Bagi Ponokawan Somen semakin susah ia mendekati seorang wanita, semakin besar rasa cintanya kepada wanita tersebut. Mungkin bagi seorang pejuang seperti Somen, cinta wanita adalah sesuatu yang harus dimenangkan, meskipun kenyataannya 95% kisah cinta Somen selalu berakhir menyedihkan. Ia tidak hanya kalah tapi juga dicampakkan, dipermalukan, dikhianati.
Kisah cinta sang pemimpin ponokawan yang akan saya ceritakan kali ini ialah cinta kepada seorang dewi yang pernah magang di Negeri Madayu, namanya Dewi Mardhiyah asal Negeri Bantani. Ponokawan Somen mengenal sang dewi ketika di Padepokan Jagariya 88. Dewi Mardhiyah ditugaskan oleh rajanya untuk mendalami ilmu pengadaan barang dan jasa di padepokan tersebut.
Di suatu kesempatan, mereka berdua berada dalam satu ruangan. Itulah momen pertama kali Somen bertemu seorang wanita manis yang belum pernah ia lihat di Padepokan Jagariya 88. Somen menatap mata indah bola pimpong miliknya. Ada perasaan aneh yang merayap di dada Somen. Perasaan yang sudah sangat lama ia lupakan, yaitu rasa cinta. Dirinya telah jatuh cinta (lagi, untuk kesekian kalinya).
Setelah hari itu, wajah sang wanita ikut pulang ke rumahnya. Wajahnya menempel di langit-langit kamar, di ubin-ubin, di pintu, di jendela, di langit, dimanapun Somen memandang. "Aku harus tahu nama wanita itu! Harus!" pekik Somen kepada dunia, seakan-akan itu adalah tugas terakhirnya sebagai seorang ponokawan.
Kacap kacarita, ponokawan Somen berhasil menyelesaikan misi singkatnya. Dewi Mardhiyah. Itulah namanya. Nama yang sangat indah, bagi Somen. Tampaknya ia kurang puas hanya ingin tahu perihal nama, ia pun mencari nama "Dewi Mardhiyah" --tidak boleh typo-- di Google, ingin mengetahui rekam jejak digitalnya, bahkan mengikuti akun IG dan Twitter sang dewi (lebih tepatnya mengajukan permohonan follow karena kedua akun tersebut bersifat private).
Dewi Mardhiyah menjadi salah satu murid Ki Dur Nadi dengan status magang di Padepokan Jagariya 88. Maksudnya ialah sang dewi hanya akan berada di padepokan tersebut selama 3 bulan. Dewi Mardhiyah belum mendapatkan perintah resmi dari Raja Bantani apakah ia akan melanjutkan tugas di Padepokan Jagariya 88 atau kembali ke Negeri Bantani atau malah berpindah ke negeri yang lain di jagat Pewayangan ini. Hal yang dimaknai oleh Somen sebagai kesempatan yang singkat untuk mengenal wanita itu lebih dalam.
Hari-hari Somen di Padepokan Jagariya 88 menjadi berbeda. Ia melihat tempat itu sebagai surganya surga. Nirwananya nirwana. Setiap kali Prabu Arifisna, raja Negeri Madayu meminta seorang ponokawan untuk mengunjungi padepokan Ki Dur Nadi itu untuk berbagai macam tugas, Ponokawan Somen-lah yang pertama kali menawarkan diri, paling tinggi mengacungkan tangan, paling bersemangat untuk menunjuk dadanya sambil berkata, "Pilih saya, Prabu! Biar saya yang kesana!" Bahkan untuk tugas remeh temeh yang sebelumnya jarang dilirik oleh sang pemimpin ponokawan. Prabu Arifisna yang awalnya bertanya-tanya, lama-lama abai juga dengan sikap Somen karena sang prabu akhirnya mengetahui kalau ponokawan andalannya tersebut sedang jatuh cinta. "Nikmati saja dulu waktu-waktu indahmu di sini, Somen," ucap Prabu Arifisna lirih.
Ponokawan Somen adalah campuran dari sifat suka berkhayal, berekspektasi luar biasa tinggi, supel dan ramah, pemalu dan tidak berani untuk menyatakan cinta secara langsung. Sikapnya tersebut menyebabkan progres untuk mengenal Dewi Mardhiyah menjadi sangat lambat. Somen hanya bisa tersenyum dan menyapa ketika tanpa sengaja mereka berdua bertemu di kantin, di tempat parkir, di lapangan olahraga, di lorong padepokan, di konser, di ruang rapat, di dalam mimpi, di kehidupan nyata, di kaki bukit, di lembah, di pasar, di persimpangan, di gang buntu. Bahkan pada momen dimana keduanya berada di satu ruangan dalam waktu yang lumayan lama untuk mengerjakan sesuatu.
