Langsung ke konten utama

Peduli itu Menyusahkan

"Aku takut kalau aku tak lagi peduli, " ucap Ponokawan Somen sembari berjalan menjauh. Ponokawan Junet hanya bisa tertegun mendengar perkataan sahabatnya tersebut. Junet hanya bisa menerka maksud dari ucapan Somen, tanpa punya niatan untuk bertanya kepada salah satu ponokawan terbaik di negerinya itu. Junet memahami bahwa permasalahan yang dihadapi Somen saat ini tidak hanya masalah fisik, namun juga psikis. Junet sering mendapati Somen kerap menirukan ucapan orang-orang terkenal yang berkaitan dengan filsafat kehidupan, khususnya mengenai kepedulian. Atau jika tak begitu, Somen sering merenung sendiri, sama seperti ketika Junet menerima ajakan Somen di suatu senja yang jingga. Ketika para fotografer berebutan untuk mengabadikan keindahan kaki-kaki langit.

Somen waktu itu duduk termenung di pinggir danau Wanituwo di Negeri Sirumina. Di atas duduknya yang membeku, tatapan Somen kosong. Beberapa kali merubah posisi tangan dan kaki juga belum mampu menjawab pertanyaan Junet yang waktu itu menatapnya jarak 1-2 meter di belakang. Karena tak jua mendapatkan jawaban atas analisa dan pengamatan, Junet menghampiri sahabatnya itu dan memberanikan diri untuk mengeluarkan kata-kata, "Mengapa kamu ajak aku kesini Men?" Lirih suara yang dihasilkan. Mendapati Somen tiada respon terhadap kalimat pertama itu, Junet menggunakan tangan kanannya untuk menepuk pundak Somen dan berkata kalimat kedua, "He Men, kamu kenapa?" Di rasa terlalu mengagetkan, Somen tersentak dari posisi duduk bersila. Somen hanya bisa menggelengkan kepala yang seakan dipenuhi oleh rasa bersalah. Dalam tatapannya kepada kedua mata Junet, Somen terbawa ke dalam ingatan beberapa hari yang lalu.


Di kampus, tepatnya hari Jumat, Somen memaknai hari tersebut sebagai hari tanpa Tugas Akhir. Di akhir kuliah yang semakin menyempit ini, Somen hanya bisa pasrah dengan keadaan waktu yang tak bisa terkontrol. Di waktu ia memiliki luang, ia tak berdaya mendapati moodnya memburuk. Di waktu ia memiliki kebahagiaan, waktu tak tersedia baginya. Sama seperti sore itu, ketika mega-mega merah mulai merambah langit. Somen berjalan sedikit tertatih di sepanjang koridor kampus. Menimbang-nimbang perasaan yang tiba-tiba memuncaki pikirannya. "Aku tak ingin peduli, namun ketika aku tak acuhkan rasa itu, ia kembali." Begitulah yang diucapkan Somen dengan memandangi kaki-kakinya membawanya pergi, entah kemana. Ia merasakan tabu antara memikirkan cinta atau cinTA. Baginya cinta hanyalah masalah saklar ON/OFF, ia bisa kapan saja mendatangkannya dan kapan saja memulangkannya. Namun tidak kali ini, ia tahu betul bahwa rasa yang dimilikinya adalah rasa yang belum pernah ia rasakan. Bukan rasa eskrim yang dibelinya di kantin kampus, manis memang, namun rasa ini jauh lebih manis. Bukan rasa durian yang ia benci selama ini, walaupun bencinya menjadi-jadi, namun rasa ini tetap dirindukannya. Bukan rasa perkedel kentang yang gurih dan slalu memunculkan sensasi, bikin nagih namun rasa ini jauh lebih dari itu. Rasa ini adalah masalah masa depan.

"Jika dua insan telah digariskanNya untuk hidup bersama, maka sedahsyat apapun jarak memisahkan, bahkan meskipun mereka tak saling mengenal sebelumnya, keduanya tetap akan kembali menyatu... "

Kalimat tersebut yang sejak tadi berlarian di kepalanya. Walaupun konsep jodoh suka ia pelajari secara otodidak, namun kali ini ia ingin mendapatkan jawabannya langsung, entah dari siapa dan dari mana. Meski ia harus membeli buku-buku yang menyediakan pengetahuan tentang itu. Somen slalu menempatkan buku menjadi pilihan pertama ketika ia memikul sebuah pertanyaan. Sama halnya ketika ia berada dalam kegalauan mengenai konsep mahasiswa. Sebelum menjadi mahasiswa, Somen pernah mendapati bahwa hatinya memiliki idealisme. Tentang perjuangan melawan monarki kerajaan yang dikuasai Para Raksasa, tentang pengabdian kepada masyarakat dunia pewayangan, tentang hal-hal di luar akademis yang seharusnya ia perjuangkan. Pun hal-hal itu membawa Somen pada sebuah pertanyaan, "Bagaimana dahulu para mahasiswa membawa idealisme mereka?" hingga ia berada di sebuah toko buku yang sering ia kunjungi.

