Langsung ke konten utama

Kolaborasi : Kejutan untuk Syamsir


Cerpen kolaborasi bersama Wulan Zair*

Akhir-akhir ini rupaku berubah, tanpa ekspresi. Ada rasa bahagia tersirat dari balik diam. Perasaan sedih tak ingin kalah, menggelayut di raut wajah yang datar. Malam berganti pagi, siang menjelma sore, hanya menunggu waktu untuk merayakan kelulusan. Separuh dari temanku akan pulang. Aku sibuk memikirkan cara terbaik bersenang-senang tanpa perlu merasakan getirnya perpisahan. Kuputar isi otak brilianku hingga kusut akar-akarnya. Ah, kenapa semua ini menjadi begitu runyam.

Hingga sore yang terang itu akan menghitam, tak ku dapati sebuah ide. Hanya beberapa coretan di kertas di depanku. Mungkinkah harus menunggu semua teman pulang, pikirku, untuk mendapatkan cara yang tak terlupakan, yang akan terkenang? Entahlah.


Pengeras suara masjid berdesik-desik, tak perlu menunggu lima detik untuk mendengar azan berkumandang. Aku beranjak menuju musala dan memutuskan untuk menyudahi segala kegetiran. Di penghujung salat, telapak tangan ini kubuka menghadap ke langit-langit, masih dengan bersimpuh, kuterbangkan bait-bait doa teruntuk teman-teman yang banyak memberi kenangan.

"Ya Allah, berikanlah segala kemudahan untuk teman-teman hamba. Mudahkanlah jalan bagi yang sedang mencari pekerjaan, lapangkan rezeki yang setelah ini akan menikah, berikanlah semangat untuk yang lanjut jenjang. Terlebih bagi mereka yang belum mendapat kepastian. Bantulah supaya segera memiliki ketetapan hati. Aamiin."

Doa ala kadarnya. Namun, tentu saja berasal dari hati paling suci. Ketika membaca doa dan terbayang wajah ceria teman-teman, tak kurasa air mataku mengalir. Melewati pipi-pipi. Terasa hangat. Hampir lupa dengan keberadaan orang-orang di kanan kiri, jamaah yang lain. Sesegera mungkin kuhapus air mata itu dari pipiku.

Ah, urusan seperti ini menjadikanku lelaki paling melankolis. Beruntung, di hadapan teman-teman aku selalu dapat menutupinya. Pasalnya bukan tanpa sebab sedih ini mengucur jika bersinggungan dengan perpisahan. Bagiku perpisahan erat kaitannya dengan kehilangan. Dan nyatanya trauma itu selalu membekas, bahkan tak pernah bisa terlupa barang sepenggal peristiwa.

Aku berdiri. Bukannya menuju ruang laboratorium yang tadi kutempati, malah menuju ke toilet. Toilet itu berjarak beberapa meter dari ruang lab. Di dalamnya terdapat sebuah cermin persegi panjang lumayan agak besar. Aku dapat melihat wajahku di sana. Wajah yang letih. Wajah yang kesekian kalinya mengalami perpisahan. Dan beberapa detik memandanginya, aku teringat kejadian beberapa minggu yang lalu.

Ahmad. Bagiku ia lebih dari sekadar teman, tak cukup jika hanya menyebutnya sahabat. Di hari keberangkatannya ke Benua Eropa itu, aku tak dapat menemani keberangkatannya. Ayah mengalami kecelakaan dan dikabarkan koma, aku harus bergegas pulang. Kulayangkan permintaan maaf melalui pesan singkat. ‘Semoga ayahmu lekas sadar, setelah ini aku akan segera terbang, sampai jumpa kembali.’ Beberapa jam setelah menerima balasan itu, aku terkejut bukan main melihat breaking news di salah satu siaran televisi.

