"Aku takut kalau aku tak lagi peduli,
 " ucap Ponokawan Somen sembari 
berjalan menjauh. Ponokawan Junet hanya bisa tertegun mendengar 
perkataan sahabatnya tersebut. Junet hanya bisa menerka maksud dari 
ucapan Somen, tanpa punya niatan untuk bertanya kepada salah satu 
ponokawan terbaik di negerinya itu. Junet memahami bahwa permasalahan 
yang dihadapi Somen saat ini tidak hanya masalah fisik, namun juga 
psikis. Junet sering mendapati Somen kerap menirukan ucapan orang-orang 
terkenal yang berkaitan dengan filsafat kehidupan, khususnya mengenai 
kepedulian. Atau jika tak begitu, Somen sering merenung sendiri, sama 
seperti ketika Junet menerima ajakan Somen di suatu senja yang jingga. Ketika 
para fotografer berebutan untuk mengabadikan keindahan kaki-kaki langit.
Somen
 waktu itu duduk termenung di pinggir danau Wanituwo di Negeri Sirumina.
 Di atas duduknya yang membeku, tatapan Somen kosong. Beberapa kali 
merubah posisi tangan dan kaki juga belum mampu menjawab pertanyaan 
Junet yang waktu itu menatapnya jarak 1-2 meter di belakang. Karena tak 
jua mendapatkan jawaban atas analisa dan pengamatan, Junet menghampiri 
sahabatnya itu dan memberanikan diri untuk mengeluarkan kata-kata, "Mengapa kamu ajak aku kesini Men?"
 Lirih suara yang dihasilkan. Mendapati Somen tiada respon terhadap 
kalimat pertama itu, Junet menggunakan tangan kanannya untuk menepuk 
pundak Somen dan berkata kalimat kedua, "He Men, kamu kenapa?" Di
 rasa terlalu mengagetkan, Somen tersentak dari posisi duduk bersila. 
Somen hanya bisa menggelengkan kepala yang seakan dipenuhi oleh rasa 
bersalah. Dalam tatapannya kepada kedua mata Junet, Somen terbawa ke 
dalam ingatan beberapa hari yang lalu.
Di
 kampus, tepatnya hari Jumat, Somen memaknai hari tersebut sebagai hari 
tanpa Tugas Akhir. Di akhir kuliah yang semakin menyempit ini, Somen 
hanya bisa pasrah dengan keadaan waktu yang tak bisa terkontrol. Di 
waktu ia memiliki luang, ia tak berdaya mendapati moodnya 
memburuk. Di waktu ia memiliki kebahagiaan, waktu tak tersedia baginya. 
Sama seperti sore itu, ketika mega-mega merah mulai merambah langit. 
Somen berjalan sedikit tertatih di sepanjang koridor kampus. 
Menimbang-nimbang perasaan yang tiba-tiba memuncaki pikirannya. "Aku tak ingin peduli, namun ketika aku tak acuhkan rasa itu, ia kembali."
 Begitulah yang diucapkan Somen dengan memandangi kaki-kakinya 
membawanya pergi, entah kemana. Ia merasakan tabu antara memikirkan 
cinta atau cinTA. Baginya cinta hanyalah masalah saklar ON/OFF, ia bisa 
kapan saja mendatangkannya dan kapan saja memulangkannya. Namun tidak 
kali ini, ia tahu betul bahwa rasa yang dimilikinya adalah rasa yang 
belum pernah ia rasakan. Bukan rasa eskrim yang dibelinya di kantin 
kampus, manis memang, namun rasa ini jauh lebih manis. Bukan rasa durian
 yang ia benci selama ini, walaupun bencinya menjadi-jadi, namun rasa 
ini tetap dirindukannya. Bukan rasa perkedel kentang yang gurih dan 
slalu memunculkan sensasi, bikin nagih namun rasa ini jauh lebih dari 
itu. Rasa ini adalah masalah masa depan.
