Langsung ke konten utama

Surabaya 2057 : Sendiri Tanpamu

Kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkanmu,
Sesali wajahmu merenta kisahmu terlupa,
Kau sadari semua yang berjalan tlah tinggalkanmu,
Dan tak dapat merangkai semua dekat di khayalmu...

Kau dibangunkan oleh sinar matahari yang merayap masuk ke kamarmu melewati lubang-lubang jendela. Kau sengaja membuat lubang-lubang yang berukuran tak terlalu besar itu supaya kau masih bisa merasakan hangatnya cahaya di pagi hari. Walaupun seharusnya kau tahu kau harus menutup rapat-rapat jendela itu, supaya dapat lebih aman dari gangguan serangga-serangga malam ketika kau terlelap tidur. Kau masih bisa merasakan kengerian ketika menjumpai seekor kecoa berukuran satu kepalan tangan di suatu malam.

Tapi sekarang sudah pagi, kau merasakan senyummu mengembang karena bersyukur masih bisa bernafas. Matahari masih mau menampakkan wajahnya pagi ini, mungkin tidak terlalu pagi, pikirmu. Kau bertanya jam berapa sekarang, dan kau memutuskan untuk mendongak melihat jam yang bertengger di dinding. Pukul 10.00. Kau tak acuh dengan waktu, jam berapapun kau bangun, kau bebas toh tidak akan ada yang memarahimu.

Setelah menggeliat beberapa saat, kau beranjak dari kasur, berdiri dengan sedikit tertatih. Kemarin kau telah mencari tempat baru hingga larut malam. Di bawah rembulan, kau berhasil menemukan sebuah taman yang tak jauh dari rumahmu, kira-kira 1 jam perjalanan ditempuh dengan bersepeda. Mungkin sejauh ini, tempat itu adalah tempat terbaik yang dapat kau temukan. Dan kau berencana untuk ke sana lagi nanti.


Dengan langkah yang berat kau berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan menuju kamar mandi. Kamar mandi di rumahmu tak terlalu besar namun cukup membuatmu nyaman. Setelah melepas pakaian, kau mandi berendam di dalam bak mandi yang telah kau siapkan sejak kemarin. Air dalam bak itu tidak hangat lagi, karena memang sudah seharian air itu ada di dalam bak. Karena asyiknya mencari tempat baru, kau baru bisa mandi pagi ini. Dinginnya air di dalam bak membuatmu bersemangat kembali.

Hampir setengah jam, menurut perhitunganmu, kau mandi. Ketika memastikan tubuhmu sudah lumayan kering setelah kau basuh dengan handuk, memakai pakaian seadanya, seperti biasa kau menatap cermin yang ada di depan pintu kamar mandi. Cermin berukuran sedang yang dapat memantulkan bayanganmu hingga sebahu itulah satu-satunya temanmu.

Sudah 3 minggu sejak kau menyadari bahwa semua orang di kota ini menghilang, dan menurut perhitunganmu tidak hanya orang-orang di kota yang hilang tetapi juga di seluruh bumi. Karena kau tidak pernah melihat ada pesawat atau helikopter yang terbang di atas kotamu. Yang paling parah adalah kau tidak mengingat apapun, kecuali namamu. Fai. Hmm, tidak juga sih, gumammu. Kau masih punya pengetahuan, mungkin kau dulu adalah orang yang jenius, itulah yang bisa kau simpulkan ketika mendapati banyak sekali ide-ide cerdas dan pemecahan masalah yang kau dapatkan di saat-saat genting.

Hal yang hilang dari ingatanmu adalah kenangan, kau tak mengingat dengan siapa kau tinggal di rumah yang sederhana ini. Mungkinkah bersama 3 orang yang berada di dalam foto-foto dan album yang kau temukan di ruang tengah? Satu orang pria bertubuh besar, mungkin itu ayahmu. Satu wanita cantik bermuka ramah, mungkinkah itu ibumu. Dan seorang anak laki-laki kecil berpotongan lucu itu mungkinkah adikmu. Sehari setelah kau bangun dalam keadaan tak tahu apa-apa, kau hampir putus asa. Melihat foto-foto itu hanya membuatmu menderita. Kau tak tahu mereka siapa namun ada beberapa foto yang menampakkan kau bersama mereka. Ya, mungkin mereka memang keluargamu. Kau menyimpulkan hal tersebut setelah 3 hari, setelah kau beradu dengan perasaanmu yang harus kau yakinkan.