Waktu itu malam hari, Somen mengajak salah satu ponokawan paling konyol dari Desa Karang Kabolotan, Cepot. Cepot yang memiliki nama lain Bagong atau Astrajingga tersebut hendak pamit kepada ayahnya, Semar. Namun ia terkendala birokrasi kerajaan Astina yang berbelit. Ketika ia sampai di depan pintu keraton, hatinya buncah. Ia takut kena marah. Kaki-kaki gemetar ketika melihat Somen telah ada di sana dan siap berangkat. Ia belum juga mendapat restu untuk pergi ke toko buku. Ditakutkan malam semakin gelap, Cepot memberanikan diri untuk menemui Prabu Puntadewa. "Mohon ijin, Den Bagus, kulo ingin pergi ke toko buku, " ucap Cepot sekenanya. Mungkin itulah kalimat terpanjang yang ia dapat ucapkan ketika bibirnya bergetar bak mau copot saja. Mendapati dua-tiga anggukan, Cepot dapat menyimpulkan bahwa ijin tlah dikantonginya. Maka ia bergegas menuju Ponokawan Somen yang telah bersiap di atas Motor Revonya. Tanpa dikomando, kedua ponokawan tersebut melaju ke toko buku.

Selang waktu dua-tiga jam, Somen telah membawa pulang sebuah novel tentang pergerakan mahasiswa era 90-an, berlatar tempat di Kampus Ganesha, Sang Dewa Ilmu. Ia dapat menduga bahwa cerita akan mengisahkan mahasiswa yang memiliki idealisme dengan dibenturkan masalah akademis. Toh selama ini, Kampus Ganesha slalu menjadi idaman para lulusan terbaik dan memiliki kecerdasan luar biasa. Benar saja tebakan Somen, novel tersebut bercerita tentang seorang anak dari negeri pinggiran dan tak terjamah pemerataan pemerintah pusat yang sejak sekolah menengah atas telah memiliki idealisme untuk peduli kepada rakyat sekitar. "Peduli itu menyusahkan." Suatu kesimpulan yang didapatkan oleh Somen, ketika membaca beberapa puluh halaman novel bersampul coklat tersebut.

Tak lama bagi Somen untuk menghabiskan sebuah novel. Sebuah gagasan untuk berbagi di Facebook hinggap di otaknya. Ia ingin menunjukkan jawaban atas pertanyaan yang sedari kemarin ia rangkul, hingga terbawa mimpi. Somen memutuskan untuk membagi gambar sampul novel dan memberikan sedikit sinopsis tentang isi novel. Setelah sukses terbagi di beranda Facebooknya, ia memutar scroll mouse ke bawah untuk membaca-baca status dan kiriman teman-teman yang kenal dan tak dikenalnya. Baginya facebook adalah tempat orang-orang bebas mau melakukan apa.

Ketika orang-orang berlaku peduli dengan keadaan sekitar dan terkini. Mereka malah terjebak dalam berita hoax dan isu yang berkembang. Seakan setiap akun facebook yang melakukan hal tersebut dimanfaatkan untuk menyebarkan kabar angin via internet, mereka tak lagi menjadi admin untuk akun mereka sendiri. "Selain kepedulian, pengguna facebook juga harus memiliki kedewasaan, " gumam Somen yang sibuk memutar bola mata membaca tulisan-tulisan yang disediakan laptopnya. Hingga ia terpesona dengan salah satu komentar yang hinggap di status terbarunya. Ada yang berminat untuk meminjam novel yang baru ia baca. Sebuah senyum sumringah mungkin saja tercipta di wajahnya saat itu. Buru-buru Somen membalas komentar tersebut dengan sedikit jaim (jaga imej) dan tak acuh. Sebuah kata terpendek yang bisa ia ketikkan, "Ok".