Pesawat Sarasvati Air, dimana Ahmad naik pesawat itu untuk berangkat menjemput impian, mengalami kecelakaan. Dadaku naik turun, mencoba mengatur nafas dan berusaha tenang. Maskapai penerbangan memiliki banyak pesawat, tentu saja. Semoga pesawat yang hilang bukan pesawat yang ditumpangi Ahmad. Aku berdoa lirih untuk keselamatannya. Keselamatan sahabat terbaikku. Karena harus bergegas kembali ke kamar dimana Ayah dirawat, aku berlalu menjauhi televisi yang berada di lobi rumah sakit. Tak henti-hentinya kupanjatkan doa supaya Ahmad masih diberi keselamatan, walaupun perasaan berkata lain.

Dua hari berlalu semenjak keberangkatan Ahmad, tak ada kabar. Aku bergegas menuju kota tempatku menuntut ilmu, tujuan utama adalah kamar Ahmad. Baru saja kaki kananku menapak lantai, ibu pemilik kos menyapa dengan wajah melas, bercerita ini itu tentang kecelakaan pesawat yang ditumpangi Ahmad. Akalku menolak. Dengan sopan aku meminta diri untuk masuk ke kamar sahabatku ini. Dengan sedikit jinjit dan mengangkat tangan aku dapat meraih kunci kamar Ahmad. Pasti ada sesuatu yang tak terduga. Tak perlu waktu lama untuk mendapat kepastian, di dinding dekat meja belajarnya menggantung sebuah kertas. "LONDON. SA-9166". Setengah terperanjat kubuka aplikasi browser pada ponsel ku, kucari berita terkait yang tengah ramai dibicarakan televisi. Pelan-pelan kucocokkan bukti yang kudapat dengan isi berita. Mataku berhenti tepat pada baris tulisan Sarasvati Air SA-9166.

Badan terasa lemas. Tubuhku melorot di kamar yang luas itu, tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana bisa aku tidak menyadari berita-berita di televisi, bahwa nama Ahmad yang ditampilkan adalah namanya? Mungkin karena begitu tak percayanya terhadap kejadian ini. Pesawat yang hilang, belum ditemukan, tapi sudah pasti mengalami kecelakaan. Dada semakin sesak mengingat-ingat pengalaman bersama Ahmad. Hari-hari belajar bersama, tertawa, bepergian. Dia satu-satunya orang yang mengerti pemikiran dan perasaanku. Dan kini ia telah hilang bersama pesawat yang ditumpanginya. Aku menyesal karena di saat menjaga Ayah di rumah sakit tak sempat mencari kabar mengenai kecelakaan yang mungkin saja telah menewaskan Ahmad. Aku hampir menangis. Sebisa mungkin kupanjatkan doa supaya pria berkacamata itu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. 

Aku memutuskan untuk pulang ke kos. Kunyalakan motor bebek milik Ayah, siang itu aku berkendara dengan tatapan kosong. Sepanjang jalan hatiku tersayat, aku menangis tanpa air mata. Esok hari aku harus mengunjungi kampung halaman Ahmad untuk bersilaturahmi dengan orang tuanya, sekalian kucicil barang-barang yang belum sempat dibawanya pulang ke rumah. Setibanya, kubuka kembali pesan terakhir dari Ahmad. ‘Semoga ayahmu lekas sadar, setelah ini aku akan segera terbang, sampai jumpa kembali.’ Terbang? Kemana sesungguhnya kau akan terbang? Ke langit tertinggi hingga tak ada kesempatan untuk kita bertemu lagi kah?

Mungkin ini bukan perpisahan pertama yang kualami, namun kehilangan sesosok sahabat adalah segalanya. Desa asal Ahmad berada di Kabupaten Nganjuk, daerah terpencil mirip desa-desa tertinggal yang sering ditampilkan acara Reality Show di televisi. Dulu, ia pernah mengajakku ke sini. Melihat daerah yang pernah kulewati bersamanya membuatku semakin sedih. Aku berjalan lunglai menuju rumahnya. Di sana aku disambut keluarga, Bapak, Mak dan Adik Ahmad. Sungguh pengalaman yang sangat tragis dialami oleh pria yang memiliki impian mulia. Ia pernah berjanji kepadaku untuk memajukan daerah asalnya. Dan kini impian itu hanya menjadi kenangan.