Di depan cermin ini kau berdiri, memandangi bayanganmu yang ... semakin lelah? Pikirmu. Mukamu tak lagi semenarik awal kau menatapnya. Namun masih terlihat manis dan cantik di usiamu. Usia? Kau hanya bisa menerka usiamu 24 tahun, sial, kau tak tahu umurmu sekarang berapa. Rambutmu terurai berantakan, mungkin saat ini rambutmu hanya sepanjang bahu, tapi bagaimana jika ia bertambah panjang dan harus dipotong. Apakah kau akan memotongnya sendiri? Walaupun kau telah terbiasa dengan beberapa hal, tapi kau masih belum bisa menerima yang lainnya. Kau wanita, dan kau sendiri.

Ketika melihat pundak yang tak teguh itu, kau ingat beberapa hari setelah kau terbangun dari ketidak berdayaan, kalau kau ingin mengakhiri hidupmu. Entah apa yang waktu itu kau pikirkan, hanya saja kau sudah tak bisa menanggung perasaan yang membuncah di dadamu. Kau wanita, dan kau tahu bahwa perasaanmu lebih memainkan peran hidupmu.

Waktu itu, hampir senja. Di saat kau melihat warna kaki langit telah berubah menjadi jingga, terbesit gagasan itu di dalam pikiranmu. Tak kau sadari air matamu tumpah, mengalir deras melewati pipi-pipimu, rasanya hangat, tapi hatimu dingin. Kau duduk di depan teras, memandangi rumah-rumah yang berjajar di kanan-kiri rumahmu. Bagaimana bisa semua orang yang pernah mengisi rumah-rumah itu kini hilang, entah kemana. Ataukah memang sejak awal rumah-rumah itu kosong? Kau takut untuk memastikannya. Dan ketika sang penguasa hari, matahari tenggelam di barat, kau berlari ke arah dapur, mencari pisau terbaik yang dapat mewujudkan idemu.

Tapi, ketika kau telah berdiri di depan dapur, menarget pisau bergagang kayu coklat di atas meja, kau ingat secarik kertas yang ada di dalam genggaman tanganmu saat pertama kali bangun dari kehampaan.

"JANGAN MATI"

Tulisan yang berlarian di otakmu. Setelah membaca tulisan yang ada pada kertas tersebut, awalnya kau tak peduli, tapi lama-kelamaan kau mencoba memahami maksudnya. Kau belajar untuk berprasangka baik dengan orang yang menulis pesan itu. Mungkin kau adalah orang terakhir dari spesies manusia yang suatu hari nanti akan bertemu dengan orang-orang dari suatu negeri khalayan, yang akan menjemputmu. Tapi kau masih ingat bahwa dunia tidak sekonyol itu, penalaranmu masih dapat memainkan fungsinya dengan baik dan tak mungkin ada hal-hal seperti itu.

Setelah teringat pesan supaya tidak mati, kau berjalan menjauh dari dapur, menuju entah kemana. Kau hanya bisa melihat ke bawah, menatap kaki-kaki mu yang tak tegar itu berjalan, kemanapun, sesuka mereka. Sesaat menyadari bahwa hari semakin gelap dan malam mulai menyapa bumi, kau bergegas menutup rapat-rapat pintu rumahmu, mengunci lekat-lekat jendela rumahmu. Kau takut ada semacam teror yang akan kau dapati.

Tapi 3 minggu ini kau tak menemukan hal yang menakutkan kecuali serangga-serangga berukuran tak biasa. Kau tersenyum, masih menatap cermin di dalam kamar mandi. Kau manis tapi juga rapuh. Kau wanita dan kau sendiri. Apakah kau dulu pernah jatuh cinta? Entah mengapa tiba-tiba konsep cinta muncul di dalam pikiranmu. Ah, apa gunanya bagimu sekarang untuk memiliki cinta, bila kau hanya sendirian di bumi ini.

Kau rasa hari ini telah puas untuk memandangi mukamu yang manis di depan cermin. Kau meraih pengucir rambut yang menggantung pada paku di dinding. Sepertinya hari ini kau cocok dengan rambut kucir kuda, biar rambutmu tak berantakan terkena angin. Hari ini kau ingin mengunjungi taman yang kemarin kau temukan.

Hal yang aneh lagi adalah ketika kau harus menyiapkan sarapan sendiri. Di kulkas yang tak lagi dingin itu masih ada beberapa makanan untuk jatah 2 minggu ke depan. Bagaimana jadinya jika stok makanan di rumahmu habis? Bolehkah kau mengambil dari toko yang berjarak 100 meter dari sini? Kau bertambah bingung dengan semuanya. 