Berbekal perasaan yang tak biasa, Somen memutuskan untuk menghubungi seseorang yang ingin meminjam novel. Ketika pesannya terkirim, sebuah pesan masuk ke kotak masuknya. Ternyata itu adalah pesan dari sahabat Somen, Junet. Entah apa yang dipikirkan Somen waktu itu, ia malah memilih untuk hirau. Sebuah kalimat "Men, tolong datang ke Negeri Mulyo, Takmir dan Rosed butuh bantuan kita!" tak menarik perhatian Somen. Ia malah memilih untuk menunggu balasan dari sang peminjam novel. Beberapa menit berlalu, kali ini Junet melakukan panggilan kepada Somen. Somen hanya melihat HPnya, merasakannya bergetar dan mendengarnya berdering. Di ujung sana, Junet tampak sangat kebingungan. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Somen, padahal kedua sahabatnya yang lain, Takmir dan Rosed sedang butuh pertolongan.

Karena waktu yang dirasa semakin sempit, Junet dengan berat hati memutuskan untuk pergi sendiri ke Negeri Mulyo. Entah apapun risiko yang akan ia hadapi, entah apapun konsekuensi yang akan ia dapatkan. Bertindak semaunya sendiri, adalah salah satu kekurangan Somen. Junet paham betul dengan sahabatnya tersebut. Di dalam perjalanan menuju Negeri Mulyo, Junet menerawang jauh kenangan ketika bekerja bersama Somen di Negeri Legi.

Waktu itu turun hujan. Bumi masih belum sepenuhnya meresap air yang tumpah, sehingga sepanjang penglihatan Junet hanya terdapat banjir. Banjir ini adalah banjir terparah yang terjadi di Negeri Legi, sejak 20 tahun terakhir. Usut punya usut, banjir disebabkan oleh tertutupnya pintu air di negeri itu, begitulah alasan yang diketahui Junet di kemudian hari. Kali ini, Junet sedang menunggu Somen. Somen berjanji akan menjemputnya atau bisa dibilang membonceng Junet untuk bersama-sama ke Negeri Semo, tempat Ponokawan Rosed tinggal. Mereka berencana akan berlatih bersama. Namun sial bagi Junet yang terjebak hujan dan banjir. Harapan masih dimiliki Junet kepada Somen untuk menjemputnya di sana. Namun, sampailah ia memastikan bahwa 2 jam ia menunggu, tak didapati pula sahabatnya. Berkali ia mengirim pesan kepada Somen namun nihil balasan, dan walaupun ada satu-dua, isinya hanya 3 huruf singkat "OTW".

Kegusaran semakin melanda Ponokawan Junet, ia tak ingin berprasangka buruk kepada Somen, namun ia juga tak menafikan sifat buruk Somen yang bisa datang tiba-tiba. Somen itu dikendalikan oleh mood, jika baik maka ia bak malaikat, jika buruk maka ia tak ubahnya seperti raksasa. Selain itu juga Somen berpedoman kepada ekspektasi, kalau-kalau rencananya tak berjalan dengan lancar, maka ia tak lagi terlihat seperti Sahabat Junet. Dan itu yang sepertinya menjadi masuk akal, Somen telah merencanakan semua ini beberapa minggu yang lalu. Namun hujan tiba-tiba mengguyur Negeri Legi dan menyisakan banjir. Somen tak bisa menerima ini, Junet yakin ia lebih memilih untuk membatalkan rencana ini daripada harus bersusah payah datang ke sini. "Sifat buruk Somen sepertinya muncul, menghilangkan rasa kepeduliannya yang pernah kuhargai." Setelah memastikan hatinya, Junet memutuskan untuk tak jadi pergi sembari menyiapkan timba untuk menguras air banjir yang masuk ke istana.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, hanya berupa lamunan yang sekilas itu Junet merasa duka. Negeri Mulyo masih beberapa ratus meter lagi, ia merasakan dirinya sudah terhuyung mengenang kejadian setelah hujan waktu itu. Somen datang dalam keadaan santai bak tak terjadi apa-apa, namun Junet menganggap pembatalan itu adalah musibah. Ia telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk menjalani rutinitas di dalam istana Negeri Legi. Hingga keduanya bertengkar laksana dua anak kecil yang rebutan bola. Keduanya sama-sama merasa benar dan harus dimenangkan argumennya. Somen beralasan bahwa waktu itu Motor Revonya sedang ngadat sehingga ia tak berkenan menemui Sahabatanya di Negeri Legi. Mata Somen memerah karena merasa tak dipercaya, hingga mulutnya penuh kata-kata yang tak semestinya ditujukan kepada salah satu ponokawan yang disayangnya. Junet tak mau kalah, jambulnya kekanan-ke kiri mengikuti geleng kepala menolak alasan yang disampaikan oleh Somen. Hari itu menjadi awal pertengkaran di antara dua sahabat tersebut.

