"Allah!", aku terperanjat dari tidur. Terbangun lalu kucoba 'tuk duduk bersila di atas kasur. Nafasku berat dan tersengal seperti ada sebuah balok kayu besar yang ditaruh di atas dadaku. Dapat kurasakan setiap nafas yang terhembus mengeluarkan bunyi yang nyaring. Bunyi yang keluar dari rongga hidungku terlampau keras hingga aku dapat mendengarnya bersautan dengan suara detak jarum jam. Aku mendongak ke arah jam yang bertengger di dinding. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari.
"Aku bermimpi buruk," gumamku sembari memegang kepala yang sempat terasa sakit ini. Tanganku basah oleh keringat yang mengalir di dahiku. Aku hampir tidak pernah bermimpi buruk sejak 1 tahun yang lalu. Aku benar-benar merinding dengan apa yang sempat aku lihat dalam mimpi tadi. Aku hanya bisa mengingat sesosok hitam yang mengejarku hingga ke tengah lapang, mengejar terus seakan tak mengijinkanku untuk menjauh, lalu aku menuju sebuah gang yang kukira tak berujung. Di kanan kiri gang tersebut hanya berupa dinding-dinding berwarna hitam pekat. Hingga aku sadari bahwa tak ada tempat lagi untuk kuberlari sesampainya aku di ujung gang. Kulihat sesosok hitam tadi telah berdiri di depanku. Siap menerkam. Aku bergidik menatap matanya yang merah. Beberapa detik kemudian, ia melompat ke arahku. Aku semakin takut. Sekejap kemudian aku berteriak, dan mendapati diriku berada di dalam kamar tidurku. Kamar yang begitu mungil namun cukup membuatku nyaman dengan warna dinding yang berwarna kuning kehijau-hijauan. Setelah mendapati diriku sedikit rileks, aku mencoba untuk duduk di samping ranjang, lalu kugerak-gerakkan kedua kakiku. Sebuah kebiasaan yang slalu aku lakukan ketika menghadapi guncangan hati yang seperti ini.
Kulihat sebuah kalender yang berada di bawah jam dinding. 13 April 2015. Aku tersentak. Lalu tanpa kusadari senyumku mengembang, mungkin pipiku merona merah karena kebahagiaan yang sekarang aku rasakan. Kejadian dini hari ini mirip dengan apa yang aku alami satu tahu yang lalu. Terbangun di sepertiga malam terakhir. Hal yang tak pernah bisa aku dapatkan di hari-hari biasa. Tentu saja karena hari ini adalah hari istimewa. Ya, hari ini adalah hari kelahiranku!
Sejurus kemudian aku mengambil ponsel yang terletak di samping bantal. Aku ingin mengecek apakah sudah ada orang yang memberiku pesan selamat ulang tahun. Benar saja. Aku tersenyum membaca beberapa pesan yang masuk di inbox ponselku. Pesan pertama datang dari Mas Oky, kakak kelas yang akhir-akhir ini mencuri hatiku. Lalu kulanjutkan membaca pesan lain yang telah dikirimkan di hariku ini.
"Bunda, HBD ya, semoga tambah dewasa."
"Silvy, semoga sehat dan sukses slalu ya ;)"
"Weeeh, traktiran Bund!"
Hahaha. Aku tertawa sendiri di dalam hati. Setelah puas membaca pesan-pesan istimewa tersebut, aku memutuskan untuk mengambil air wudhu dan bergegas shalat malam. Rutinitas hari ulang tahunku. Jujur saja aku tak pernah sebahagia ini selain di hari ulang tahunku. Karena hari ini akan ada banyak doa yang mengalir, belum lagi kejutan-kejutan yang mungkin akan aku dapatkan, kado dari Mas Oky, dari sahabat-sahabatku. Wuuh, pokoknya hari ini adalah hariku! Aku berlalu pergi menuju kamar mandi.
###
Setelah shalat, aku memutuskan untuk menulis harapan-harapan yang ingin kucapai di umurku yang ke 21 ini. Harapan mengenai diriku, orang tuaku, sahabat-sahabatku, yaa mungkin saja ada secuil harapan untuk bisa terus bersama Mas Oky. Oh iya, dan yang terpenting adalah impianku untuk meneruskan studi di Jerman, negeri pemenang piala dunia tahun kemarin. Mungkin belajar di Freie Universität Berlin, Ludwig-Maximilians-Universität München atau di Technische Universität München adalah impian terbesar dalam hidupku. Dalam khayalanku, tiba-tiba aku teringat, di antara pesan-pesan tadi tidak ada satu nama sahabatku, Soi. Hmm, mungkin dia akan mengirimiku pesan pada siang hari, gumamku.