Ciuuut. Terdengar suara pintu terbuka. Lamunanku buyar. Cepat-cepat kunyalakan keran dan membasuh wajah. Aku keluar dan berlari di sepanjang koridor kampus. Pikiran tentang Ahmad membuatku mengingat semua yang pernah kumiliki kini telah pergi.

Sepanjang aku berlari, kurasakan orang-orang menatapku. Tampak bingung dengan apa yang mereka lihat. Koridor ini berujung pada sebuah ruangan luas semacam aula. Ruangan itu bernama Hall D4. Di sana tempat para mahasiswa untuk berkumpul, membentuk kelompok-kelompok kecil di sudut-sudut Hall D4. Ada yang mengerjakan tugas, ada yang rapat membahas suatu hal, ada juga yang sekedar bersenda-gurau dengan teman-teman. Kutiba di ruangan besar ini dengan sedikit terengah-engah. Hall D4 masih ramai walaupun hari sudah gelap seperti sekarang. Di salah satu kursi di pinggir Hall D4, kulihat Toni sedang duduk sendirian, menatap laptop dengan sangat serius. Dia adalah pria berbadan gemuk dengan muka bulat dan kacamata kotak (sekilas mirip Ahmad). Toni adalah adik kelas yang selalu mendapat peringkat 1 di kelasnya. Aku berjalan menghampiri Toni, yang masih sibuk dengan apapun yang sedang ia kerjakan.

"Ngerjain tugas, Ton?" tanyaku basa-basi.

"Nggak Mas, lagi nonton."

Aku diam saja, tak selera mengeluarkan kata-kata, tidak melanjutkan percakapan. Bola mataku menyapu seisi hall, lalu menangkap sesosok wanita serba hitam, pakaian dan kerudungnya. Larasati. Melihat penampilannya itu, hati ini dibuat semakin mendung. Meskipun aku tahu bahwa ia adalah wanita yang tak bisa ditebak suasana hatinya hanya dari pakaian yang ia kenakan.

"Aku suka warna hitam, Sir," katanya suatu hari.

Larasati melihatku, ia tersenyum tipis. Aku memaksa untuk tersenyum senatural mungkin.

“Ciee, Mas Syamsir sama Mbak Larasati senyum-senyuman.. Hihi,” Toni tiba-tiba menggoda.

Mukaku sepertinya berubah menjadi merah. Malu. Kuanggukkan kepala ketika Larasati menggunakan tangan kanannya untuk memberikan isyarat bahwa ia akan pergi. Saat Larasati berlalu pergi meninggalkan Hall D4, aku beralih ke arah Toni. Adik kelas cerdas satu ini kadang cukup menjengkelkan.

“Cia-cie, kalo lagi nonton, nonton aja, huh,” aku mendadak sebal. Tapi memang ada sedikit perasaan yang muncul dari dalam hati bila melihat Larasati, yang seharusnya aku menunduk bukan malah menatapnya. Aku tahu bahwa walaupun aku menginginkan wanita salihah itu, cukup sulit untuk memenangkannya. Aku mah apa, gumamku. Kurasa Toni mendengar gumamanku sehingga ia menyindirku dengan mengaitkan dengan kata-kata baper.

“Kalau Mas suka, ya ta’aruf aja, Mas!”

“Hussh, udah!”

"Kabar Mas Ahmad gimana, Mas? Kata berita di TV, pesawatnya benar-benar tak berjejak. Black box-nya aja belum ditemukan. Bener, Mas?" Toni mengubah alur pembicaraan. Kepalanya diputar ke arahku untuk bisa melihat ekspresiku.

Aku menunduk. "Ya, seperti itu adanya," jawabku bergetar.

"Sabar, Mas."

Aku hanya membalasnya dengan senyum yang terpaksa.

"Minggu depan wisuda ya, Mas?"