Selepas mengingat kejadian buruk tersebut, Junet tak mengira telah sampai di depan gerbang perbatasan Negeri Mulyo dengan Negeri Suko. Ia terhadang oleh badai yang hanya melanda Negeri Mulyo. Sungguh aneh. Namun benar seperti kata Takmir di dalam telepon tadi, Raksasa Kamageni yang meminta balas dendam kini telah menguasai kekuatan badai. Raksasa kiriman Prabu Jikaraya dari Alasayu beberapa tahun yang lalu kini tak bertuan. Ia membawa amarah untuknya sendiri.

Beruntung bagi Junet karena mempunyai Aji Jambulseok, jambul nya dapat membesar untuk melindunginya dari badai, debu yang berterbangan. Lambat-lambat Junet menuju ke jantung negeri, dengan bantuan google map ia menuju koordinat yang telah dikirimkan Rosed melalui Whatsapp. Ia melewati desa yang hampir semua rumah tertutup rapat pintu dan jendelanya. Ia berharap warga desa tak kenapa-kenapa atas ulah Raksasa Kamageni. Badai semakin dirasa semakin memberatkan langkahnya, namun Junet masih saja teguh hati untuk membantu Takmir dan Rosed mengalahkan Raksasa Kamageni. Junet tak tahu mengapa Rosed dan Takmir belum juga mengalahkan Raksasa Kamageni.

Dilihatnya sesosok besar di depan, lebih besar daripada beberapa tahun yang lalu. Juga ada 2 orang sedang berusaha menumbangkannya. Junet semakin mendekati mereka, namun badai tetap saja tak mau berhenti. Ketika Junet sampai di samping Takmir dan Rosed yang sudah kuwalahan dan bernafas berat, Raksasa Kamageni mengeluarkan api dari keringatnya, burung-burung telah sembunyi di sela-sela bangunan, pohon-pohon tak kuasa menahan debu-debu berat, langit semakin gelap dibuatnya, Junet bertanya kepada Takmir, "Mir, bukankah kelemahan Raksasa ini ada pada selangkangannya? Sama seperti kita mengalahkan muka jelek ini beberapa tahun yang lalu?". Sembari istirah dari perkelahian, Takmir mulai bercerita dan mengungkapkan analisa.

Kelemahan Raksasa Kamageni tak lagi ada pada selangkangan, sebelumnya Takmir dan Rosed telah berulang kali menyerang bagian tersebut namun tak ada apa-apa. Tubuh Raksasa bermuka jelek ini tak hancur jua. Ketika ditanya mengenai motivasinya menyerang Kerajaan Mulyo, ia hanya berkata ingin membalaskan dendam. Tak ubahnya seperti raksasa tak berotak, ia mulai menebarkan terror dengan memanggil badai penuh debu kepada Negeri yang terkenal asri ini. Rakyat menjadi takut keluar rumah, karena memang tak pernah menjumpai badai seperti ini. Ketika Junet bertanya kepada Takmir perihal kembalinya Raksasa yang pernah hancur lebur tersebut, Takmir menjelaskan bahwa Raksasa ini memiliki kekuatan yang sama seperti Dasamuka, namun lebih lemah. Setelah menghancurkan tubuh Raksasa Kamageni, keempat ponokawan menuju Kerajaan Alasayu tanpa memastikan Kamageni benar-benar kalah dan tak kembali menjelma. Rupanya waktu itu, potongan-potongan tubuh Kamageni kembali menyatu. Walaupun telah kembali berperawakan besar, Kamageni tak mau langsung membalas dendam.

Sebenarnya bukan balas dendam karena telah dikalahkan oleh keempat ponokawan, melainkan Kamageni telah dipermalukan oleh Prabu Jikaraya. Sepulangnya ia ke kerajaan dimana Sang Prabu berada, dan tanpa hasil. Ia dihajar habis-habisan oleh Raksasa lain yang juga mengabdi kepada Sang Prabu bermuka bengis itu. Kamageni hanya bisa pasrah, walaupun sejatinya ia adalah raksasa juga. Selepas itu, bukan Prabu Jikaraya yang disalahkan, melainkan keempat ponokawan yang harus menerima amarahnya. Berbekal link kenalan beberapa raksasa, ia berguru kepada mereka dan mempelajari serangan badai, namun ada satu kelemahan fatal yang dimilikinya. Ia hirau terhadap itu dan sampailah pada perkelahian hari ini.

Junet manggut dengan penjelasan Takmir. Seketika itu juga Junet melipat jambulnya, mengeluarkan gada kebanggaannya dan mengambil kuda-kuda. Dirasa ada sesuatu yang janggal, Rosed bertanya, "Dimanakah Somen?" Junet sedih mendapati akhirnya pertanyaan itu datang juga. Junet tak tahu apa alasan Somen mengapa ia tak merespon panggilannya, tak memberi pesan pula. Junet hanya bisa menggelengkan kepala. Mungkin itu cara terbaik daripada ia memuntahkan berbagai spekulasi yang ada di otaknya.