Pernah suatu hari kau berpikiran untuk menanam beberapa sayuran dan buah di taman belakang rumahmu. Berjaga-jaga jika semua makanan yang ada di rumahmu telah kadaluarsa atau basi. Logikamu menunjukkan bahwa semua di dunia ini masih dalam hal kewajaran, semua makanan pasti akan kadaluarsa dan membusuk. Tentu kau sekarang bukan hidup di negeri khayalan, kau yakin akan hal itu. Hal yang tak kau pahami adalah kenapa kau sendirian di bumi ini dan ingatanmu hilang tak berbekas kecuali namamu. Nama yang tak berguna jika tak ada orang untuk memanggilnya.

Lalu, masalah listrik, mau berapa lama lagi rumahmu dan kotamu akan teraliri listrik? Sudah 3 minggu listrik masih ada di sini. Kalau memang seluruh umat manusia telah binasa di bumi ini, tentunya listrik pun tidak akan ada hingga selama ini. Itulah yang membuatmu yakin bahwa di suatu tempat di bumi ini ada orang lain juga, mungkin ketika kau keluar dari kota kau akan menemukan peradaban, tempat di sana banyak orang, yang akan menyambutmu. Menemukan seorang pria yang akan mencintaimu. Ah, khayalan paling tak masuk akal sejauh ini, pikirmu.

Hari ini kau memasak telor 2 biji dan membuat telor ceplok. Jarang-jarang kau memasak menggunakan kompor gas yang ada di dapur, karena kau takut jika kehabisan gas. Biasanya kau hanya memakan roti dan buah-buahan seadanya. Kau seperti berada di dalam hutan dan kau harus bertahan hidup di sana, namun bedanya kali ini kau berada di tengah kota mati, yang tak berpenghuni.

Setelah sarapan dan menyiapkan perlengkapan di tas ranselmu, kau bergegas keluar rumah, menaiki sepeda gunung seperti biasanya. Jalan-jalan itu masih lengang sama seperti hari-hari sebelumnya. Kau mengambil sebuah buku yang berisi peta kotamu yang telah kau tandai untuk daerah-daerah yang telah kau kunjungi. Kau melihat sudah hampir 50% dari keseluruhana. Berarti tak lama lagi kamu dapat keluar dari kota ini, motivasimu, dan mungkin menemukan orang lain selain dirimu, harapanmu. Sungguh aneh jika melihat peta yang kau bawa sekarang, karena peta itu hanya didesain untuk menunjukkan kotamu, tidak ada keterangan mengenai kota-kota di sekelilingnya. Kau juga pernah berpikiran untuk mencari peta yang ada di toko-toko, di rumah-rumah dan tempat yang dapat kau temukan. Peta dimana menunjukkan keseluruhan negeri ini, atau minimal peta yang memperlihatkan kota-kota sekitar kotamu, sehingga kau dapat langsung menuju ke arah sana. Namun hasilnya nihil, tak kau dapati sebuah peta kecuali yang kau pegang saat ini. Peta yang kau temukan di rumahmu.

Sudah hampir setengah jam kau kayuh sepedamu. Berarti sudah setengah jalan menuju taman yang kemarin. Dengan perkiraan itu, kau dapat menyimpulkan bahwa sekarang sudah pukul 12.30. Kau memakai jam tangan, tapi baterainya sudah habis, dan kau memakainya hanya untuk bergaya. Sudah siang, sudah seharusnya siang ini begitu terik seperti biasanya, namun entah mengapa langit sedikit mendung. Pertama kalinya kau mendapati bahwa langit sesejuk ini. Akahkah turun hujan? Untuk pertama kalinya setelah 3 minggu? Tak kau risaukan hal itu toh tidak ada orang yang akan memedulikanmu mau basah kuyup terkena air hujan atau tidak, kau malah semakin bersemangat untuk menuju taman itu.