Sebenarnya aku hanya ingin duduk di sini, tidak ingin berbicara, bahkan untuk menggerakkan bibir saja rasanya kelu. Entah kenapa Toni yang semenjak tadi serius dengan filmnya mendadak bertanya ini itu. Mataku melirik, laptopnya tak lagi berada di pangkuan. "Sudah selesai nontonnya?" Tak langsung menjawab, aku bertanya balik.

"Batreinya habis mas."

"Oh, iya minggu depan insya Allah wisuda..." Tak memberinya kesempatan untuk menanggapi, aku melanjutkan, "Hemm, Ton. Aku pergi dulu ya.."

Aku bangun dari duduk tanpa menunggu persetujuannya. Aku terus berjalan, pergi ke suatu tempat.

Sebenarnya aku ingin menghilangkan kenangan-kenangan bersama Ahmad. Semua yang terkesan baik malah menjadi buruk semenjak kepergiannya. Wisuda kali ini seharusnya menjadi momen berbahagia bagiku, baginya, sahabat yang sejak kuliah bersamaku. Satu-satunya sosok yang dapat mengalihkan perhatianku dari Ahmad adalah Larasati.

Kaki-kakiku berhenti berjalan ketika kembali di depan ruang laboratorium TA. Aku ingat bahwa aku belum mendapatkan cara terbaik untuk merayakan perpisahan bersama teman-teman.  Cara yang akan membuat kami terkesan dan bahagia.

Kubuka pintu laboratorium dan berjalan masuk. Di dalam masih tersisa Firmansyah. Ia sepertinya sedikit terkaget ketika melihat aku datang. “Oi Sir, mau aku SMS. Aku pengin pulang, kamu masih mau di sini atau pulang juga?”

"Pulang, Fir," jawabku sembari memasukkan barang-barang ke dalam tas. Tanpa banyak basa-basi aku berlalu hanya dengan dua patah kata. "Duluan, Bro."

Aku terus melangkah, setiap injakan membuatku semakin galau. Tentang Ahmad, sahabat terbaik yang 'hilang'. Tentang wisuda, yang sebentar lagi akan melenyapkan temanku satu demi satu. Dan Ayah, bagaimana ia akan datang di hari sakral itu jika raganya masih terkulai di rumah sakit. Aku berjalan saja, hingga tiba di gerbang kampus, kubuka kepalan tanganku yang sedari tadi menggenggam kunci motor. Ah, dimana pikiran jernihku bersemayam. Aku berhenti sejenak, berbalik arah, kembali ke tempat parkir.

####

“Ayah Syamsir makin parah ya, Fir?” tanyaku kepada Firmansyah. Ia berdiri di depan laboratorium TA ketika aku lewat menuju musala.

“Gak tau, Ras. 2 hari ini aku belum ketemu Syamsir, dia juga belum keliatan di lab.” jawabnya.

Walaupun sekedar basa-basi, tapi sebenarnya aku juga peduli dengan pria satu itu. Firmansyah sepertinya melihat gelagatku yang sedang berpikir. “Kapan terakhir ketemu sama Syamsir?”

Firmansyah tampak berpikir sejenak lalu menjawab, “Kemarin jumat malem, pas di lab. Dia pamit duluan.”

“Oh, iya aku juga ketemu dia waktu di Hall D4, sama anak yang mirip Ahmad. Tapi gemuk.”

“Mungkin Syamsir pulang kampung, ngeliat kondisi Ayahnya. Kasihan ya dia, mau wisuda tapi kondisi Ayahnya kayak gitu. Gimana kalo ---”

“Hush,” aku mencoba menyela perkataan Firmansyah.

Baru beberapa detik aku berlalu dari hadapan Firmansyah, ponselku berdering. Sebuah pesan baru masuk. Nama yang akhir-akhir ini jarang muncul di kotak pesan, Syamsir.

Pesan panjang lebarnya bercerita tentang kegundahan yang tengah dialaminya sekarang. 'Aku takut merasa kehilangan lagi. Ahmad pergi, ayah masih tak sadarkan diri, sebentar lagi teman-teman yang tak akan kembali.' Begitulah sedikitnya potongan pesan yang ada pada layar ponselku. Sebenarnya aku tak habis pikir bagaimana kepergian sahabatnya itu membuat ia begitu trauma atas kehilangan, perpisahan, semacam itulah.