Walaupun, sosok pemimpin itu tak hadir. Ketiga ponokawan masih sangat kuat dengan senjata masing-masing. Seperti ketika berhadapan dengan Raksasa Kamageni sebelumnya, Takmir telah menyiapkan anak panah. Kali ini benar-benar 50 anak panah, berbeda dengan larangan Somen waktu itu. Dengan tambahan personil, Rosed kini semakin bersemangat, kelincahannya bertambah, kedua pedangnya juga begitu, sangat ringan untuk dibawa. Junet menyiapkan gada remote controlnya.

Wuuusshh, sekali tarikan dan hentakan, 50 anak panah itu melayang menuju Raksasa Kamageni. Anak-anak panah tersebut menancap kepada bagian tubuh Raksasa Kamageni. Sejatinya anak-anak panah tersebut digunakan untuk mencari titik lemah sang raksasa. Dirasa tak juga menemukan kelemahan, kini Rosed kembali mengibaskan pedang-pedang di tangan kanan dan kiri. Ia melompat-lompat menghindari serangan Kamageni. Memotong kaki-kaki yang bisa tumbuh kembali, hanya sekedar mengulur waktu dan melemahkan kekuatan Kamageni. Junet kini yang harus memeras otak, ia harus segera menemukan cara untuk mengalahkan Raksasa yang dirasa semakin kuat itu. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa badai tak sekuat sebelumnya. Ya! Badai itu kini semakin melemah. Ketika ia menatap muka Kamageni, ia mendapat ada gelagat yang aneh. Kamageni seakan menutupi rasa ketakutan. Sementara Takmir dan Rosed menyerang Kamageni tiada henti, Junet kembali berpikir.

Badai kini benar-benar berlalu, cahaya matahari kini kembali menerangi negeri. Kamageni teringat akan suatu hal bahwa badai pasti berlalu. Ia tak bisa lagi menghindar, kesalahannya adalah ia tak dapat langsung menghabisi para ponokawan selagi badai masih menghadang. Ia menyesal, bak ketika ia tak menyatakan cintanya kepada Hidimbi, raksasa cantik jelita yang akhirnya dinikahi oleh Bimasena.

Junet menangkap kegelisahan pada diri Kamageni. Dari gerak-gerik dan sikapnya, Kamageni berusaha untuk melindungi selangkangannya. Baik Junet, Takmir dan Rosed mengetahui hal tersebut. Dengan saling mengangguk, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Badai tak lagi melindungi tubuh Kamageni sehingga kini mereka dapat leluasa menghancurkan tubuh besarnya.

50 anak panah kini disiapkan Takmir kembali. Kedua pedang Rosed juga siap memotong bagian tubuh Kamageni. Gada Junet siap dilemparkan kembali. Kamageni yang tak berotak itu masih mementingkan gengsi dan amarah balas dendam daripada melarikan diri, walaupun ajalnya kini kembali mendekati.

Rosed mulai mendekati Kamageni, ia mengincar kedua kaki besar raksasa itu. Dengan dua kali tebasan, kaki Kamageni putus. Tak menunggu tumbuh kembali, Junet melempar gadanya. Gada tersebut melaju sangat cepat dan terbelah menjadi dua ketika mendekat Kamageni. Kedua gada Junet meremukkan kedua tangan berotot raksasa bermuka jelek. Kini tinggal Takmir sebagai eksekutor terakhir, 50 anak panah diluncurkan menuju selangkangan Kamageni. Wuussshh. Anak-anak panah itu melesat, melesap ketika menancap pada selangkangan yang hina itu. Tubuh raksasa Kamageni hancur lebur, bagian-bagian tubuhnya muncrat tak tersisa. Karena tak ingin mengulang kesalahan yang sama, ketiga ponokawan menggunakan kekuatan dari Dewa Bayu untuk menerbangkan bagian-bagian tubuh Kamageni supaya tak kembali menyatu.

Senja ketika ketiga ponokawan tersenyum bahagia karena berhasil mengalahkan Raksasa Kamageni dan melindungi Negeri Mulyo, burung-burung keluar dari persembunyian, pohon-pohon tampak senang debu-debunya dihembuskan angin, Somen menunggu sang peminjam novel di depan halte kampusnya. Somen tak mengetahui apa yang barusan menimpa sahabatnya.