"Jika
 dua insan telah digariskanNya untuk hidup bersama, maka sedahsyat 
apapun jarak memisahkan, bahkan meskipun mereka tak saling mengenal 
sebelumnya, keduanya tetap akan kembali menyatu... "
Kalimat
 tersebut yang sejak tadi berlarian di kepalanya. Walaupun konsep jodoh 
suka ia pelajari secara otodidak, namun kali ini ia ingin mendapatkan 
jawabannya langsung, entah dari siapa dan dari mana. Meski ia harus 
membeli buku-buku yang menyediakan pengetahuan tentang itu. Somen slalu 
menempatkan buku menjadi pilihan pertama ketika ia memikul sebuah 
pertanyaan. Sama halnya ketika ia berada dalam kegalauan mengenai konsep
 mahasiswa. Sebelum menjadi mahasiswa, Somen pernah mendapati bahwa 
hatinya memiliki idealisme. Tentang perjuangan melawan monarki kerajaan 
yang dikuasai Para Raksasa, tentang pengabdian kepada masyarakat dunia 
pewayangan, tentang hal-hal di luar akademis yang seharusnya ia 
perjuangkan. Pun hal-hal itu membawa Somen pada sebuah pertanyaan, "Bagaimana dahulu para mahasiswa membawa idealisme mereka?" hingga ia berada di sebuah toko buku yang sering ia kunjungi.
Waktu
 itu malam hari, Somen mengajak salah satu ponokawan paling konyol dari 
Desa Karang Kabolotan, Cepot. Cepot yang memiliki nama lain Bagong atau 
Astrajingga tersebut hendak pamit kepada ayahnya, Semar. Namun ia 
terkendala birokrasi kerajaan Astina yang berbelit. Ketika ia sampai di 
depan pintu keraton, hatinya buncah. Ia takut kena marah. Kaki-kaki 
gemetar ketika melihat Somen telah ada di sana dan siap berangkat. Ia 
belum juga mendapat restu untuk pergi ke toko buku. Ditakutkan malam 
semakin gelap, Cepot memberanikan diri untuk menemui Prabu Puntadewa. "Mohon ijin, Den Bagus, kulo ingin pergi ke toko buku, "
 ucap Cepot sekenanya. Mungkin itulah kalimat terpanjang yang ia dapat 
ucapkan ketika bibirnya bergetar bak mau copot saja. Mendapati dua-tiga 
anggukan, Cepot dapat menyimpulkan bahwa ijin tlah dikantonginya. Maka 
ia bergegas menuju Ponokawan Somen yang telah bersiap di atas Motor 
Revonya. Tanpa dikomando, kedua ponokawan tersebut melaju ke toko buku.
Selang
 waktu dua-tiga jam, Somen telah membawa pulang sebuah novel tentang 
pergerakan mahasiswa era 90-an, berlatar tempat di Kampus Ganesha, Sang 
Dewa Ilmu. Ia dapat menduga bahwa cerita akan mengisahkan mahasiswa yang
 memiliki idealisme dengan dibenturkan masalah akademis. Toh selama ini,
 Kampus Ganesha slalu menjadi idaman para lulusan terbaik dan memiliki 
kecerdasan luar biasa. Benar saja tebakan Somen, novel tersebut 
bercerita tentang seorang anak dari negeri pinggiran dan tak terjamah 
pemerataan pemerintah pusat yang sejak sekolah menengah atas telah 
memiliki idealisme untuk peduli kepada rakyat sekitar. "Peduli itu menyusahkan." Suatu kesimpulan yang didapatkan oleh Somen, ketika membaca beberapa puluh halaman novel bersampul coklat tersebut.
Tak lama bagi Somen untuk menghabiskan sebuah novel. Sebuah gagasan untuk berbagi di Facebook
 hinggap di otaknya. Ia ingin menunjukkan jawaban atas pertanyaan yang 
sedari kemarin ia rangkul, hingga terbawa mimpi. Somen memutuskan untuk 
membagi gambar sampul novel dan memberikan sedikit sinopsis tentang isi 
novel. Setelah sukses terbagi di beranda Facebooknya, ia memutar scroll mouse ke bawah untuk membaca-baca status dan kiriman teman-teman yang kenal dan tak dikenalnya. Baginya facebook adalah tempat orang-orang bebas mau melakukan apa.
Ketika orang-orang berlaku peduli dengan keadaan sekitar dan terkini. Mereka malah terjebak dalam berita hoax dan isu yang berkembang. Seakan setiap akun facebook
 yang melakukan hal tersebut dimanfaatkan untuk menyebarkan kabar angin 
via internet, mereka tak lagi menjadi admin untuk akun mereka sendiri. "Selain kepedulian, pengguna facebook juga harus memiliki kedewasaan,
 " gumam Somen yang sibuk memutar bola mata membaca tulisan-tulisan yang
 disediakan laptopnya. Hingga ia terpesona dengan salah satu komentar 
yang hinggap di status terbarunya. Ada yang berminat untuk meminjam 
novel yang baru ia baca. Sebuah senyum sumringah mungkin saja tercipta 
di wajahnya saat itu. Buru-buru Somen membalas komentar tersebut dengan 
sedikit jaim (jaga imej) dan tak acuh. Sebuah kata terpendek yang bisa 
ia ketikkan, "Ok".