Sahabatku yang satu itu bisa dibilang sedikit alay dan lebay. Kami dahulu slalu saling berbagi puisi untuk memperkaya diksi dan mengasah kemampuan kami dalam berpuisi. Seperti yang aku lakukan ketika ia berulang tahun tanggal 10 Maret kemarin. Dan, hari ini aku bisa menebak bahwa ia akan mengirimiku puisi, maka dari itu dapat kumaklumi jika ia belum mengirim pesan kepadaku.
Kulanjutkan untuk menulis serangkaian harapan dalam buku diary ku ini. Harapan yang tadi juga telah aku sematkan dalam doa ketika shalat malam. Tiba-tiba air mataku menetes dalam doa yang syahdu yang kupanjatkan kepada Allah tadi. Aku sedih bercampur bahagia karena usiaku kini bertambah. Eh, bukan bertambah deh. Ini adalah umur tambahan alias bonus yang diberikan oleh Allah kepadaku. Kan aku pernah berkata kalau umurku membeku di umur 20 tahun. Tanpa kusadari aku kembali tersenyum.
Dinginnya pagi ini menemaniku dalam kebahagiaan. Sayup-sayup romantis yang diberikan Allah kepadaku lewat keheningan pagi ini. Tak ada siapapun yang terbangun di rumahku. Hanya ada aku, Allah, bolpen lucu dan buku diary imut yang kini kugunakan.
###
"GILAAK!" Aku berteriak. Hari ini kacau sekali. Semua ekspektasi yang telah memenuhi otakku tidak ada yang terlaksana. Bak jatuh tertimpa tangga, hari ini aku seperti bukan diriku. Bukan Silvy yang murah senyum atau Bunda yang penyabar. Hari ini aku seperti sesosok hitam yang ada di dalam mimpiku. Dengan mata merahnya aku berkata kasar kepada teman-temanku sejak tadi pagi.
Bukan hanya Mas Oky, Budhe dan yang lainnya juga tak seperti biasanya, hari ini mereka begitu menyebalkan. Soi juga, entah hari ini dia lupa atau memang sengaja untuk tidak memberiku pesan selamat ulang tahun. Dapat kurasakan nafasku kembali tersengal seperti dini hari tadi. Lalu aku memutuskan untuk menuju taman yang berada di depan Masjid Ulul Albaab. Untuk mencoba sedikit rileks, aku harus mencari sebuah kursi yang berada di bawah pohon yang rindang.
Dari tempat aku berdiri, lokasi taman hanya berjarak 100 meter, sekitar 3 menit perjalanan dengan berjalan kaki. Di sepanjan jalan yang kulewati, aku hanya mampu menahan air mata yang seakan berdesakan untuk mencoba keluar. Namun seperti biasa, aku adalah wanita tegar. Tujuanku adalah Jerman. Aku tak bisa menjadi seorang wanita yang cengeng dan mudah berkecil hati, apalagi hari ini adalah hari ulang tahunku.
Tetapi, di hari yang seharusnya istimewa ini, tak satu pun aku dapati kebahagiaan. Aku berharap hari ini akan segera berakhir.
Selangkah kemudian aku telah berada di salah satu taman sederhana yang berada di kampusku. Kutoleh kanan dan kiri, mencoba mencari kursi yang dapat aku duduki dan kubuat untuk menenangkan hati ini. Pencarianku berakhir hingga aku menemukan sebuah kursi panjang berwarna putih di salah satu sudut taman. Kursi tersebut terletak di bawah pohon beringin yang besar dan rindang. Bagus, pikirku.
Entah mengapa tiba-tiba aku teringat sesosok hitam yang bertamu di mimpiku tadi malam dan membayangkan sosok tersebut menerkamku dari balik pohon besar itu. Tanpa memedulikan ketakutan tersebut, aku berjalan mendekati kursi tersebut.
