami baru saja sama-sama mendapatkan amanah di SKI 14. Jika Ahmad menjadi Wakil Ketua Departemen Ketakmiran, aku di bagian Departemen Informasi dan Jurnalistik, sedangkan Arrasyid di bagian Departemen Dakwah. Berbeda dengan kami, Assaghaf menjadi Ketua 2 SKI 14, tingkatnya sedikit di atas kami bertiga.

Setelah aku menghampiri Assaghaf dan yang lainnya, kami bergegas menuju musala yang tidak jauh dari kelas kami. Kami hanya perlu melewati sebuah lapangan berukuran sedang yang berada di belakang ruang kelas 3 IPA, yang berada di depan ruang kelas kami. Kami melewati sebuah celah kecil di antara kelas 3 IPA dan sekretariat musala untuk sampai di depan musala. Berbeda dengan beberapa minggu yang lalu, ketika awal-awal tahun ajaran baru, musala dalam tahap pembangunan. Depan musala ini penuh dengan kayu-kayu tinggi yang terpasang. Kayu-kayu tegak yang berada di depan membuat musala tampak seperti sebuah penjara, sehingga waktu itu kami harus melewati ruang kosong di antara dua kayu yang berdiri untuk bisa masuk ke dalam musala. Dan sekarang, kayu-kayu itu telah dilepas dan meninggalkan sebuah tempat terusan dari beranda musala di depan musala. Berbentuk kotak yang mirip seperti sebuah gazebo yang menjadi bagian dari beranda musala. Tempat itu menjadi tempat favorit para siswa untuk menghabiskan waktu istirahat. Dari tempat itu juga terlihat lapangan utama SMAku, di lapangan itu sering terdapat pertandingan sepak bola pada jam-jam kosong seperti sekarang.

Sesampainya aku di beranda musala, kulepas sepatu dan berdiri, aku berjalan menuju ke arah tempat wudu pria yang berada di samping musala. Untuk mencapainya, terdapat beberapa kotak dari tegel dan semen yang memiliki jarak di antaranya, membentuk sebuah jembatan yang menghubungkan musala dengan tempat wudu. Jembatan kecil itu berfungsi untuk menjaga kaki agar  tetap bersih dan suci.

“Assalammualaikum, Sok” ujar seseorang dengan menepuk-nepuk pundakku. Aku pun menoleh, ternyata yang melakukannya adalah Mas Udin, Ketua Umum SKI 14 yang baru saja dilantik. Seketika itu aku mematikan kran air yang ada di depanku, yang rencananya akan kugunakan untuk berwudu.

Kulihat tangan kanannya mengarah kepadaku, mengajak untuk bersalaman. Langsung kuraih tangannya dan kamipun berjabat tangan. “Waalaikumussalam, Mas Din.” Kukira Mas Udin akan memulai percakapan panjang denganku, ternyata setelah melepas tangannya, dia berlalu dan menuju kran air yang berada di samping kiriku.

Setelah berwudu, aku menuju ruang utama musala. Ketika melewati jembatan kecil tadi, aku hampir saja menabrak seorang gadis yang berjalan memotong jalanku, untungnya aku segera menyadari keberadaannya. Jembatan kecil tadi berada di tengah jalan menuju daerah dan tempat wudu wanita. Selepas gadis itu berlalu, aku kembali berjalan dengan langkah panjang menyeberangi jembatan kecil.

Sesampainya di dalam ruangan utama, aku melihat banyak siswa yang sudah bersiap melaksanakan salat duhur. Kupindai samping kanan dan kiri ruangan dan aku melihat Pak Karta di sisi kanan, sedang bersandar ke dinding dengan tumpuan badan sebelah kanan beliau. Alhamdulillah, tadi memutuskan untuk salat dulu, kalo ndak, mungkin aku gak nemui Pak Karta di ruang guru, pikirku. Di depan Pak Karta ada Pak Rudi yang biasa disapa Rudi Sensei oleh para siswa. Rudi Sensei adalah satu-satunya guru yang mengajar Bahasa Jepang di SMAku. Tentu saja imej Sensei sangat melekat pada beliau. Rudi sensei duduk bersila sambil menundukkan kepala.