Waktu itu Somen tetap jaim dan sedikit tak acuh. Kata-kata singkat ketika menghadapi sang peminjam novel, ia tak banyak kata walaupun berbagai retorika telah disiapkan hatinya. Pertemuan singkat tersebut berbekas di hati ponokawan Somen. Hingga ketika keduanya saling berpamitan, Somen masih tak bisa menutupi perasaan bahagia.

Keesokan harinya, ketika Somen tersadar dengan pesan yang dikirimkan Junet kemarin, ia menghubungi ponokawan sahabatnya itu. "Jun, ada apa? Kemarin minta bantuan apa?" Karena mood baik kini merasuki jiwa Somen, kepedulian itu muncul. Somen berharap ada respon yang cepat dari sahabatnya tersebut. Benar saja, Junet membalasnya dengan cepat, namun juga singkat. 3 huruf memuakkan. GPP. Begitulah bunyi yang mengganggu pikiran Somen. "Beneran Jun?" Kata-kata selanjutnya untuk Junet. Kali ini tidak ada respon. Somen semakin penasaran sekaligus ada perasaan bersalah di hatinya. Ia mencoba menghubungi Takmir dan Rosed. Dengan pertanyaan yang sama, Somen malah mendapat pertanyaan. "Kemarin kamu kemana? Kami membutuhkan bantuan kamu untuk mengalahkan Raksasa yang sama dengan yang dikirimkan Prabu Jikaraya beberapa tahun yang lalu." Ketika mengetahui kenyataan tersebut, dada Somen menjadi sesak, pernafasannya menjadi susah. Ia menjadi sangat hina karena tak membantu sahabatnya padahal dahulu sahabatnya yang membantu Somen untuk mengalahkan raksasa yang dikirim untuk membunuhnya. Mungkin permasalahannya dengan Takmir dan Rosed tak begitu parah, Somen memutuskan untuk melaju Motor Revo menuju Negeri Legi, menemui Junet.

Kacap kacarita, Somen telah berada di Negeri Legi, negeri yang beberapa waktu lalu dilanda banjir. Setelah memarkir motor, Somen mencari ponokawan bertubuh gemuk dan berjambul itu di sekeliling kerajaan. Berbagai ponokawan dan abdi dalem ditanya Somen namun hasilnya nihil. Ia tak menjumpai Junet dimanapun, mungkin ia tak berada di negeri tersebut. Padahal kali ini ia ingin mengucapkan maaf setulusnya dan berjanji tak akan mengulanginya. Setidaknya itu yang bisa ia pikirkan, terlepas dari Junet mau menemuinya atau tidak.

"Kepedulian itu magis. Di waktu tertentu ia bisa sangat merasuki jiwa, namun di kala lain ia tak bersisa di sukma."

Kali ini Somen benar-benar tak dapat berpikir, perasaan gundah memuncaki otak. Lorong kampus benar-benar sepi dibuat oleh khayalan Somen. Kaki-kakinya kini tak lagi selincah sebelumnya. Satu-dua orang menyalip Somen, padahal Somen biasanya berjalan sangat cepat. Berat dirasakan, maka berimbas pada kecepatan kakinya. Tibalah Somen pada hall kampusnya. Ia lalu mencari kursi yang sekiranya kosong dan sepi. Memutar kepala ke kanan dan ke kiri beberapa kali ia telah menemukan apa yang ia cari. Berjalanlah Somen ke arah kursi di depan perpustakaan kampusnya. Di sana, ia hanya terbayang seorang yang tiba-tiba hadir di kehidupannya. Perasaan gundah tersebut melebihi perasaan bersalahnya dari Junet. Yang beberapa waktu yang lalu ia kecewakan karena ketidak-peduliannya.

Hari-hari menjelang malam dihabiskan Somen dengan memandangi ponokawan lain yang lalu lalang di depannya. Somen bisa saja menyapa mereka semua, namun ia memilih untuk diam. Ia benar-benar tak menyangka mengalami perasaan yang seperti ini. Perasaan yang sama ketika ia mencintai Dewi Kencana Asri, namun kali ini ia tambatkan rasa itu bukan pada sang dewi. Di dalam asyik lamunannya, ia dikejutkan dengan kehadiran ponokawan Gita. Somen terheran karena ponokawan satu tersebut belum kembali ke negerinya, padahal biasanya yang pertama meninggalkan kampus. "Ada apa Somen?" tanya Gita sekenanya. Mungkin saja ada etikat baik dari Gita dengan pertanyaan tersebut. Mungkin saja ia dapat sedikit menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh ponokawan Somen. Somen memulai pembicaraan dengan menceritakan pertemuannya dengan orang yang meminjam novelnya, berlanjut ke masalah TA, hingga masalah dengan sahabatnya, Junet. Gita hanya bisa manggut-manggut mendengarkan curahan hati ponokawan Somen. Ponokawan berkacamata tersebut sepertinya memahami apa yang sedang dilanda Somen. Gita membuka pertanyaan kembali, menanyakan mana yang lebih dahulu ingin Somen bahas. Somen menyarankan masalah TA. Gita menyetujui, karena permasalahan Tugas Akhir adalah masalah yang sama dihadapinya. 