Aku duduk di atas kursi sambil membiarkan kakiku bergelantungan dan kugerak-gerakkan maju mundur. Semilir angin di bawah pohon ini sedikit membuatku mengantuk. Lalu, tanpa kusadari air mataku mengalir juga. Kuseka air hangat itu dengan punggung tanganku. Aku hanya bisa termangu mendapati hariku yang seperti ini. Suasana lengang taman membawaku kembali ke ingatan tadi pagi.
###
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku, aku mengendarai sepeda motor matic ku dengan kencang, berharap untuk segera sampai di kampus dan menerima kejutan-kejutan yang telah disediakan oleh teman-temanku, dan juga Mas Oky.
Keluar dari kompleks rumahku, aku sudah harus berhadapan dengan kemacetan. Jalan Gedangan tempatku berada kini memang terkenal sering macet. Mungkin saja karena menghubungkan jalan protokol di Sidoarjo dan Surabaya dan mungkin juga karena terdapat perempatan yang sangat padat kendaraan apalagi waktu pagi seperti ini.
Semua kebahagiaan yang semula aku bayangkan, hilang tak tersisa gara-gara kemacetan pagi ini. Banyaknya kendaraan yang tumpah ruah di jalan membuatku sedikit badmood. Belum lagi pengendara motor yang ugal-ugalan, menyerobot dari kanan-kiri motorku, dan memotong jalan di depanku.
Dengan sedikit semangat, kulaju motorku lebih cepat setelah kulalui semua kemacetan tadi. Hingga aku sampai di kampusku, kampus yang mempertemukanku dengan Mas Oky.
Setelah meletakkan motor di tempat parkir, kembali aku cek inbox ponsel barangkali ada orang yang mengirimiku pesan selamat ulang tahun. Tenyata nihil, tidak ada satupun. Soi bahkan belum mengirimmu pesan, kuingat jam segini aku mengiriminya pesan waktu ulang tahunnya kemarin di Bulan Maret. Huh dasar, desisku.
Cepat-cepat kumasukkan ponsel ke dalam saku, kemacetan tadi membuatku terlambat 15 menit. Kulangkah kaki dengan cepat, beberapa kali ku berlari untuk mencapai ruang kelas. Aku tersenyum sendiri teringat mimpiku saat berlari dikejar sesosok hitam.
Dengan nafas yang cepat, akhirnya aku sampai di depan pintu kelas. Kulihat Bu Roes sudah berdiri di depan kelas. Bu Roes adalah dosen yang baik dan penyabar. Senyumnya kepadaku di awal kuliah dulu tak akan pernah kulupa. Santai saja kuketuk pintu untuk meminta ijin masuk dan mengikuti perkuliahan. "Assalammualaikum, Bu boleh saya masuk?"
Tanpa dikomando, Bu Roes menoleh kepadaku. Aku kaget, beliau tak seperti biasanya. dahinya mengerut, wajahnya sedikit merah di dalam jilbabnya yang berwarna biru tua. "Sini!", perintah Bu Roes sambil menggunakan tangan kanannya sebagai isyarat. "Kenapa terlambat?" lanjutnya dengan nada sedikit tinggi.
"Eh, maaf Bu Roes, tadi di jalan macet Bu.." aku menunduk.
"Bukannya Surabaya slalu saja macet? Hanya itu alasan yang bisa kamu berikan? Kamu sudah semester 6 lo Sil, 1 tahun lagi kamu wisuda! Mau ke Jerman, katamu? Gini ini mau ke Jerman?"
Pertanyaan terakhir dari Bu Roes terasa sakit menghujam jantungku. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku saat ini. Mana bisa mahasiswa tidak disiplin sepertiku bisa mendapatkan beasiswa ke Jerman. Aku hanya bisa diam membisu.
"Hlo jawab Silvy!" ujar Bu Roes sekali lagi.
Pikiranku semakin berat. Memang benar, bukan kemacetan yang membuatku terlambat, tapi gara-gara aku terlambat bangun pagi. Karena tak seperti biasanya untuk bangun pukul 2 dini hari dan bertahan sampai shubuh, tadi pagi selepas shalat shubuh aku memutuskan untuk tidur lagi karena kantuk yang melanda.