Berbekal
 perasaan yang tak biasa, Somen memutuskan untuk menghubungi seseorang 
yang ingin meminjam novel. Ketika pesannya terkirim, sebuah pesan masuk 
ke kotak masuknya. Ternyata itu adalah pesan dari sahabat Somen, Junet. 
Entah apa yang dipikirkan Somen waktu itu, ia malah memilih untuk hirau.
 Sebuah kalimat "Men, tolong datang ke Negeri Mulyo, Takmir dan Rosed butuh bantuan kita!"
 tak menarik perhatian Somen. Ia malah memilih untuk menunggu balasan 
dari sang peminjam novel. Beberapa menit berlalu, kali ini Junet 
melakukan panggilan kepada Somen. Somen hanya melihat HPnya, 
merasakannya bergetar dan mendengarnya berdering. Di ujung sana, Junet 
tampak sangat kebingungan. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan 
Somen, padahal kedua sahabatnya yang lain, Takmir dan Rosed sedang butuh
 pertolongan.
Karena
 waktu yang dirasa semakin sempit, Junet dengan berat hati memutuskan 
untuk pergi sendiri ke Negeri Mulyo. Entah apapun risiko yang akan ia 
hadapi, entah apapun konsekuensi yang akan ia dapatkan. Bertindak 
semaunya sendiri, adalah salah satu kekurangan Somen. Junet paham betul 
dengan sahabatnya tersebut. Di dalam perjalanan menuju Negeri Mulyo, 
Junet menerawang jauh kenangan ketika bekerja bersama Somen di Negeri 
Legi.
Waktu
 itu turun hujan. Bumi masih belum sepenuhnya meresap air yang tumpah, 
sehingga sepanjang penglihatan Junet hanya terdapat banjir. Banjir ini 
adalah banjir terparah yang terjadi di Negeri Legi, sejak 20 tahun 
terakhir. Usut punya usut, banjir disebabkan oleh tertutupnya pintu air 
di negeri itu, begitulah alasan yang diketahui Junet di kemudian hari. 
Kali ini, Junet sedang menunggu Somen. Somen berjanji akan menjemputnya 
atau bisa dibilang membonceng Junet untuk bersama-sama ke Negeri Semo, 
tempat Ponokawan Rosed tinggal. Mereka berencana akan berlatih bersama. 
Namun sial bagi Junet yang terjebak hujan dan banjir. Harapan masih 
dimiliki Junet kepada Somen untuk menjemputnya di sana. Namun, sampailah
 ia memastikan bahwa 2 jam ia menunggu, tak didapati pula sahabatnya. 
Berkali ia mengirim pesan kepada Somen namun nihil balasan, dan walaupun
 ada satu-dua, isinya hanya 3 huruf singkat "OTW".
Kegusaran
 semakin melanda Ponokawan Junet, ia tak ingin berprasangka buruk kepada
 Somen, namun ia juga tak menafikan sifat buruk Somen yang bisa datang 
tiba-tiba. Somen itu dikendalikan oleh mood, jika baik maka ia 
bak malaikat, jika buruk maka ia tak ubahnya seperti raksasa. Selain itu
 juga Somen berpedoman kepada ekspektasi, kalau-kalau rencananya tak 
berjalan dengan lancar, maka ia tak lagi terlihat seperti Sahabat Junet.
 Dan itu yang sepertinya menjadi masuk akal, Somen telah merencanakan 
semua ini beberapa minggu yang lalu. Namun hujan tiba-tiba mengguyur 
Negeri Legi dan menyisakan banjir. Somen tak bisa menerima ini, Junet 
yakin ia lebih memilih untuk membatalkan rencana ini daripada harus 
bersusah payah datang ke sini. "Sifat buruk Somen sepertinya muncul, menghilangkan rasa kepeduliannya yang pernah kuhargai." Setelah memastikan hatinya, Junet memutuskan untuk tak jadi pergi sembari menyiapkan timba untuk menguras air banjir yang masuk ke istana.
Tidak
 ada angin, tidak ada hujan, hanya berupa lamunan yang sekilas itu Junet
 merasa duka. Negeri Mulyo masih beberapa ratus meter lagi, ia merasakan
 dirinya sudah terhuyung mengenang kejadian setelah hujan waktu itu. 
Somen datang dalam keadaan santai bak tak terjadi apa-apa, namun Junet 
menganggap pembatalan itu adalah musibah. Ia telah meluangkan waktu yang
 sangat berharga untuk menjalani rutinitas di dalam istana Negeri Legi. 