Momen yang pertama, yang juga (sebenarnya) hari kedua Somen bertemu dengan Dewi Mardhiyah untuk pertama kali. Saat itu hari jumat. Siang hari. Terdapat sebuah acara tahunan di Padepokan Jagariya 88. Acara untuk mengapresiasi kinerja ponokawan dan prajurit di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara. Semua perwakilan wilayah datang ke padepokan tersebut untuk saling menunjukkan prestasi masing-masing. Serangkaian kegiatan sudah dilakukan selama tujuh hari enam malam. Hingga puncak kegiatan dilakukan hari jumat tersebut. Di dalam sebuah aula, acara closing ceremony diadakan. Somen yang datang sendirian itu kebingungan karena harus melebur ke kelompok yang mana. Perwakilan dari masing-masing wilayah duduk berdekatan karena arogansi dan kebanggaan mereka.
Setelah mengedarkan pandangan dari sudut ke sudut, matanya menangkap sesosok bidadari. Ternyata Dewi Mardhiyah juga menghadiri acara closing ceremony, ia duduk bersama rekan-rekan di fungsi pengadaan. Sebuah ide mahabrilian muncul di otak Somen. Ia bermaksud untuk duduk di aula itu bersama para ponokawan dan resi dan ahli fungsi pengadaan Padepokan Jagariya 88, sambil berharap ada momen satu-dua detik untuk mengobrol dengan sang dewi. Beruntung bagi Somen karena di kelompok itu ia mengenal beberapa orang, terutama ponokawan berkacamata, teman di lapangan tenis, Ponokawan Landi.
"Landi!" sapa Somen, "boleh aku bergabung dengan kalian?"
Ponokawan Landi terkaget dengan sapaan itu, "Oh iya, monggo, Somen."
Itulah awalan, pembukaan, preambul, mukadimah bagi Somen untuk mencuri pandang ke arah Dewi Mardhiyah. Dari acara dimulai sampai berakhir. Pada kesempatan berbahagia itu Somen bagai menyirami bunga-bunga yang bermekaran di dadanya. Setiap momen otomatis tersimpan di dalam memori ingatan Somen. Bagaimana Dewi Mardhiyah tersenyum (dengan sangat indahnya), bagaimana ia berbicara (dengan sangat indahnya), bagaimana ia bergoyang (dengan sangat indahnya) dan bernyanyi (dengan sangat indahnya) mengikuti penampilan penyanyi dan DJ yang diundang dalam acara siang hari itu.
Bahkan, di perjumpaan kedua tersebut, Somen berhasil berbicara langsung dengan sang dewi. Pada segmen pemberian apresiasi, fungsi pengadaan berhasil mendapatkan salah satu award. Dewi Mardhiyah yang berstatus magang, diminta untuk mengabadikan kejadian tersebut menggunakan ponselnya. Karena malu-malu, sang dewi hanya bisa memotret dari belakang. Karena merasa itu adalah kesempatan sekali seumur hidup, Somen pun memberanikan dulu untuk menegur sang pujaan hati.
"Agak maju ke sana lo, Dewi!" ucap Somen lembut sambil menunjuk ruang kosong di belakang para tamu VVIP, raja-raja dari berbagai wilayah.
Dewi Mardhiyah yang mungkin tidak mengira akan mendengarkan perintah itu dari Somen, dengan malu-malu menjawab, "Eh, iya."
Itulah "pembicaraan" pertama Ponokawan Somen dengan Dewi Mardhiyah. Progresif sekali. Hari itu pun berakhir dengan perasaan yang mendebarkan jantung Somen. Tak lama setelah momen bersejarah itu, request untuk mem-follow akun Instagram Dewi Mardhiyah disetujui. Apalagi sang primadona hati juga otomatis mem-follow akun Ponokawan Somen. Bak kejatuhan durian runtuh. Seketika, tanpa aba-aba, Somen melakukan stalking kepada akun sang dewi. Menikmati setiap postingan di feed dan highlight story, lalu menyalakan notifikasi. Ia harus menjadi yang pertama melihat story dan membubuhkan love pada semua postingan baru Dewi Mardhiyah. Begitulah, Kawan-kawan, orang yang sedang kasmaran kadang seperti orang gila.