Harapan untuk menemukan orang lain itulah yang memotivasimu untuk bertahan sejauh ini. Kau masih percaya bahwa di suatu tempat di sana ada orang lain yang menunggumu. Kau yakin dan kau berusaha untuk mewujudkannya. Menemukan orang-orang yang masih menggunakan teknologi dimana kau saat ini tak menggunakannya. Di rumahmu terdapat televisi, telepon genggam, playstation dan barang elektronik lainnya.  Tapi kau takut jika suatu ketika listrik benar-benar habis dan kau tak punya untuk menghidupkan lampu-lampu. Dan kau memilih untuk tak menggunakan barang-barang itu guna memastikan bahwa setiap malam kau masih bisa melihat cahaya, selain cahaya bulan. Namun, dulu, ketika pertama kali kau menyadari bahwa di rumahmu ada telepon genggam, kau mencoba untuk membuat panggilan. Di kontak terdapat nama-nama familiar seperti Papa, Mama, Kakak, juga nama-nama orang yang entah mereka siapa, temanmu atau mungkin tetanggamu. Kau mencoba menelepon mereka namun telepon genggam itu tak berfungsi dengan baik, sinyalnya tidak ada. Dan ketika menemukan telepon umum di pinggir jalan, setelah memasukkan koin, telepon itu tak berbunyi sama sekali. Sepertinya memang kau diisolasi untuk tak membuat komunikasi dengan siapapun, jika memang ada orang di suatu tempat.

Udara semakin terasa dingin, kau menarik resleting jaketmu hingga ke leher supaya dapat sedikit menghangatkanmu. Kau mendongak ke langit, awan-awan hitam sudah saling berkumpul. Kau merasa hujan sebentar lagi akan turun, dan kau masih harus berjalan 15 menit untuk menuju ke taman. Tapi kau ingat bahwa di taman tidak terdapat tempat teduh untuk melindungimu dari hujan, yang ada hanya pohon-pohon besar yang mungkin saja meneduhkanmu atau mungkin membahayakanmu di kala hujan. Kau akhirnya memutuskan untuk mencari rumah atau tempat sebarang yang dapat melindungimu dari hujan. 

Sepanjang jalan tak kau temukan tempat yang cocok. Hingga akhirnya satu per satu air hujan turun. Lambat-laun hujan semakin deras. Kau akhirnya menuju sebuah musalah kecil di sisi kanan jalanan. Musalah itu tak berpagar sehingga kau dengan mudah memasukinya. Dengan menggigil kedinginan, kau taruh sepedamu menyandar pada dinding musalah sisi luar. Kau lepas sepatu dan kaos kakimu untuk dapat beralih ke sisi dalam musalah. Musalah itu berukuran 5 x 6 meter, menurut perhitunganmu. Kecil dan tak terawat. Debu hampir memenuhi setiap sudut musalah, di atap-atap juga banyak sarang laba-laba. Kau ingat bahwa musalah adalah tempat ibadah orang Islam. Seingetmu juga bahwa di kota ini ada musalah yang lebih besar, istilahnya masjid, kalau kau tidak salah. Kau pernah menemukannya di suatu tempat di pusat kota.

Kau lupa dulu kau beragama apa, karena itulah kenangan yang hilang dari otakmu. Selama 3 minggu ini kau tak melakukan ibadah agama apapun, mungkinkah suatu hari nanti kau akan melakukannya? Ketika jawaban atas semua ini kau temukan, tentang keluargamu, tentang kehidupanmu, dan terlebih tentang agamamu. Walaupun kau tak yakin dengan agamamu dulu, kau pernah menemukan bahwa di rumahmu terdapat sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 1,5 meter yang terdapat kain bermotif mirip kain yang ada di musalah ini, sajadah namanya, kau coba menerka. Apalagi di dalam beberapa foto di rumahmu terdapat orang yang kau yakini sebagai Ibumu memakai sehelai kain di kepalanya, yang dalam ingatanmu kain itu bernama jilbab, identitas orang Islam. Ya, mungkin saja kau dulu beragama Islam, tapi bagimu itu tak penting sekarang.

DUAAR!!!

Seketika itu cahaya putih memenuhi penglihatanmu, sepertinya itu petir pertama sejak 3 minggu ini. Suara gemuruhnya hampir-hampir memekakkan telinga. Hujan semakin deras. Kau melihat jalanan mulai tergenang dengan air. Kau hanya bisa berharap air itu tidak membanjiri jalanan yang membuatmu tak bisa pulang.

Kau masih memandangi hujan. Bau tanah yang tercipta sedikit menenangkanmu. Entah mengapa muncul bayang-bayang 4 orang di dalam pikiranmu. Mereka mengunjungi sebuah taman yang hampir sama dengan taman yang ingin kau kunjungi. Tampak samar dan bias, serta kau tidak yakin itu kenanganmu atau fantasimu. Setelah sejauh ini apakah itu adalah ingatan mengenai keluargamu? Kau berpikir bahwa lama kelamaan ingatan dan kenangan itu akan muncul dengan sendirinya ke dalam otakmu, dan yang kau butuhkan sekarang adalah bersabar. Sampai kapan? Tanyamu dalam hati.