Hingga keduanya bertengkar laksana dua anak kecil yang rebutan bola. 
Keduanya sama-sama merasa benar dan harus dimenangkan argumennya. Somen 
beralasan bahwa waktu itu Motor Revonya sedang ngadat sehingga ia
 tak berkenan menemui Sahabatanya di Negeri Legi. Mata Somen memerah 
karena merasa tak dipercaya, hingga mulutnya penuh kata-kata yang tak 
semestinya ditujukan kepada salah satu ponokawan yang disayangnya. Junet
 tak mau kalah, jambulnya kekanan-ke kiri mengikuti geleng kepala 
menolak alasan yang disampaikan oleh Somen. Hari itu menjadi awal 
pertengkaran di antara dua sahabat tersebut.
Selepas
 mengingat kejadian buruk tersebut, Junet tak mengira telah sampai di 
depan gerbang perbatasan Negeri Mulyo dengan Negeri Suko. Ia terhadang 
oleh badai yang hanya melanda Negeri Mulyo. Sungguh aneh. Namun benar 
seperti kata Takmir di dalam telepon tadi, Raksasa Kamageni yang meminta
 balas dendam kini telah menguasai kekuatan badai. Raksasa kiriman Prabu
 Jikaraya dari Alasayu beberapa tahun yang lalu kini tak bertuan. Ia 
membawa amarah untuknya sendiri.
Beruntung
 bagi Junet karena mempunyai Aji Jambulseok, jambul nya dapat membesar 
untuk melindunginya dari badai, debu yang berterbangan. Lambat-lambat 
Junet menuju ke jantung negeri, dengan bantuan google map ia menuju koordinat yang telah dikirimkan Rosed melalui Whatsapp.
 Ia melewati desa yang hampir semua rumah tertutup rapat pintu dan 
jendelanya. Ia berharap warga desa tak kenapa-kenapa atas ulah Raksasa 
Kamageni. Badai semakin dirasa semakin memberatkan langkahnya, namun 
Junet masih saja teguh hati untuk membantu Takmir dan Rosed mengalahkan 
Raksasa Kamageni. Junet tak tahu mengapa Rosed dan Takmir belum juga 
mengalahkan Raksasa Kamageni.
Dilihatnya
 sesosok besar di depan, lebih besar daripada beberapa tahun yang lalu. 
Juga ada 2 orang sedang berusaha menumbangkannya. Junet semakin 
mendekati mereka, namun badai tetap saja tak mau berhenti. Ketika Junet 
sampai di samping Takmir dan Rosed yang sudah kuwalahan dan bernafas 
berat, Raksasa Kamageni mengeluarkan api dari keringatnya, burung-burung
 telah sembunyi di sela-sela bangunan, pohon-pohon tak kuasa menahan 
debu-debu berat, langit semakin gelap dibuatnya, Junet bertanya kepada 
Takmir, "Mir, bukankah kelemahan Raksasa ini ada pada 
selangkangannya? Sama seperti kita mengalahkan muka jelek ini beberapa 
tahun yang lalu?". Sembari istirah dari perkelahian, Takmir mulai bercerita dan mengungkapkan analisa. 
Kelemahan
 Raksasa Kamageni tak lagi ada pada selangkangan, sebelumnya Takmir dan 
Rosed telah berulang kali menyerang bagian tersebut namun tak ada 
apa-apa. Tubuh Raksasa bermuka jelek ini tak hancur jua. Ketika ditanya 
mengenai motivasinya menyerang Kerajaan Mulyo, ia hanya berkata ingin 
membalaskan dendam. Tak ubahnya seperti raksasa tak berotak, ia mulai 
menebarkan terror dengan memanggil badai penuh debu kepada Negeri yang 
terkenal asri ini. Rakyat menjadi takut keluar rumah, karena memang tak 
pernah menjumpai badai seperti ini. Ketika Junet bertanya kepada Takmir 
perihal kembalinya Raksasa yang pernah hancur lebur tersebut, Takmir 
menjelaskan bahwa Raksasa ini memiliki kekuatan yang sama seperti 
Dasamuka, namun lebih lemah. Setelah menghancurkan tubuh Raksasa 
Kamageni, keempat ponokawan menuju Kerajaan Alasayu tanpa memastikan 
Kamageni benar-benar kalah dan tak kembali menjelma. Rupanya waktu itu, 
potongan-potongan tubuh Kamageni kembali menyatu. Walaupun telah kembali
 berperawakan besar, Kamageni tak mau langsung membalas dendam.