Tidak lama setelah aku menunggu. Kulihat Pak Ajid, guru Agama Islam sekaligus Pembina SKI 14 menyuruh salah seorang anak untuk melakukan ikamah. Dan salat duhur pun dimulai dengan khidmat.

###

Seusai salat duhur berjemaah, dengan posisi duduk bersila dan menyamping bertumpu pada tangan kananku, aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan, aku mencari Diki. Setelah lama mencari, aku tidak menemukannya di dalam ruang utama musala. Mungkin ia sudah berada di serambi musala. Aku pun beranjak dari posisi duduk, dan berjalan keluar musala. Karena pintu musala yang dapat digunakan untuk jalan keluar-masuk ruang utama hanya ada satu, dan itu terletak di tengah-tengah musala, aku harus melihat bagian salat wanita yang berada di belakang. Bagian wanita dan pria hanya dibatasi oleh 3 pembatas panjang setinggi paha orang dewasa, yang terbuat dari kumpulan kayu lonjong yang berbentuk seperti tangga horizontal.

Saat aku hendak keluar melewati pintu tersebut, aku melihat gadis yang hampir kutabrak tadi berdiri selepas salat dan merapikan mukenahnya yang berwarna biru tua. Aku terdiam beberapa detik menatapnya, lalu berpura-pura untuk melihat jam yang terpasang di dinding belakangnya. Kemudian aku berlalu keluar musala.

Di luar ruangan, tepatnya di samping gazebo musala, kulihat Diki sudah bersiap untuk pergi. Diki telah memakai sepasang sepatunya. Di sampingnya ada Yogi yang belum selesai memakai sepatunya. Sepertinya keduanya baru saja bercakap-cakap, hingga Diki melihat aku mendekati mereka, “Eh Meen..”

Karena letak sepatuku berada di sisi lain gazebo aku menggunakan telunjuk tangan kananku untuk menunjuk sisi kiri dan memberitahunya, “Sebentar Dik, aku pakai sepatu dulu ya?”

“Oke Somen, barusan aku ketemu Pak Karta di sini, dan beliau tampaknya sudah menunggu kita.”

Aku mengangguk dan segera mengambil sepasang sepatuku yang berada di depan seorang anak. Aku mencari ruang kosong untuk duduk dan memakai sepatuku.

Setelah selesai memakainya, aku berjalan menemui Diki yang sudah berdiri di depan musala. Tanpa berkata apapun, Diki dan aku berjalan menjauhi musala. Jalan yang dilalui untuk sampai di ruang guru adalah sebuah lorong yang terhampar di depan ruang kelas 3 IPA. Jika berjalan menjauhi musala, ruang kelas 3 IPA berada di sisi kiri dan lapangan utama SMA berada di sisi kanan. Tak lama berjalan, kami sudah sampai di depan ruang guru.

“Dik, aku gak pernah ke ruang guru sebelumnya. Jadi ----”

“Santai Men, kan aku sering,” potongnya. Tentu saja Diki sering masuk ke ruangan ini. Dia kan ketua kelas. Sering menemui guru, mengingatkan untuk mengajar atau mengumpulkan tugas teman-teman. “Nanti, kalo masuk langsung ngucap salam, Men, lama-lama nanti kamu terbiasa.”

“Oke oke,” aku mengangguk dan tak lama kemudian Diki mengetuk pintu dan membukanya. Kami pun melangkah masuk.

“Assalammualaikum..” kami mengucapkannya secara bersamaan. Beberapa guru yang berada di dalam ruangan menjawab salam kami.