Aku refleks membalas pesan panjangnya, seperti yang belakangan ini coba aku pahami tentang perpisahan, bahwasanya akan ada pengganti yang lebih baik. Akan ada orang-orang baru yang datang, meskipun tak selamanya bisa mengganti posisi orang sebelumnya.

'Ikhlaskan Ahmad, Sir. Dan untuk teman-temanmu itu, yakinlah di perjalanan hidup selanjutnya, kamu akan temukan pengganti mereka. Bukankah hidup memang seperti itu? Seperti ketika kamu berpisah dengan teman-teman di sekolah dasar, lalu menemukan pengganti di sekolah menengah, bertemu teman baru di tempat kuliah, begitu seterusnya.'

Ah, semoga Syamsir mengerti maksudku.

‘Makasih Larasati. Makasih buat semuanya.’ balasnya beberapa menit kemudian. Tentu saja ia mengerti . Tapi sepertinya ada pesan tersirat di balik kalimat terakhir. Atau itu tidak berarti apa-apa? Semoga saja.

Ketika selesai salat zuhur, aku berlalu meninggalkan musala. Kalimat terakhir itu kembali hadir di dalam pikiran. Makasih buat semuanya. Mungkin saja yang dimaksud Syamsir adalah apa yang telah aku berikan kepadanya selama ini, tentang nasihat dan saran. Sepertinya baru kemarin aku mengenal dia, dan akhir pekan ini dia akan wisuda. Aku menimbang-nimbang untuk hadir di acara wisudanya. Mungkin akan datang, karena yang wisuda bukan Syamsir seorang.

“Aku inget kemarin Syamsir pengin bikin kejutan buat perpisahan kelas kami.” Aku juga teringat kata-kata Firmansyah waktu percakapan tadi.

Sepertinya ia adalah orang yang mudah meninggalkan hatinya, membiarkan sepotong hatinya pergi bersama Ahmad, bagian lain tertinggal dalam kelas yang banyak memberikan kenangan. Semudah itukah potongan-potongan hatinya berserakan?

Setelah wisuda mungkin dia juga akan pulang ke kampungnya. Kuputuskan untuk datang ke graha akhir pekan ini dan memberikan sesuatu untuknya. Mungkin saja setelah ia pulang, kami tidak bisa bertemu lagi.

‘Laras, tdi Syamsir ndk ikut gladi bersih wisuda. Sblum masuk ruangan ia ditelpon, lalu pamit mau pulang kampung lagi.’ Pesan dari Firmansyah kubaca dengan perasaan gundah. Apakah Syamsir harus buru-buru pulang karena Ayahnya bertambah parah? Setegar apapun ia, tentu saja kini Syamsir butuh teman untuk menguatkan hatinya. Sekuat apapun pria itu, aku harus segera menghiburnya.

Kukirimkan sebuah pesan kepadanya. 3 jam berlalu tak ada jawaban. Mungkin Syamsir sangat sibuk sehingga tak sempat membalas, atau masih di perjalanan. Semoga ia sampai tujuan dengan selamat.

Besok adalah hari wisuda Syamsir. Aku menyiapkan sebuah hadiah seadanya. Sebuah buku. Ia pasti suka dan sedikit menghilangkan kesedihannya selama ini. Perasaan sedih itu juga melanda diriku. Aku tahu perasaannya. Ya, aku tahu. Aku semakin bersemangat untuk membungkus hadiah kecil ini.
Kulihat ponselku sekali lagi. Tidak ada pesan satupun.

Hari H tiba. Aku melihat cermin untuk kesekian kali, memastikan pakaianku tetap sederhana dan rapi. Dan entah kenapa perasaan tak keruan menyelimuti hati. Ada apa dengan Syamsir yang tak membalas pesan singkatku. Aku berusaha untuk tetap tenang.