Sebenarnya
 bukan balas dendam karena telah dikalahkan oleh keempat ponokawan, 
melainkan Kamageni telah dipermalukan oleh Prabu Jikaraya. Sepulangnya 
ia ke kerajaan dimana Sang Prabu berada, dan tanpa hasil. Ia dihajar 
habis-habisan oleh Raksasa lain yang juga mengabdi kepada Sang Prabu 
bermuka bengis itu. Kamageni hanya bisa pasrah, walaupun sejatinya ia 
adalah raksasa juga. Selepas itu, bukan Prabu Jikaraya yang disalahkan, 
melainkan keempat ponokawan yang harus menerima amarahnya. Berbekal link
 kenalan beberapa raksasa, ia berguru kepada mereka dan mempelajari 
serangan badai, namun ada satu kelemahan fatal yang dimilikinya. Ia 
hirau terhadap itu dan sampailah pada perkelahian hari ini.
Junet manggut 
dengan penjelasan Takmir. Seketika itu juga Junet melipat jambulnya, 
mengeluarkan gada kebanggaannya dan mengambil kuda-kuda. Dirasa ada 
sesuatu yang janggal, Rosed bertanya, "Dimanakah Somen?" Junet 
sedih mendapati akhirnya pertanyaan itu datang juga. Junet tak tahu apa 
alasan Somen mengapa ia tak merespon panggilannya, tak memberi pesan 
pula. Junet hanya bisa menggelengkan kepala. Mungkin itu cara terbaik 
daripada ia memuntahkan berbagai spekulasi yang ada di otaknya.
Walaupun,
 sosok pemimpin itu tak hadir. Ketiga ponokawan masih sangat kuat dengan
 senjata masing-masing. Seperti ketika berhadapan dengan Raksasa 
Kamageni sebelumnya, Takmir telah menyiapkan anak panah. Kali ini 
benar-benar 50 anak panah, berbeda dengan larangan Somen waktu itu. 
Dengan tambahan personil, Rosed kini semakin bersemangat, kelincahannya 
bertambah, kedua pedangnya juga begitu, sangat ringan untuk dibawa. 
Junet menyiapkan gada remote controlnya.
Wuuusshh,
 sekali tarikan dan hentakan, 50 anak panah itu melayang menuju Raksasa 
Kamageni. Anak-anak panah tersebut menancap kepada bagian tubuh Raksasa 
Kamageni. Sejatinya anak-anak panah tersebut digunakan untuk mencari 
titik lemah sang raksasa. Dirasa tak juga menemukan kelemahan, kini 
Rosed kembali mengibaskan pedang-pedang di tangan kanan dan kiri. Ia 
melompat-lompat menghindari serangan Kamageni. Memotong kaki-kaki yang 
bisa tumbuh kembali, hanya sekedar mengulur waktu dan melemahkan 
kekuatan Kamageni. Junet kini yang harus memeras otak, ia harus segera 
menemukan cara untuk mengalahkan Raksasa yang dirasa semakin kuat itu. 
Hingga akhirnya dia menyadari bahwa badai tak sekuat sebelumnya. Ya! 
Badai itu kini semakin melemah. Ketika ia menatap muka Kamageni, ia 
mendapat ada gelagat yang aneh. Kamageni seakan menutupi rasa ketakutan.
 Sementara Takmir dan Rosed menyerang Kamageni tiada henti, Junet 
kembali berpikir.
Badai
 kini benar-benar berlalu, cahaya matahari kini kembali menerangi 
negeri. Kamageni teringat akan suatu hal bahwa badai pasti berlalu. Ia 
tak bisa lagi menghindar, kesalahannya adalah ia tak dapat langsung 
menghabisi para ponokawan selagi badai masih menghadang. Ia menyesal, 
bak ketika ia tak menyatakan cintanya kepada Hidimbi, raksasa cantik 
jelita yang akhirnya dinikahi oleh Bimasena.
Junet
 menangkap kegelisahan pada diri Kamageni. Dari gerak-gerik dan 
sikapnya, Kamageni berusaha untuk melindungi selangkangannya. Baik 
Junet, Takmir dan Rosed mengetahui hal tersebut. Dengan saling 
mengangguk, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Badai tak lagi 
melindungi tubuh Kamageni sehingga kini mereka dapat leluasa 
menghancurkan tubuh besarnya.
50
 anak panah kini disiapkan Takmir kembali. Kedua pedang Rosed juga siap 
memotong bagian tubuh Kamageni. Gada Junet siap dilemparkan kembali. 