Kau tidak pernah berbicara lama menggunakan lisanmu, kecuali untuk beberapa umpatan dan keluhan yang kau rasakan. Sudah 3 minggu kau tak berbicara dengan orang lain, komunikasimu hanya kepada cermin yang ada di rumahmu. Perasaan apa yang tiba-tiba muncul di dalam dadamu itu? Rindu? Kau rindu terhadap apa kau tak tahu, mungkinkah setelah sejauh ini, kau baru merasakan rindu. Rindu kepada orang-orang yang entah siapa, yang bisa kau yakini sebagai keluargamu. Kau juga berharap bahwa mereka benar-benar keluargamu, setidaknya dengan harapan itu kau masih bisa hidup. Lagi-lagi tak kau sadari air matamu mengalir, tak kalah deras dengan air hujan di luar sana. Tak hanya perasaan takut bahwa hujan ini tak akan berhenti, tapi juga perasaan rindu luar biasa yang kau rasakan. Seperti ada sebuah tali besar yang melilit dadamu, yang membuatmu sulit bernafas. Kau wanita dan kau telah lelah dengan semua ini. Tubuh-tubuhmu mulai lemas dan ... kantuk mungkin? Kau tak pernah merasa serileks ini. Mungkin ini karena udara dingin yang dibawa hujan.

Kau harapkan keajaiban datang,
Hadir dipundakmu,
Kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu...

Kau berada di ruang tamu keluargamu. Kau sedang duduk menatap televisi dan memegang ... joystick playstation? Benarkah ini? Kau bertanya pada diri sendiri. Saat kau terheran-heran dengan apa yang kau alami, kau menoleh ke kanan. Kau kaget bukan kepalang, si anak kecil berpotongan lucu itu ada di sampingmu, juga sedang memegang joystick. Apakah kalian sedang bermain game?

"Ayo Kak Fai, buruan pilih, ih Kakak slalu lama!" ujarnya.

Kau hanya bisa terpaku mendengar kata-katanya. Apakah dia nyata seorang manusia? Orang yang selama ini ingin kau temui dan ajak bicara. Kau merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Harapanmu terwujud, dan kini kau berada bersama orang lain.

Tanpa berpikir panjang, kau lempar joystick yang tadi kau pegang untuk segera berdiri dan mencari orang lain. Kau mendengar anak kecil itu merengek, tapi tak kau pedulikan. Kau berlari ke luar rumah, membuka pintu dengan segera. Dengan semangat yang luar biasa kau melihat rumah-rumah di sekitar rumahmu kini tampak terawat. Orang-orang lalu lalang berjalan di depanmu. Mobil-mobil, motor-motor tak kalah maramaikan jalanan yang ada di depanmu. Kau melihat orang-orang menyapamu, kau terdiam karena tak percaya dengan apa yang kau lihat. Setelah lama menyadari, akhirnya kau sapa balik orang yang menyapamu terlebih dahulu itu. Senyummu mungkin sangat lebar kali ini. Kau merasakan harapanmu terkabul, namun kau masih belum tahu apa yang terjadi.

Setelah puas melihat ke luar, kau kembali masuk ke dalam rumah. Ke ruang keluarga. Kemana anak kecil itu tadi? Atau mungkin sekarang kamu harus memanggilnya adik? Kemana perginya adikmu? Mungkin ia pergi mencarimu. Kau melihat setiap ruangan di rumahmu kini tampak lebih rapi, berbeda dengan terakhir kali kau tinggali. Kau menatap senang foto-foto yang ada di samping televisi. Memang benar, sepertinya mereka adalah keluargamu. Lalu, tunggu apa lagi? Kau berlari mencari ayah dan ibumu.

Kau melihat seorang pria duduk di atas kursi di ruangan kecil yang mirip perpustakaan, karena di sana terdapat banyak buku. Kau segera menghampirinya. Kau memeluknya dari belakang walaupun ayahmu tampak heran.

"Apa yang kamu lakukan Kak Fai? Kayak ndak pernah ketemu Papa aja!" ujar ayahmu, yang kini kau harus memanggilnya Papa. Papa membalas memelukmu dan mencium keningmu.

"Fai sayang sama Papa, ndak pengin Papa pergi lagi," ucapmu manja.

"Haha, Papa juga sayang sama Kak Rufaidah Assyifa." Papa kini melepas pelukannya, memandang mukamu dengan muka bercahaya.