Aku melamun. Sesekali kulirik teman-temanku. Ada beberapa yang tersenyum nakal dan mengandung ejekan. Lalu aku tersadar, ini kan hari ulang tahunku. Pasti teman-teman telah merencanakan ini semua. Apalagi ini bukan sifat asli Bu Roes untuk memarahi mahasiswanya jika berbuat kesalahan. Tiba-tiba senyum merekah di bibirku.
"Bu Roes!" panggil seseorang. Aku menoleh, ternyata itu Tri, pria paling usil di kelasku. Ia mengacungkan tangan untuk meminta ijin berbicara. Setelah diberi ijin oleh Bu Roes, pria berkacamata itu meneruskan, "Hari ini Silvy berulang tahun, Bu, mungkin dia beranggapan kalau dia sedang dikerjain, padahal ndak kan ya Bu?"
Apa maksud ucapan Tri? Kenapa ia mampu membaca pikiranku? Tapi dari pernyataannya tersebut, berarti kejadian hari ini tidak direncanakan? Seketika itu aku langsung lemas. Bu Roes memang sedang memarahiku. Pergelangan tangan dan kakiku terasa kaku. Seperti ada yang menyumbat pembuluh darahku, aku tak bisa merasakan mereka. Benar-benar diluar ekspektasi. Tak seperti yang aku inginkan.
"Tidak usah ikut kuliah Ibu Roesma!" Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Bu Roes.
Aku hanya bisa termangu. Semua persendian rasanya ingin lepas. Bagaimana ini bisa terjadi? Di hari ulang tahunku, untuk pertama kalinya aku tidak diijinkan untuk mengikuti mata kuliah. Aku tidak percaya akan hal ini.
Setelah mengangguk ke arah Bu Roes, aku berjalan ke luar kelas. Dapat kurasakan teman-temanku tersenyum bahagia, bahkan kudengar ada gelak tawa di antara mereka. Kejam. Mereka seperti bukan teman-temanku.
Karena tak dapat ikut kuliah, aku memutuskan untuk pergi ke kantin. Aku lapar. Hari ini gila, semoga setelah ini akan ada hal yang membahagiakan, pikirku sambil memegangi perut yang semakin menggila, minta untuk segera diisi.
Sesampainya di kantin, aku melihat Iin alias Budhe, temanku waktu SMA. Ia berjalan ke arah salah satu depot. Jarang sekali aku bertemu dengannya. Jelas saja karena kami beda fakultas. Apa yang akan dikatakan Budhe di hari ulang tahunku ini? Apakah ia telah menyiapkan kado?
Aku bergegas mendekatinya, mencoba untuk mengembalikan mood dan semangatku. "Budhe!" Panggilku kepadanya. Ia hanya menoleh. Tak ada senyuman, tak ada air muka yang menunjukkan kebahagiaan, tak ada sama sekali respon yang membuatku tersenyum.
Hingga aku berdiri di sampingnya pun, Budhe tak mengeluarkan kata-kata atau minimal ekspresi yang seperti biasanya. Aku kembali memikirkan, apakah ini sebuah kejutan untukku? "Budhe, kamu masuk kuliah jam berapa?" Aku mencoba bertanya, untuk sekedar basa-basi.
"Jam setengah 12, napa?"
Eh, aku kembali dikagetkan dengan perubahan sifat seseorang. Kini datang dari teman sekaligus sahabatku, Budhe. Wanita yang lebih tua satu tahun dengan ku ini adalah wanita yang baik hati, tidak sampai hari ini. Di balik pakaiannya yang syarie, Budhe menjadi sosok yang tak aku kenal. Tas ransel warna jingga yang dibelinya bersamaku dulu bahkan tak lagi menjadi saksi persahabatan kita. "Ndak kenapa-kenapa koq Budh." jawabku dengan mencoba untuk tersenyum.
"Yaudah." Balasnya singkat. Kata tersebut benar-benar menambah perih perasaanku hari ini. Di hari ulang tahunku. Lalu, tanpa berpamitan ia berjalan menjauh. Aku hanya bisa menatapnya, berdiri di atas kakiku yang semakin membeku.
Lima langkah ia berjalan, lalu Budhe berhenti. Aku masih memandanginya. Kemudian ia berbalik, dan melepas salah satu tali tas ranselnya, hingga tas ranselnya berada di depan tubuhnya. Ia membuka tas dan mencoba mengeluarkan suatu benda. Aku mulai menaruh harapan kepada Budhe. Aku berharap tadi ia hanya akting dan sekarang akan memberiku kado ulang tahun.