"Dari Tugas Akhir, kita tidak hanya belajar mengenai tanggung-jawab, melainkan juga belajar mengenai prioritas. Apakah TA merupakan prioritas tertinggi ataukah ada yang lebih tinggi daripada TA, itu adalah keputusan kita. Dari Tugas Akhir, kita juga belajar mengenai kepedulian. Bukan hanya peduli dengan TA kita, namun juga peduli dengan TA teman-teman, walaupun kadang peduli itu menyusahkan. " Somen terhenyak dengan kalimat terakhir, ia menyetujui bahwa peduli itu menyusahkan. Gita melanjutkan, "Aku salut dengan orang-orang yang masih peduli, karena mereka mau menanggung risiko untuk sakit hati. Peduli adalah kata lain dari sakit hati. Semakin orang peduli, maka risiko sakit hati semakin tinggi."

Somen tersadar dengan kata-kata Gita, ponokawan yang satu ini memang sangat cocok untuk dimintai masukan. Lalu mengenai cinta, kepada sang peminjam novel, Gita memberikan nasihat, "Kalau memang benar kamu mencintainya, lakukanlah hal-hal yang baik, jagalah kehormatan mu dan kehormatan orang itu. Namun, jika kamu belum yakin tentang perasaan itu, yakinkanlah hatimu, jangan-jangan itu bukan perasaan cinta melainkan hanya rasa peduli yang terlalu nikmat. Memang sih, kalau kita terlalu peduli dengan seorang wanita, kita mengiranya itu adalah perasaan cinta."

Kali ini Somen kembali tersadar dengan kata-kata Gita, mungkin saja bukan perasaan istimewa yang berlabuh di hatinya, melainkan hanya angin lalu yang dapat pergi kapan saja. Namun Somen tak mengira bahwa rasa peduli juga terkandung di dalam perasaannya ini. Somen berpikir kembali mengenai rasa itu. Mungkin saja benar, rasa itu hanyalah rasa peduli, bukan yang lain. Karena ketika Somen tak acuh dan tak peduli, wajah sang peminjam novel tak ada di dalam bayangannya. Benar. Somen semakin yakin, bahwa perasaan ini bukanlah perasaan cinta, melainkan hanyalah rasa peduli yang berlebih. Somen terlalu peduli dengan kesibukannya, tentang kuliahnya, tentang keluarganya, tentang segala sesuatu tentangnya. Ia merasa sangat susah dengan apa yang telah dikerjakannya. Ada perasaan menyesal menggelayuti dadanya. Ia terlalu banyak berharap. Terlalu menarget masa depan yang muluk-muluk. Mencocok-cocokkan semua yang dimilikinya dengan orang itu. 

Somen kini merasa lega, dua masalahnya telah sedikit berkurang. Lalu sampailah mereka pada pembahasan terakhir, "Kalau Junet memang sahabatmu, ia tidak akan marah dan membencimu, walaupun kau telah melakukan kesalahan terbesar sekalipun. Sahabat tidak akan meninggalkanmu walaupun kau menjadi orang terjahat di muka bumi, ia akan senantiasa membawamu kembali ke dalam kebaikan jika memang itu yang terjadi. Sahabat adalah segalanya, bukanlah 4 tahun ini kalian telah bersama dan menghadapi permasalahan yang sama lalu kalian telah menyelesaikan permasalahan tersebut?" Gita benar. Somen dan Junet pernah mengalami permasalahan serupa, dan mereka telah menyelesaikannya bersama. Berkat kata-kata Gita, Somen kini tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa waktu lama, Somen mengeluarkan HP dari sakunya, "Jun, aku tunggu hari minggu di danau Wanituwo di Negeri Sirumina. Aku ingin bertemu." Begitulah pesan yang dikirimkan kepada Junet. Tak menunggu lama pula sebuah balasan dikirimkan Junet, "Oke Men." Somen sumringah membaca balasan cepat dari Junet.

Kini Somen tak tahu harus berterima kasih macam apa untuk Gita, ponokawan yang mendengarkan curahan hatinya dan menyelesaikan permasalahannya. Gita hanya bisa tersenyum dan mengajak Somen untuk pulang bersama. Karena jalan pulang yang dilalui sama, Gita dan Somen kerap pulang bersama.