Tak sulit untuk menemukan Pak Karta. Kulihat Pak Karta duduk di sebelah kanan ruangan. Di belakang meja panjang yang di atasnya terdapat banyak tumpukan buku. Pak Karta duduk bersedekap sambil menunduk, kebiasaan beliau. Posisi seperti itu sering beliau tampilkan di depan siswanya. Seperti ketika menilai berbahasa inggris kami beberapa jam yang lalu. Memang sepertinya beliau menunjukkan ekspresi mengantuk atau tidur, namun beliau begitu awas dan memperhatikan sekitar.

Kami pun berjalan menghampirinya. “Assalammuaikum, permisi Pak Karta.” Diki menyapa terlebih dahulu. Walaupun sepertinya menganggu orang yang sedang tidur, tapi Diki pasti sudah hafal kebiasaan Pak Karta yang ini. Setelah itu, Pak Karta langsung mengangkat kepala dan melihat kami berdua.

“Oh iya, ambil kursi, silakan duduk.”

“Baik Pak,” jawab Diki sambil meraih kursi di depannya. Aku mengambil kursi yang berada di sisi kiri dan menduduki kursi tersebut. “Apa yang ingin Bapak bicarakan dengan kami, Pak?” lanjut Diki, memulai pembicaraan. Kali ini aku berniat untuk berdiam diri dan mendengarkan dengan seksama, hanya berbicara jika diberi pertanyaan.

Pak Karta meminta tolong kepada kami untuk mendata teman-teman yang sekiranya dapat mengikuti lomba pidato bahasa inggris. Aku teringat dengan file-file dalam amplop cokelat tadi pagi. Memang sepertinya tak mungkin jika hanya aku dan Diki yang diberi perintah untuk mengikuti lomba tersebut. Yaah syukurlah, gumamku.

“Pokoknya, nanti setelah data siswa yang berminat buat ikut lomba tersebut sudah ada segera kasih ke Bapak.”

“Baik, Pak,” jawab Diki mengiyakan.

Seketika mengucapkan terima kasih, meminta ijin untuk keluar, bersalaman dan merapikan kursi. Aku dan Diki keluar ruangan. Kami langsung berunding apa yang harus dikerjakan selanjutnya.

“Bagaimana ini Men?” tanya Diki sekenanya, selepas berada di luar ruang guru. Kami berjalan menuju kelas kami, melewati sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan. Pohon-pohon seperti pohon mangga, pohon jambu dan beberapa yang tak aku ketahui namanya memberikan kami sedikit kesejukan ketika berjalan di bawahnya.

“Yang terpenting, kita harus bawa bolpen dan buku, hehe, lalu mungkin, ke kelas-kelas? Mulai dari kelas X-1 sampai X-7” usulku. Kulihat Diki tersenyum dan dilanjutkan dengan mengangguk pelan.

Aku menunggu Diki di depan kelas. Kulihat dia segera menuju ke mejanya dan menarik selembar kertas dan bolpen. Setelah itu kutoleh teman-teman yang lainnya, mereka tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengerjakan PR yang diberikan oleh Bu Emi, guru matematika kami, ada yang bermain handphone dan lain sebagainya.

Setelah puas memandangi mereka, kulihat Diki sudah berjalan keluar kelas dan menghampiriku. “Ayo,” katanya sambil memberi isyarat menggunakan tangan kanannya. Kami segera menuju kelas X-1, kelas Assaghaf yang berada di lantai 2, sehingga kami harus menuju tangga yang berada di samping kelas kami, dan menaikinya.

Kelas X-1 berada di paling pojok lantai 2. Di sana tidak aku jumpai Assaghaf, mungkin ia sedang berada di kantin atau di sekretariat masjid, markas SKI 14. Maklum dia adalah Ketua 2, sehingga sedikit lebih sibuk daripada aku atau Arrasyid atau Ahmad. Setelah menanyai teman-teman di sana, kami mendapatkan beberapa nama yang berminat untuk mengikuti lomba pidato bahasa inggris. Kami melanjutkan ke kelas X-2 yang berada di sebelah kelas X-1.