Sebuah benda yang tak asing keluar dari tas ransel Budhe. Itu adalah buku karya Ahmad Rifa'i Rifan yang aku berikan kepadanya sebagai hadiah.
Budhe kembali berjalan ke arahku. Aku bingung dan heran. Lalu ia menyodorkan buku itu ke arahku. "Bukunya jelek, isinya ndak mutu, walaupun kamu kasih ke aku beberapa bulan yang lalu, tapi baru kemarin lusa aku sempat membacanya. Nih aku kembalikan."
Aku benar-benar heran dengan perbuatan sahabatku ini, aku tak habis pikir dengan apa yang terjadi padanya, padaku.
"Iya, maaf." Balasku singkat sembari mengambil buku itu dari tangan Budhe. Setelah itu, ia membalikkan badan dan membenarkan tas ranselnya di punggung. Ia berjalan pergi, dan kini tak kembali.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Aku tak tahu apakah ini semua ada kaitannya dengan mimpiku tadi pagi, atau memang hari ini adalah hari terburuk yang pernah aku alami. Entahlah, pikirku. Hanya itu yang bisa aku pikirkan. Otakku menjadi semakin sakit karena semua yang telah terjadi.
Mungkin makan beberapa potong roti akan menurunkan emosiku.
Setelah membayar, aku berjalan ke sebuah bangku di pinggir kantin. Aku duduk dalam keadaan tidak bersemangat. Kalau tidak ada sandaran di bangku ini, mungkin tubuhku akan jatuh ke belakang.
Kubuka bungkus plastik roti yang baru kubeli. Kucuil sedikit dan kumasukkan ke dalam mulut. Rasa cokelat dari roti ini sedikit menenangkanku. Kukunyah perlahan hingga lembut dan barulah ku telan.
"Silvy!" bentak seseorang. Suara yang cukup aku kenal.
"Hlo Mas Oky, kenapa emangnya Mas?" tanyaku pada Kakak kelas yang sejak tadi aku rindukan.
"Kamu nggak puasa?"
Aku tersentak. Secuil roti yang belum lembut kukunyah melompat keluar. Aku lupa kalau hari ini Hari Senin. Setelah menulis diary tadi pagi aku diajak Umi untuk makan sahur. Dan hari ini aku dapati kalau aku makan roti. Tapi, bagaimana Mas Oky bisa tahu?
"Aku dulu naksir kamu gara-gara kamu shalihah, sering puasa senin-kamis, shalat tepat waktu, rajin kuliah, tapi lihatlah, sekarang kamu malah makan di kantin, tak ikut kuliah lagi, sekarang kan seharusnya kamu kuliah?" Kalimat yang dikeluarkan Mas Oky dari mulutnya seperti sebuah pedang yang tepat menghunus jantungku.
Mas Oky adalah kakak kelasku di fakultas yang sama. Aku mengenalnya dalam sebuah kepanitiaan. Waktu itu Mas Oky adalah penanggung-jawab dari kegiatan yang kami selenggarakan. Karena ketegasan dan kharismanya, aku jatuh cinta padanya. Beberapa kali pendekatan membuahkan hasil. Beberapa minggu yang lalu, Mas Oky pun menyatakan cintanya kepadaku.
Tapi, hari ini, di hari paling istimewa dalam hidupku. Aku mendapati pria yang sempat kutuliskan di dalam harapan dan kuselipkan dalam doa itu memarahiku tanpa alasan yang jelas.
"Kita end, jangan dekat-dekat lagi kepadaku!"
"Tapi, Mas..." tanpa memerhatikan gerakanku, Mas Oky berlalu, menjauh pergi. Kurasakan kini air mata tumpah, membahasi pipiku. Pikiranku berat. Aku hanya bisa menangis dan tak bisa berbuat apa-apa.
Aku ingat, di saat-saat seperti ini ada satu orang yang bisa mendengarkan semua isi curahan hatiku. Soi. Dengan membersihkan sisa air mata yang ada di pipiku, aku mencari nama Soi di dalam kontak ponselku. Aku mencoba untuk meneleponnya.