Momen yang kedua. Adalah ketika Jagariya 88 merayakan hari jadi padepokan dan mengadakan konser super megah di Jatex. Panitia akan mengundang penyanyi campursari legendaris, Didi Kempot. Berbeda dengan warga yang lain, yang sangat antusias dengan kehadiran sang legenda, Ponokawan Somen tidak terlalu bersemangat. Bahkan pada malam hari sebelum hari H, ia berencana untuk tidak hadir.
Namun, akhirnya Somen hadir. Setelah bergulat dengan perasaan kosong di dalam hatinya dan menimbang-nimbang banyak parameter, di sinilah ia. Di gedung megah, Jatex. Sebuah panggung raksasa terpasang di sudut gedung. Banyak warga yang hadir, ramai sekali, mereka semuanya bersemangat. Tak sabar untuk bernyanyi bersama para guest start. Sangat berbeda dengan apa yang Somen rasakan. Ia sangat hampa.
Hampir semua teman seangkatan Somen menjadi panitia dan sibuk dengan tugas masing-masing. Sedangkan teman yang tidak menjadi panitia, sibuk dengan keluarga dan circle mereka. Alasan inilah yang paling membuat Somen enggan untuk berangkat ke konser.
Somen memilih untuk duduk di kursi penonton yang jauh dari kerumunan. Ia memilih di deretan kursi yang tengah, karena masih kosong. 10 menit ia berpindah ke kursi paling pojok kanan. 10 menit berikutnya ia berdiri di pinggir. 10 menit selanjutnya ia berjalan ke belakang, ke tempat bazar didirikan. Somen kosong dan tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Apakah memang ada hubungannya dengan Dewi Mardhiyah?
Beberapa hari sebelum perayaan ulang tahun Jagariya 88, Somen menyadari bahwa sang pujaan hati tidak ada niatan sedikit pun untuk membalas cintanya. Seperti kisah di masa lalu, kali ini pun tak jauh beda. Sebuah penerimaan akan penolakan harus dipersiapkan oleh (hati) Somen.
Waktu terus berlalu, dari penyanyi satu ke penyanyi ke-30, Somen masih terlihat kurang bersemangat. Satu-satunya hal yang ia pikirkan, apakah Dewi Mardhiyah juga menghadiri konser tersebut? Karena sedari tadi ia belum menjumpainya. Padahal ia sudah mengelilingi seisi gedung. Tapi, ponokawan galau tersebut juga tidak tahu apa yang akan dilakukan apabila akhirnya terjadi perjumpaan. Serba repot memang bagi seseorang yang sedang kasmaran dan patah hati.
Somen duduk di kursi paling pojok di pinggir kanan venue ketika Didi Kempot naik ke atas panggung. Para warga, ponokawan, resi, ksatria, dan semuanya berbondong-bondong mendekati. Berjingkrak-jingkrak, melolong, penuh gairah saat lagu-lagu ambyar berkumandang. Somen hanya bisa tersenyum melihat pemandangan itu dan mencoba untuk menikmati.
Hingga tiba-tiba muncul notification dari Instagram.
[dewimardhiyah added a story]
Tak butuh waktu lama bagi Somen untuk meng-klik pesan tersebut dan sebuah pemandangan luar biasa muncul. Video yang memperlihatkan bagian kiri panggung (dari sudut pandang penonton), tampak Didi Kempot, confetti berterbangan, para sobat ambyar, lampu-lampu. Dewi Mardhiyah ada di Jatex! Ia berada di sisi kiri panggung. Dari video yang dibagikan sang dewi, sepertinya ia duduk sangat dekat dengan panggung. Ada semangat yang membakar hati Somen. Ia ingin melihat eksistensi wanita itu dengan mata kepalanya sendiri. Wanita yang ia cari sedari pagi. Somen bergegas menuju lokasi tempat Dewi Mardhiyah.
Benar saja, wanita itu berdiri di pinggir panggung, sedang berjoget dan mengikuti irama musik. Lalu Somen bingung. Apakah ia punya cukup keberanian untuk menyapa dan mengajak Dewi Mardhiyah mengobrol? Seperti yang ia inginkan sejak tadi. Ia pun terdiam.
Sebuah ide muncul di dalam pikiran Somen, ia mengeluarkan HP dan mengaktifkan kamera, mencuri-curi momen untuk mengabadikan sang pujaan hati melalui video. Tentu saja ia tidak langsung menyorot ke objek favoritnya, pertama-tama kamera diarahkan ke panggung, ke penonton, hingga akhirnya ke Dewi Mardhiyah. Ia tersenyum. Somen akan menyimpan video itu untuk selama-lamanya, dengan atau tanpa cinta sang dewi.