Kulirik jam dinding yang jarumnya menunjukkan pukul tujuh. Kata Firmansyah, para wisudawan harus sudah berbaris jam segini. Aku tak ingin kehilangan momen untuk melihat Syamsir sebelum memasuki graha, lebih tepatnya aku ingin memastikan ia baik-baik saja.

Aku memilih untuk memarkir motor di kampus dan jalan kaki menuju graha. Terus melangkah mendekati para wisudawan yang tengah berbaris. Hei, tapi lihatlah, ada apa dengan barisan itu, mereka seperti tak sedang berbaris, semua orang berkerumun, entah apa yang ada di tengah-tengah mereka. Tiba-tiba Firmansyah keluar dari kerumunan itu dengan wajah yang panik. Aku berlari mendekatinya dan bertanya. Ia menghela nafas.

"Ayah Syamsir berada di kerumunan itu sedang menangis menanyakan anaknya." Raut wajahnya terlihat sedang khawatir.

"Syamsir tak ada di sini?" tanyaku memastikan.

Firmansyah menggeleng. Aku terperanjat setengah mati. Buyar harapanku untuk melihat Syamsir pagi ini.

####

Beberapa jam setelah prosesi wisuda berakhir, Syamsir dikabarkan mengalami kecelakaan ketika menuju Surabaya. Ia telah menyusul kepergian sahabatnya, Ahmad. Larasati yang masih belum sepenuhnya percaya akhirnya harus ikhlas dengan kematian Syamsir.

“Aku tak mengharapkan kejutan yang seperti ini, Sir,” gumam Larasati.


*Wulan Zair memiliki nama asli Retno Wulandari. Penulis asal Bontang, Kalimantan Timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Dua Ekor Burung Merpati

Alkisah, di sebuah hutan terdapat 2 ekor burung merpati yang bersahabat. Burung merpati putih dan burung merpati berwarna cokelat. Mereka berdua adalah sahabat sejati. Keduanya saling menolong dan membantu jika ada salah satu di antara mereka yang membutuhkan. Tidak hanya kepada sahabatnya, mereka terkenal baik hati kepada seluruh penghuni hutan. Baik merpati putih maupun merpati cokelat adalah burung yang ramah dan jujur. Hanya saja merpati putih yang lebih cerdas daripada merpati cokelat. Merpati putih suka mencari tahu tentang segala hal.  Merpati putih selalu bersama merpati cokelat kemana pun mereka pergi, mulai dari mencari makan, belajar dan mengunjungi teman yang lain. Penghuni hutan yang lain sudah mengetahui persahabatan di antara keduanya, bahkan sang raja hutan, yaitu singa yang memberikan istilah sahabat sejati kepada keduanya. Pada suatu hari yang cerah, saat merpati putih dan merpati cokelat terbang bersama, mereka melihat kerumunan binatang di bawah mereka.

Rahasia di Balik Nama 'Soi'

ii..So'i takok ii.. ii..So'i takok ii... ii..So'i takok ii.. (RE: ii..So'i tanya ii) Tulisan diatas adalah lagu yang sering dinyanyikan Gentong, saat bertanya tentang pelajaran kepadaku.   SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidupku. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populerku, yaitu soi, mereka bertanya, apa hubungannya Safrizal Ariyandi dengan Soi. Namun, nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Melalui artikel ini, aku akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda tersebut.

Ekspresi Galau dalam Bahasa Jepang

suatu ketika, saya ngetweet di @bhsjepang, sekalian menambah ekspresi2 dalam bahasa jepang, lalu ada follower yang mention, "tema hari ini galau ya?" hehehe, jadi saya membuat rangkuman tweet saya yang dikira galau tersebut, 1. aishitemo ii desu ka | bolehkah aku mencintaimu? 2.  anata no egao ga daisuki desu yo | aku sangat suka senyumanmu lo 3. konban, boku no yume ni anata o aitai desu | malam ini, aku ingin bertemu dg mu di dalam mimpiku