Tuut..tuut...tuuut. Tak ada balasan. Tak ada respon. Nada sambung menunjukkan jika ponsel Soi menyala, namun kenapa ia tak menjawab teleponku? Benarkan ini semua adalah arti dari mimpiku tadi malam.
Di usiaku yang ke-21 tahun ini, semuanya telah pergi dariku. Terkaman sesosok hitam telah mengambil hal-hal penting dari hidupku. Kuliahku. Sahabatku. Pacarku. Masa Depanku.
Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah parkir motor. Aku ingin pulang, aku ingin menyendiri di dalam kamar. Entah sampai kapan. Berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan aku tak peduli.
Bahkan kuliahku setelah inipun tak aku pikirkan.
Kucari motor matic warna biru yang menjadi temanku. Mungkin seonggok besi itulah yang bisa menemaniku saat ini. Lokasi parkir yang terkesan kecil tersebut tak menyusahkanku dalam menemukan motorku.
Setelah menaikinya, aku melajunya dengan sangat cepat. Aku tak memedulikan pengendara motor yang lain yang ada di sekitarku.
Berbeda dengan tadi pagi, siang ini jalanan begitu sepi. Aku semakin leluasa untuk mempercepat motorku. Lampu traffic light yang menunjukkan warna merah pun tak aku gubris.
Setelah melewati lampu merah tersebut, aku mendengar suara klakson sangat keras. Aku kaget. Sebuah truk sangat besar melaju ke arahku dengan cepat. Tanpa bisa aku menghindar, aku menutup mata. Apakah ini adalah akhir dari hidupku? Hidupku benar-benar membeku di usia 20 tahun?
Tiba-tiba semua kenangan tergambar di otakku. Tentang masa kecilku. Tentang sahabat-sahabatku, tentang Budhe, Soi, Mas Oky. Tentang impianku untuk studi ke Jerman. Tentang Umi dan Abi. Ah, aku belum pernah membahagiakan mereka. Maafkan aku, Abi, Umi. Ketika aku membuka mata, truk besar itu sudah sangat dekat. Jaraknya hanya sekitar 15 centimeter.
"BRUUAAK!!!"
###
Aku terhenyak. Keringat dingin bercucuran dari dahiku, mengalir lembut ke setiap bagian kepalaku, membahasi jilbabku yang berwarna merah.
Nafasku terasa sesak. Aku terbangun dari kematian? Tidak, aku terbangun dari mimpi. Udara dingin dari bawah pohon beringin ini telah membuatku tertidur.
Aku mengelus dada setelah mendapati diriku berada di atas kursi di taman depan Masjid Ulul Albaab. Alhamdulillah, ucapku.
Kurasakan senyum tersungging dari mulutku, melebar ke arah kedua pipiku. Mimpi itu benar-benar menyeramkan, walaupun hari ini menyebalkan tapi di dalam mimpi semuanya benar-benar sangat parah. Tak pernah aku bayangkan jika kejadian itu semua benar-benar aku alami.
Setelah puas dengan helaan nafasku, kembali aku melihat ponsel yang telah kukeluarkan dari dalam ponsel. Tidak ada pesan dari Soi. Dasar, dasar, dasar!
Entah mengapa, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku merasakan kehangatan yang aneh di sekitar leher belakang dan punggungku.
Ketika aku menoleh ke arah belakang pohon beringin tempatku beristirahat. Aku sangat terkejut, aku kaget bukan kepalang.
Sesosok hitam yang keluar dari mimpiku tadi pagi sekarang berada di hadapanku. Kali ini ia menampakkan matanya yang merah menyala. Selain itu, tubuhnya hanya dipenuhi oleh warna hitam pekat. Sempat aku mati rasa, tapi ketika aku sadari, aku telah berdiri dari kursi yang aku duduki. Aku bersiap untuk berlari.
Aku berlari sekencang mungkin. Ketika aku menoleh ke belakang, sesosok hitam misterius itu masih mengejarku. Aku benar-benar ketakutan. Walaupun kaki-kakiku sudah mulai letih, aku tak akan berhenti. Entah mengapa, sungguh aneh, kampus ini sepi. Tak ada satu orang pun. Aku berlari ke arah lapangan bola, berharap akan ada orang yang melihatku. Namun hasilnya nihil, tak ada seorang pun. Aku berlari keluar kampus. Sungguh ini adalah pelarian terberat yang pernah aku alami. Hingga aku berhenti di sebuah perkampungan. Aku mencari sebuah gang yang dapat aku lewati.