Rufaidah Assyifa? Itukah nama lengkapmu? Kau bertambah bahagia setelah mengetahui nama tersebut. "Pa, Kakak sekarang umur berapa?" tanyamu penasaran.

"Hlo gimana sih Kakak ini, masa' umurnya sendiri lupa?"

"Iya Pa, cuma pengin nguji ingatan Papa hehe," jawabmu sekenanya, mencoba untuk melindungi ketidaktahuanmu.

Dan semakin ke sini, kau merasa semakin aneh. Kesendirianmu dan hilangannya orang-orang tak begitu aneh bagi adik dan Papa. Apakah hanya kamu yang merasakannya? Ataukah semua orang di rumah ini berpura-pura tidak merasa bahwa kamu pernah ditinggal sendiri di bumi ini? Walaupun itu menjadi satu pertanyaan lagi yang harus kau pecahkan, tapi kau membiarkannya, yang terpenting adalah sekarang semua orang telah kembali.

"Mama mana, Pa?"

"Coba cari di dapur, Kak!"

"Oke!" balasmu dengan isyarat tangan.

Sejurus kemudian kau beralih dari ruang perpustakaan menuju ke ruang dapur. Saat melintasi kamar mandi, kau terhenti. Kau melihat cermin yang biasanya kau gunakan untuk berkomunikasi sendiri. Kau melihat senyum yang manis di antara dua pipimu, mukamu kini lebih segar daripada saat terakhir kau melihatnya.

Setelah puas, kau melangkahkan kaki ke dapur. Tapi tunggu dulu, pikirmu. Kau mendadak ingin pergi ke luar sekali lagi. Kali ini untuk merasakan sosialisasi. Bertemu dengan orang-orang yang belum pernah kau temui. Kalau bertemu Mama kan bisa nanti-nanti, gagasan itu muncul dari pikiranmu.

Tak jadi ke dapur menemui Mama, kau pergi ke luar. Adik rupanya masih belum kembali ke ruang keluarga. Kau angkat bahumu sambil bergumam biarlah.

Di luar tampak cerah, burung-burung berterbangan dengan riang. Tapi ada keganjilan yang sudah terbiasa kau rasakan. Rumah-rumah itu kembali kosong. Jalanan kembali sepi, lengang. Kau menoleh ke kanan dan ke kiri, benar saja, tak kau temukan satu orang pun. Kau berlari menuju sudut jalan, pada perempatan terdekat yang kau temukan. Tak ada satu orang pun yang bisa kau lihat, tidak ada sepanjang matamu memandang. Lalu kau berlari di sudut jalan yang lain. Dengan kaki telanjang yang dapat merasakan panasnya aspal itu, kau kembali merasakan suatu keanehan. Apakah ini hanya sesaat? Rasanya tak mungkin, tak masuk akal! Kau kembali meyakinkan diri bahwa mungkin saja, orang-orang memang sedang tidak ada pada waktu sekarang.

Kau berjalan agak pelan menuju rumahmu. Semangat yang tadi perlahan menghilang. Lalu kau tersadar, jangan-jangan keluargamu juga menghilang. Kau menambah kecepatan berjalanmu hingga kau berlari. Membanting pintu depan rumah dan masuk ke dalam. Ruang keluarga sepi, ruang perpustakan tak ada Papa, dimana Papa? Lalu kau coba menuju dapur, syukurlah di sana ada sesosok wanita berjilbab merah. Yang kau yakini itu adalah Mamamu. Kau berjalan mendekat bersiap untuk memeluknya. Dan saat kau berusaha untuk mendekapnya, Mamamu menghilang.


Kau biarkan mimpi tetap mimpi,
Yang melengkapi khayalmu,
Kau terhenyak dan terbangunkan,
Harapkan keajaiban datang hadir dipundakmu...

Kau terhenyak. Kau mendapati dirimu berada pada musala kecil yang berdebu. Sial, umpatmu. Kau telah bermimpi dan kau harus menghadapi kenyataan bahwa kau memang sedang sendiri di bumi ini. Kau membasuh air mata dengan punggung tanganmu hingga kering. Itu mimpi yang penuh dengan informasi, pikirmu. Ada banyak informasi yang dapat kau mengerti, terutama mengenai nama lengkapmu. Kau tidak pernah bermimpi senyata itu sebelumnya. Mungkinkah itu bukan mimpi? Tapi itu di luar nalar, ketika kau mendapati tidak ada yang berubah sedari tadi. Sepedamu masih berada di luar musala. Lokasi sepatumu, tas ranselmu. Hujan masih tetap turun dan genangan air masih kira-kira setinggi mata kaki. Tidak mungkin kau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat ini dengan sangat cepat. Mustahil. Tapi, hal yang lebih aneh adalah kau bermimpi keluargamu. Kau dapat melihat wajah mereka, kecuali Mamamu. Kau sedih dibuatnya.