Kesempatan kedua dan momen berharga berakhir begitu saja. Tanpa ada perkembangan. Somen memutuskan untuk pulang.
Bumi gonjang ganjing, langit kelap-kelap!
Kurang lebih 3 bulan sejak masa-masa bahagia di Jatex itu dan melewatkan kesempatan ketiga, keempat, kelima, hingga ke-271295, Ponokawan Somen mendapatkan amanat baru dari Prabu Arifisna. Sebuah tugas yang tak pernah terpikirkan olehnya. Ia dipindah tugas. Akan berada jauh dari kampung halamannya, 780 kilometer dari Negeri Madayu, yaitu Negeri Jayakarta. Bagi Somen, itu adalah pengalaman pertama merantau, walaupun ia sering bersama Hanoman untuk mengembara ruang dan waktu, namun kali ini berbeda. Jauh dari Negeri Madayu akan menjadikannya sosok yang berbeda.
"Mengapa kau tak protes ke Prabu saat kau dipindahtugas ke Jayakarta, Men?" tanya Junet sore itu.
"Aku harus mencari ilmu baru dan pengalaman untuk bisa menjadi seorang ponokawan hakiki, maka dari itu, inilah kesempatannya, Jun," jawab Somen dengan suara agak bergetar.
Junet sebenarnya mengetahui kalau bukan itu alasan utama mengapa Somen mau berada jauh dari Madayu. Ponokawan memble itupun berbisik, "Kau hanya ingin jauh dari Jagariya 88 karena ingin melupakan Dewi Mardhiyah kan, Men?"
Bisikan yang lirih tetapi mampu didengar telinga Somen itu sontak membuat Somen berdiri, ia menghadap muka Junet, tampak sedikit kesal. "Sialan!"
"Kau terlalu kekanak-kanakan. Selalu seperti itu. Dari dulu!"
"Prabu Arifisna sudah pernah menyinggung masalah ini jauh sebelum aku kenal Dewi Mardhiyah!"
"Ya! Tapi kau bisa saja menolak. Kau adalah pemimpin ponokawan, pasti Prabu akan mendengar pertimbanganmu!" ucap Junet yang tampak lebih kesal.
Ponokawan Somen mendengus. Lalu berkata, "Menolak untuk bisa lebih banyak menguasai berbagai keahlian di jagat pewayangan Nuswantoro ini? Huh?!"
Junet tersenyum kecut, ia sangat mengenal sahabatnya tersebut, "Tentu sikapmu akan berbeda jika Dewi Mardhiyah tetap ditempatkan di Jagariya 88 alih-alih di Pulau Borneo di seberang lautan sana!"
Tanpa menjawab, Ponokawan Somen pergi meninggalkan orang yang sangat dekat dengan dirinya itu. Ia tidak ingin lebih banyak mendengar nama wanita yang sangat diidamkan itu yang telah mematahkan hatinya. Dewi yang lebih memilih untuk tidak meneruskan tugas di Jagariya 88 karena tahu bahwa Ponokawan Somen sangat mengidolakannya. Ponokawan Somen masih banyak menyimpan pertanyaan untuk diajukan kepada sang dewi, yang kesemuanya merupakan alasan mengapa Somen masih mencintainya seperti saat pertama kali berjumpa. Namun, kini ia harus mulai berfokus untuk mempersiapkan kepergiannya ke Negeri Jayakarta.
Ponokawan Junet yang ditinggalkan sendirian itu bergumam, "Negeri Madayu akan sangat sepi setelah kau tinggalkan, Men, kau bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan untukku, Rosed, dan Takmir." Junet melihat ke angkasa. "Semoga kau bisa mengejar apa yang kau cari di perantauan. Dan..dan meninggalkan semua kenangan, masa lalu tentang Dewi Mardhiyah itu di sini. Tentu masih banyak tugas dan impian yang belum kita selesaikan di Madayu ini, tapi aku pun tidak boleh egois untuk melarangmu pergi."
Itulah perjumpaan Somen dan Junet terakhir sebelum Somen berangkat ke Negeri Jayakarta. Tanpa adanya seremoni perpisahan yang layak dengan sahabat-sahabat sesama ponokawan. Kisah perantauan ke Negeri Jayakarta akan dimulai. Walaupun (tanpa diragukan lagi) ia ingin melupakan sosok Dewi Mardhiyah dengan menjauhi Negeri Madayu dan Padepokan Jagariya 88, namun ia malah mendekati Negeri Bantani, tetangga Negeri Jayakarta, kampung halaman Dewi Mardhiyah.
Komentar
Posting Komentar