Kamageni yang tak berotak itu masih mementingkan gengsi dan amarah balas
 dendam daripada melarikan diri, walaupun ajalnya kini kembali 
mendekati.
Rosed
 mulai mendekati Kamageni, ia mengincar kedua kaki besar raksasa itu. 
Dengan dua kali tebasan, kaki Kamageni putus. Tak menunggu tumbuh 
kembali, Junet melempar gadanya. Gada tersebut melaju sangat cepat dan 
terbelah menjadi dua ketika mendekat Kamageni. Kedua gada Junet 
meremukkan kedua tangan berotot raksasa bermuka jelek. Kini tinggal 
Takmir sebagai eksekutor terakhir, 50 anak panah diluncurkan menuju 
selangkangan Kamageni. Wuussshh. Anak-anak panah itu melesat, 
melesap ketika menancap pada selangkangan yang hina itu. Tubuh raksasa 
Kamageni hancur lebur, bagian-bagian tubuhnya muncrat tak tersisa. 
Karena tak ingin mengulang kesalahan yang sama, ketiga ponokawan 
menggunakan kekuatan dari Dewa Bayu untuk menerbangkan bagian-bagian 
tubuh Kamageni supaya tak kembali menyatu.
Senja
 ketika ketiga ponokawan tersenyum bahagia karena berhasil mengalahkan 
Raksasa Kamageni dan melindungi Negeri Mulyo, burung-burung keluar dari 
persembunyian, pohon-pohon tampak senang debu-debunya dihembuskan angin,
 Somen menunggu sang peminjam novel di depan halte kampusnya. Somen tak 
mengetahui apa yang barusan menimpa sahabatnya.
Waktu
 itu Somen tetap jaim dan sedikit tak acuh. Kata-kata singkat ketika 
menghadapi sang peminjam novel, ia tak banyak kata walaupun berbagai 
retorika telah disiapkan hatinya. Pertemuan singkat tersebut berbekas di
 hati ponokawan Somen. Hingga ketika keduanya saling berpamitan, Somen 
masih tak bisa menutupi perasaan bahagia.
Keesokan harinya, ketika Somen tersadar dengan pesan yang dikirimkan Junet kemarin, ia menghubungi ponokawan sahabatnya itu. "Jun, ada apa? Kemarin minta bantuan apa?" Karena mood
 baik kini merasuki jiwa Somen, kepedulian itu muncul. Somen berharap 
ada respon yang cepat dari sahabatnya tersebut. Benar saja, Junet 
membalasnya dengan cepat, namun juga singkat. 3 huruf memuakkan. GPP. 
Begitulah bunyi yang mengganggu pikiran Somen. "Beneran Jun?" Kata-kata selanjutnya untuk Junet.
 Kali ini tidak ada respon. Somen semakin penasaran sekaligus ada 
perasaan bersalah di hatinya. Ia mencoba menghubungi Takmir dan Rosed. Dengan pertanyaan yang sama, Somen malah mendapat pertanyaan. "Kemarin kamu kemana? Kami membutuhkan bantuan kamu untuk mengalahkan Raksasa yang sama dengan yang dikirimkan Prabu Jikaraya beberapa tahun yang lalu."
 Ketika mengetahui kenyataan tersebut, dada Somen menjadi sesak, 
pernafasannya menjadi susah. Ia menjadi sangat hina karena tak membantu 
sahabatnya padahal dahulu sahabatnya yang membantu Somen untuk 
mengalahkan raksasa yang dikirim untuk membunuhnya. Mungkin 
permasalahannya dengan Takmir dan Rosed tak begitu parah, Somen 
memutuskan untuk melaju Motor Revo menuju Negeri Legi, menemui Junet.
Kacap
 kacarita, Somen telah berada di Negeri Legi, negeri yang beberapa waktu
 lalu dilanda banjir. Setelah memarkir motor, Somen mencari ponokawan 
bertubuh gemuk dan berjambul itu di sekeliling kerajaan. Berbagai 
ponokawan dan abdi dalem ditanya Somen namun hasilnya nihil. Ia tak 
menjumpai Junet dimanapun, mungkin ia tak berada di negeri tersebut. 
Padahal kali ini ia ingin mengucapkan maaf setulusnya dan berjanji tak 
akan mengulanginya. Setidaknya itu yang bisa ia pikirkan, terlepas dari 
Junet mau menemuinya atau tidak.
"Kepedulian itu magis. Di waktu tertentu ia bisa sangat merasuki jiwa, namun di kala lain ia tak bersisa di sukma."