Kami telah mendapatkan nama-nama yang sekiranya berminat dari kelas X-1 dan X-2, sekarang kami melangkahkan kaki menuju kelas X-3. Berbeda dengan kelas sebelumnya, kelas X-3 dan X-4 berada di sisi lain lantai 2 gedung ini. Kami melewati tangga yang tadi kami gunakan untuk naik ke sini. Ku langkahkan kaki sedikit lebih cepat, karena waktu istirahat tinggal sedikit. Tentunya kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa, apalagi kami belum menikmati waktu istirahat tersebut. Kuberikan kode kepada Diki untuk juga mempercepat langkahnya.

Di depan kelas X-3, aku sedikit terengah, kusuruh Diki yang menanyai ke teman-teman yang ada di sana perihal lomba bahasa inggris. Ketika aku sudah cukup melepas lelah, yang tak seberapa itu, aku juga masuk ke kelas X-3. Kulihat Diki berbicara dengan beberapa anak dari kelas X-3, salah satunya adalah gadis yang hampir kutabrak di tempat wudu, pemilik mukena biru tua. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sebuah perasaan aneh yang sedari tadi tak aku rasakan. Gadis itu tak berjilbab, belum, rambutnya dikuncir kuda, mungkin panjangnya sebahu jika diurai. Dia melihatku dengan sedikit judes, mungkin karena memang kami belum saling mengenal. Tapi yang pasti, kali ini aku benar-benar jatuh cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Dua Ekor Burung Merpati

Alkisah, di sebuah hutan terdapat 2 ekor burung merpati yang bersahabat. Burung merpati putih dan burung merpati berwarna cokelat. Mereka berdua adalah sahabat sejati. Keduanya saling menolong dan membantu jika ada salah satu di antara mereka yang membutuhkan. Tidak hanya kepada sahabatnya, mereka terkenal baik hati kepada seluruh penghuni hutan. Baik merpati putih maupun merpati cokelat adalah burung yang ramah dan jujur. Hanya saja merpati putih yang lebih cerdas daripada merpati cokelat. Merpati putih suka mencari tahu tentang segala hal.  Merpati putih selalu bersama merpati cokelat kemana pun mereka pergi, mulai dari mencari makan, belajar dan mengunjungi teman yang lain. Penghuni hutan yang lain sudah mengetahui persahabatan di antara keduanya, bahkan sang raja hutan, yaitu singa yang memberikan istilah sahabat sejati kepada keduanya. Pada suatu hari yang cerah, saat merpati putih dan merpati cokelat terbang bersama, mereka melihat kerumunan binatang di bawah mereka.

Rahasia di Balik Nama 'Soi'

ii..So'i takok ii.. ii..So'i takok ii... ii..So'i takok ii.. (RE: ii..So'i tanya ii) Tulisan diatas adalah lagu yang sering dinyanyikan Gentong, saat bertanya tentang pelajaran kepadaku.   SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidupku. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populerku, yaitu soi, mereka bertanya, apa hubungannya Safrizal Ariyandi dengan Soi. Namun, nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Melalui artikel ini, aku akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda tersebut.

Ekspresi Galau dalam Bahasa Jepang

suatu ketika, saya ngetweet di @bhsjepang, sekalian menambah ekspresi2 dalam bahasa jepang, lalu ada follower yang mention, "tema hari ini galau ya?" hehehe, jadi saya membuat rangkuman tweet saya yang dikira galau tersebut, 1. aishitemo ii desu ka | bolehkah aku mencintaimu? 2.  anata no egao ga daisuki desu yo | aku sangat suka senyumanmu lo 3. konban, boku no yume ni anata o aitai desu | malam ini, aku ingin bertemu dg mu di dalam mimpiku