Malam semakin pekat dengan kesadaranmu. Hujan kini tinggal rintik-rintik. Tapi air sudah menggenangi jalanan setinggi setengah lutut. Kau berharap tidak akan masalah selama di perjalanan menuju rumahmu karena kau memutuskan untuk pulang.

Di dalam mimpimu, kau melihat Mamamu adalah wanita dengan jilbab. Mungkin saja kau benar bahwa kau adalah seorang muslim. Dengan waktu yang tersisa, kau berdoa di dalam musala itu. Dengan bacaan yang sedikit-sedikit kau ingat, kau berharap semoga sesegera mungkin kau dapat menemukan jawaban atas apa yang sekarang kau alami. Atau dengan segera kau dapat menemukan orang lain. Aamiin, kau tutup doa itu.

Selepas berdoa, hujan reda, kau berjalan keluar, memanggul tas ransel dan duduk di pinggir musala. Memakai kaos kaki dan sepatu, walaupun kau tahu banjir akan membasahi kaos kaki dan sepatumu. Tapi lebih baik daripada harus telanjang kaki. Kau berharap semoga kau tidak menemukan sebuah kengerian sepanjang jalan.

Jalan yang kau lalui sepi, gelap. Beberapa sudut jalanan diterangi oleh lampu yang otomatis menyala ketika malam tiba. Tapi itu tidak dapat menghilangkan ketakutan yang kini kau rasakan. Sesekali kau dikagetkan oleh bayanganmu sendiri. Dan kau harus meyakinkan diri sendiri bila ada suara-suara yang tidak jelas bahwa itu hanyalah suara angin. Suara angin ketika menyentuh pepohonan. Dengan keheningan yang seperti ini kau dapat mendengar detak jantungmu yang berdebar kencang. Kau tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini sebelumnya.

Meskipun beberapa kali pulang pada malam hari setelah pencarian tempat baru, namun kali ini berbeda. Kau dapat merasakan bahwa kali ini kau merasa takut, takut jikalau ada suatu hal yang aneh. Hantu mungkin? Yang bisa tiba-tiba muncul di depanmu saat kau menuju ke rumah. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukmu berdiri.

Kau memakai sepeda namun apa gunanya karena jalannya terhambat air yang menggenangi jalanan. Laju sepedamu lebih pelan daripada biasanya. Kau juga sering menelan ludah karena kau merasakan lapar dan dahaga. Terjebak di dalam musala dengan suhu dingin yang luar biasa seperti tadi tentu saja membuatmu lapar. Kau ingin sesegera mungkin pulang ke rumah. Memasak telor ceplok kesukaanmu dan menyeduh teh hangat. Dengan membayangkan hal-hal mengasyikkan tersebut kau jadi lupa dengan kengerian yang ditimbulkan malam ini. Gabungan antara udara dingin, angin kencang, genangan air, lampu yang redup dan tentu saja kau sendiri di jalanan ini, oh tidak kau sendirian di bumi ini!

Beberapa belokan lagi kau sudah sampai di rumah. Kau bersyukur sejauh ini belum menemukan sesuatu yang menakutkan lebih dari perasaanmu. Kau sengaja tidak menoleh ke kanan dan kiri, kau takut jika tiba-tiba ada sesosok makhluk yang keluar. Sesosok makhluk berkepala botak dengan kedua matanya yang melotot menatapmu penuh rasa lapar. Entah mengapa kau membayangkan yang tidak-tidak. Kau menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan itu. Dengan sisa-sisa tenaga, kau kayuh sepeda itu, membayangkan kenikmatan yang akan kau dapatkan di rumah. Tak peduli bagaimanapun kengerian yang kau rasakan.

Kau sudah melihat kompleks rumahmu, hampir saja kau tak tahu mana rumahmu, tapi karena bantuan cahaya rembulan yang setengah bulat itu, kau langsung menuju ke salah satu rumah sederhana tak jauh dari pandanganmu. Sudah hampir sampai depan rumah, kau dikagetkan dengan bayangan hitam yang tiba-tiba kau lihat. Bayangan itu terlihat sekilas membentuk di dinding di depanmu. Kau menoleh ke belakang, tapi kau tidak melihat apapun. Kau rasakan bulu kudukmu berdiri. Sesegara mungkin kau mengambil kunci rumah di saku celanamu hingga kau lemparkan begitu saja sepedamu.