Kali
 ini Somen benar-benar tak dapat berpikir, perasaan gundah memuncaki 
otak. Lorong kampus benar-benar sepi dibuat oleh khayalan Somen. 
Kaki-kakinya kini tak lagi selincah sebelumnya. Satu-dua orang menyalip 
Somen, padahal Somen biasanya berjalan sangat cepat. Berat dirasakan, 
maka berimbas pada kecepatan kakinya. Tibalah Somen pada hall kampusnya.
 Ia lalu mencari kursi yang sekiranya kosong dan sepi. Memutar kepala ke
 kanan dan ke kiri beberapa kali ia telah menemukan apa yang ia cari. 
Berjalanlah Somen ke arah kursi di depan perpustakaan kampusnya. Di 
sana, ia hanya terbayang seorang yang tiba-tiba hadir di kehidupannya. 
Perasaan gundah tersebut melebihi perasaan bersalahnya dari Junet. Yang 
beberapa waktu yang lalu ia kecewakan karena ketidak-peduliannya.
Hari-hari
 menjelang malam dihabiskan Somen dengan memandangi ponokawan lain yang 
lalu lalang di depannya. Somen bisa saja menyapa mereka semua, namun ia 
memilih untuk diam. Ia benar-benar tak menyangka mengalami perasaan yang
 seperti ini. Perasaan yang sama ketika ia mencintai Dewi Kencana Asri, 
namun kali ini ia tambatkan rasa itu bukan pada sang dewi. Di dalam 
asyik lamunannya, ia dikejutkan dengan kehadiran ponokawan Gita. Somen 
terheran karena ponokawan satu tersebut belum kembali ke negerinya, 
padahal biasanya yang pertama meninggalkan kampus. "Ada apa Somen?" tanya Gita sekenanya. Mungkin saja ada etikat baik dari Gita dengan pertanyaan tersebut. Mungkin saja ia dapat sedikit menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh ponokawan Somen. Somen memulai pembicaraan dengan menceritakan pertemuannya dengan orang yang meminjam novelnya, berlanjut ke masalah TA, hingga masalah dengan sahabatnya, Junet. Gita hanya bisa manggut-manggut mendengarkan curahan hati ponokawan Somen. Ponokawan berkacamata tersebut sepertinya memahami apa yang sedang dilanda Somen. Gita membuka pertanyaan kembali, menanyakan mana yang lebih dahulu ingin Somen bahas. Somen menyarankan masalah TA. Gita menyetujui, karena permasalahan Tugas Akhir adalah masalah yang sama dihadapinya. 
"Dari Tugas Akhir, kita tidak hanya belajar mengenai tanggung-jawab, melainkan juga belajar mengenai prioritas. Apakah TA merupakan prioritas tertinggi ataukah ada yang lebih tinggi daripada TA, itu adalah keputusan kita. Dari Tugas Akhir, kita juga belajar mengenai kepedulian. Bukan hanya peduli dengan TA kita, namun juga peduli dengan TA teman-teman, walaupun kadang peduli itu menyusahkan. " Somen terhenyak dengan kalimat terakhir, ia menyetujui bahwa peduli itu menyusahkan. Gita melanjutkan, "Aku salut dengan orang-orang yang masih peduli, karena mereka mau menanggung risiko untuk sakit hati. Peduli adalah kata lain dari sakit hati. Semakin orang peduli, maka risiko sakit hati semakin tinggi."
Somen tersadar dengan kata-kata Gita, ponokawan yang satu ini memang sangat cocok untuk dimintai masukan. Lalu mengenai cinta, kepada sang peminjam novel, Gita memberikan nasihat, "Kalau memang benar kamu mencintainya, lakukanlah hal-hal yang baik, jagalah kehormatan mu dan kehormatan orang itu. Namun, jika kamu belum yakin tentang perasaan itu, yakinkanlah hatimu, jangan-jangan itu bukan perasaan cinta melainkan hanya rasa peduli yang terlalu nikmat. Memang sih, kalau kita terlalu peduli dengan seorang wanita, kita mengiranya itu adalah perasaan cinta." 