Hari Minggu telah tiba, siang pun berlalu, perasaan bersalah itu masih memuncaki Somen. Dengan perasaan yang belum tenang, Somen melaju ke Negeri Sirumina.

Setibanya di sana, Somen mengambil tempat di pinggir danau. Ia melamun bak memikirkan wanita, namun kali ini sahabatnya lah yang ada di pikirannya. Somen melihat perahu perahu yang lewat di depannya. Daun-daun yang jatuh ke dalam danau. Suasana sore di pinggir danau yang tenang tak juga membuat hati Somen tak gelisah. Ia masih takut Junet masih marah dengan apa yang telah diperbuatnya. Jingga semakin memenuhi ufuk barat, Somen tak menyadari bahwa Junet telah berdiri 1-2 meter di belakangnya. Burung-burung yang bertebangan mengalihkan fokus Somen sampai-sampai ia tak mendengar pertanyaan Junet yang kini telah berada di belakangnya. Hingga ia dikejutkan oleh tepukan Junet di pundaknya.

Somen memandang Junet dengan mata sayu, hatinya masih sesak. Ia memikirkan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada sahabat terkasih tersebut. "Jun, maafkan aku." Somen tak punya kata-kata lebih panjang dari itu. Somen hanya menangkap rasa kebingungan dari wajah Junet. "Iya Men, kalau ini masalah di Negeri Mulyo, aku sudah memaafkan koq, aku tahu kalau kamu banyak pikiran. Aku malah mengkhawatirkanmu karena kamu sejak tadi melamun sendiri. Kamu kenapa emangnya?" Somen menjelaskan mengenai cinta dan TA. Kali ini Junet paham, ia memahami permasalahan yang dihadapi oleh sahabatnya tersebut. "Semangat Men! Kalau kamu wisuda, aku, Takmir dan Rosed akan menyambutmu!" Somen sangat bahagia dengan perkataan Junet. Permasalahannya dengan Junet telah selesai dan berakhir bahagia.

"Kepedulian itu adalah hal termewah yang bisa kamu dapatkan, dari siapapun dan kapanpun. Maka kamu pula jangan segan untuk memberikannya kepada siapapun dan kapanpun. Dan jangan takut dibuat susah karenanya."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Dua Ekor Burung Merpati

Alkisah, di sebuah hutan terdapat 2 ekor burung merpati yang bersahabat. Burung merpati putih dan burung merpati berwarna cokelat. Mereka berdua adalah sahabat sejati. Keduanya saling menolong dan membantu jika ada salah satu di antara mereka yang membutuhkan. Tidak hanya kepada sahabatnya, mereka terkenal baik hati kepada seluruh penghuni hutan. Baik merpati putih maupun merpati cokelat adalah burung yang ramah dan jujur. Hanya saja merpati putih yang lebih cerdas daripada merpati cokelat. Merpati putih suka mencari tahu tentang segala hal.  Merpati putih selalu bersama merpati cokelat kemana pun mereka pergi, mulai dari mencari makan, belajar dan mengunjungi teman yang lain. Penghuni hutan yang lain sudah mengetahui persahabatan di antara keduanya, bahkan sang raja hutan, yaitu singa yang memberikan istilah sahabat sejati kepada keduanya. Pada suatu hari yang cerah, saat merpati putih dan merpati cokelat terbang bersama, mereka melihat kerumunan binatang di bawah mereka.

Rahasia di Balik Nama 'Soi'

ii..So'i takok ii.. ii..So'i takok ii... ii..So'i takok ii.. (RE: ii..So'i tanya ii) Tulisan diatas adalah lagu yang sering dinyanyikan Gentong, saat bertanya tentang pelajaran kepadaku.   SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidupku. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populerku, yaitu soi, mereka bertanya, apa hubungannya Safrizal Ariyandi dengan Soi. Namun, nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Melalui artikel ini, aku akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda tersebut.

Ekspresi Galau dalam Bahasa Jepang

suatu ketika, saya ngetweet di @bhsjepang, sekalian menambah ekspresi2 dalam bahasa jepang, lalu ada follower yang mention, "tema hari ini galau ya?" hehehe, jadi saya membuat rangkuman tweet saya yang dikira galau tersebut, 1. aishitemo ii desu ka | bolehkah aku mencintaimu? 2.  anata no egao ga daisuki desu yo | aku sangat suka senyumanmu lo 3. konban, boku no yume ni anata o aitai desu | malam ini, aku ingin bertemu dg mu di dalam mimpiku