Kakimu bergetar, berlari tak tetap pijakanmu. Kau memasukkan kunci yang kau pegang ke pintu. Klik. Setelah itu pintu kau buka dengan cepat, secepat mungkin kau melangkah masuk ke rumahmu. Lega kau rasakan. Kau telah berada di dalam rumah. Dengan sisa keberanian yang ada, kau mencari saklar lampu dan menyalakan lampu di dalam ruang keluarga mu.

Kau tak bisa membayangkan sosok apa yang akan kau temui tadi. Kau takut sejadi-jadinya, namun kali ini rumahmu seperti biasanya dapat menenangkanmu. Kau wanita dan kau sendiri, tentu saja kau takut secara alamiah.

Setelah memastikan bahwa hatimu tenang. Kau duduk di sofa di ruang keluargamu. Memandangi televisi yang dalam mimpimu menyala, kau di sana bersama adikmu yang ternyata hanyalah mimpi. Kau tersenyum mengingat momen-momen berharga itu. Walaupun hanya mimpi, tapi kau bisa melihat secara jelas keluargamu dan kehangatan mereka, kecuali Mama.

Kau terbesit untuk segera tidur, mungkin saja kau dapat bertemu mereka lagi di dalam mimpi. Ya! Mungkin saja kau dapat informasi lebih banyak lagi setelah bermimpi. Kau tak peduli bajumu yang basah kuyup, kau perlahan mencoba tidur. Kau sudah menutup mata, mencoba serileks mungkin.

Namun tiba-tiba,

Dok Dok Dok!

Kau mendengar ada seseorang mengetuk pintumu. Kau sendirian di bumi ini dan terdengar suara pintu rumahmu, kau merasakan kengerian yang menjadi-jadi.


--Bersambung--


 ini merupakan cerpen bersudut pandang orang ke-2, di dalam cerita terdapat lirik lagu Peterpan - Tertinggalkan Waktu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Dua Ekor Burung Merpati

Alkisah, di sebuah hutan terdapat 2 ekor burung merpati yang bersahabat. Burung merpati putih dan burung merpati berwarna cokelat. Mereka berdua adalah sahabat sejati. Keduanya saling menolong dan membantu jika ada salah satu di antara mereka yang membutuhkan. Tidak hanya kepada sahabatnya, mereka terkenal baik hati kepada seluruh penghuni hutan. Baik merpati putih maupun merpati cokelat adalah burung yang ramah dan jujur. Hanya saja merpati putih yang lebih cerdas daripada merpati cokelat. Merpati putih suka mencari tahu tentang segala hal.  Merpati putih selalu bersama merpati cokelat kemana pun mereka pergi, mulai dari mencari makan, belajar dan mengunjungi teman yang lain. Penghuni hutan yang lain sudah mengetahui persahabatan di antara keduanya, bahkan sang raja hutan, yaitu singa yang memberikan istilah sahabat sejati kepada keduanya. Pada suatu hari yang cerah, saat merpati putih dan merpati cokelat terbang bersama, mereka melihat kerumunan binatang di bawah mereka.

Rahasia di Balik Nama 'Soi'

ii..So'i takok ii.. ii..So'i takok ii... ii..So'i takok ii.. (RE: ii..So'i tanya ii) Tulisan diatas adalah lagu yang sering dinyanyikan Gentong, saat bertanya tentang pelajaran kepadaku.   SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidupku. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populerku, yaitu soi, mereka bertanya, apa hubungannya Safrizal Ariyandi dengan Soi. Namun, nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Melalui artikel ini, aku akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda tersebut.

Ekspresi Galau dalam Bahasa Jepang

suatu ketika, saya ngetweet di @bhsjepang, sekalian menambah ekspresi2 dalam bahasa jepang, lalu ada follower yang mention, "tema hari ini galau ya?" hehehe, jadi saya membuat rangkuman tweet saya yang dikira galau tersebut, 1. aishitemo ii desu ka | bolehkah aku mencintaimu? 2.  anata no egao ga daisuki desu yo | aku sangat suka senyumanmu lo 3. konban, boku no yume ni anata o aitai desu | malam ini, aku ingin bertemu dg mu di dalam mimpiku