Kali ini Somen kembali tersadar dengan kata-kata Gita, mungkin saja bukan perasaan istimewa yang berlabuh di hatinya, melainkan hanya angin lalu yang dapat pergi kapan saja. Namun Somen tak mengira bahwa rasa peduli juga terkandung di dalam perasaannya ini. Somen berpikir kembali mengenai rasa itu. Mungkin saja benar, rasa itu hanyalah rasa peduli, bukan yang lain. Karena ketika Somen tak acuh dan tak peduli, wajah sang peminjam novel tak ada di dalam bayangannya. Benar. Somen semakin yakin, bahwa perasaan ini bukanlah perasaan cinta, melainkan hanyalah rasa peduli yang berlebih. Somen terlalu peduli dengan kesibukannya, tentang kuliahnya, tentang keluarganya, tentang segala sesuatu tentangnya. Ia merasa sangat susah dengan apa yang telah dikerjakannya. Ada perasaan menyesal menggelayuti dadanya. Ia terlalu banyak berharap. Terlalu menarget masa depan yang muluk-muluk. Mencocok-cocokkan semua yang dimilikinya dengan orang itu. 
Somen kini merasa lega, dua masalahnya telah sedikit berkurang. Lalu sampailah mereka pada pembahasan terakhir, "Kalau Junet memang sahabatmu, ia tidak akan marah dan membencimu, walaupun kau telah melakukan kesalahan terbesar sekalipun. Sahabat tidak akan meninggalkanmu walaupun kau menjadi orang terjahat di muka bumi, ia akan senantiasa membawamu kembali ke dalam kebaikan jika memang itu yang terjadi. Sahabat adalah segalanya, bukanlah 4 tahun ini kalian telah bersama dan menghadapi permasalahan yang sama lalu kalian telah menyelesaikan permasalahan tersebut?" Gita benar. Somen dan Junet pernah mengalami permasalahan serupa, dan mereka telah menyelesaikannya bersama. Berkat kata-kata Gita, Somen kini tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa waktu lama, Somen mengeluarkan HP dari sakunya, "Jun, aku tunggu hari minggu di danau Wanituwo di Negeri Sirumina. Aku ingin bertemu." Begitulah pesan yang dikirimkan kepada Junet. Tak menunggu lama pula sebuah balasan dikirimkan Junet, "Oke Men." Somen sumringah membaca balasan cepat dari Junet.
Kini Somen tak tahu harus berterima kasih macam apa untuk Gita, ponokawan yang mendengarkan curahan hatinya dan menyelesaikan permasalahannya. Gita hanya bisa tersenyum dan mengajak Somen untuk pulang bersama. Karena jalan pulang yang dilalui sama, Gita dan Somen kerap pulang bersama.
Hari Minggu telah tiba, siang pun berlalu, perasaan bersalah itu masih memuncaki Somen. Dengan perasaan yang belum tenang, Somen melaju ke Negeri Sirumina.
Setibanya di sana, Somen mengambil tempat di pinggir danau. Ia melamun bak memikirkan wanita, namun kali ini sahabatnya lah yang ada di pikirannya. Somen melihat perahu perahu yang lewat di depannya. Daun-daun yang jatuh ke dalam danau. Suasana sore di pinggir danau yang tenang tak juga membuat hati Somen tak gelisah. Ia masih takut Junet masih marah dengan apa yang telah diperbuatnya. Jingga semakin memenuhi ufuk barat, Somen tak menyadari bahwa Junet telah berdiri 1-2 meter di belakangnya. Burung-burung yang bertebangan mengalihkan fokus Somen sampai-sampai ia tak mendengar pertanyaan Junet yang kini telah berada di belakangnya. Hingga ia dikejutkan oleh tepukan Junet di pundaknya.
Somen memandang Junet dengan mata sayu, hatinya masih sesak. Ia memikirkan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada sahabat terkasih tersebut. "Jun, maafkan aku." Somen tak punya kata-kata lebih panjang dari itu. Somen hanya menangkap rasa kebingungan dari wajah Junet. "Iya Men, kalau ini masalah di Negeri Mulyo, aku sudah memaafkan koq, aku tahu kalau kamu banyak pikiran. Aku malah mengkhawatirkanmu karena kamu sejak tadi melamun sendiri. Kamu kenapa emangnya?" Somen menjelaskan mengenai cinta dan TA. Kali ini Junet paham, ia memahami permasalahan yang dihadapi oleh sahabatnya tersebut. "Semangat Men! Kalau kamu wisuda, aku, Takmir dan Rosed akan menyambutmu!" Somen sangat bahagia dengan perkataan Junet. Permasalahannya dengan Junet telah selesai dan berakhir bahagia.
"Kepedulian itu adalah hal termewah yang bisa kamu dapatkan, dari siapapun dan kapanpun. Maka kamu pula jangan segan untuk memberikannya kepada siapapun dan kapanpun. Dan jangan takut dibuat susah karenanya."
Komentar
Posting Komentar