Aku memasuki gang tersebut dan kulihat samping kanan-kiriku hanya berupa dinding warna hitam. Sesosok hitam itu masih mengejarku.
Sial. Aku sungguh sial hari ini. Aku berada di ujung gang. Aku terjebak. Aku pasrah.
Sesosok hitam itu kini berada tepat 1 meter di depanku. Matanya menunjukkan bahwa ia siap menerkamku, seperti singa yang akan menyantap seekor rusa.
Aku merasakan kengerian yang sangat. Keringatku mengalir deras. Aku hanya bisa berdoa semoga semua ini segera berakhir. Dan tiba-tiba, sesosok hitam itu melompat ke arahku. Ketakutanku menjadi-jadi. Dengan tanpa pikir panjang, aku berteriak.
###
Aku terbangun. Gerakan tanganku membuat meja belajarku berantakan. Lokasi bolpen lucu dan buku diary imutku tidak keruan.
Lagi-lagi aku mendapati diriku tertidur, kali ini di atas meja belajarku. Aku ingat, aku baru saja menulis harapan-harapan di hari ulang tahunku. Dan sepertinya aku ketiduran karena memang aku tidak pernah bangun pukul 2 pagi. Aku hanya bisa bangun pukul setengah 4, itupun ketika Umi membangunkanku untuk makan sahur.
Setelah memastikan kali ini aku tidak sedang tidur dan bermimpi, aku keluar kamar. Aku mendapati Umi sedang menyiapkan makan sahur. Kali ini sangat istimewa, karena tidak hanya Umi, Abi dan Adek juga bangun.
"Wah Mbak udah bangun, selamat ulang tahun ya Mbak!" seru Adekku. Aku sangat bahagia karena ini benar-benar bukan mimpi. Umi dan Abi secara bergantian mencium dahiku dan mendoakanku. Makan sahur yang istimewa tersebut membuatku sangat berkesan, entah mengapa seolah semua yang telah aku lewati dalam mimpi dibalas oleh kebahagiaan di dalam keluarga kecilku.
Setelah makan sahur bersama keluarga, kami semua bergegas ke mushola untuk menunaikan sholat shubuh berjamaah.
Hari ini berjalan sangat istimewa. Ketika biasanya jalanan penuh sesak dengan kendaraan, hari ini tampak lengang dan lancar. Ya, karena aku berangkat pagi sekali.
Sesampainya di kelas, aku tak mendapati satu pun temanku di sana. Karena aku adalah orang yang pertama hadir di kelas.
Ketika teman-temanku datang satu per satu, mereka secara bergantian memberiku ucapan selamat ulang tahun dan doa. Kebahagiaan di hari istimewa ku ini. Bu Roes pun tidak lupa untuk memberiku selamat. Mukanya yang teduh dengan sentuhan senyum yang manis menghilangkan semua mimpi burukku tadi pagi tentangnya.
Lalu, ketika aku masih di dalam kelas sesuai kuliah berakhir. Budhe menghampiriku. Ia membawakan kado yang sangat spesial, sebuah buku karya Tere Liye, Bulan, yang baru saja terbit. Aku sangat bahagia. Budhe tetap menjadi sahabat yang akan slalu mengisi hari-hariku.
Hingga akhirnya ketika aku berjalan menuju kantin bersama Budhe, aku menemuinya. Seorang pria bertubuh jangkung yang mirip seseorang di masa lalu itu menghampiriku.
"Barakallah fi umrik ya," ucap Mas Oky.
Aku balas doanya dengan senyuman. Lalu kami bertiga berjalan bersama-sama menuju bangku yang terdekat.
Hanya satu orang yang belum memberikanku ucapan selamat. Yaitu Soi.
Hari ini pun berlalu, kulihat jam menunjukkan pukul setengah 9 malam. Ada sebuah pesan masuk, kali ini benar-benar dari Soi. Aku sudah menduga isi pesannya adalah sebuah puisi untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Eh, ternyata dugaanku salah.
"Bund, hari ini kamu ultah ya?"
Pesan singkat macam apa itu? Jangan-jangan Soi memang lupa tanggal kelahiranku. Dasar! Lalu kubalas pesan itu.
"Iya, Men, kenapa?"
"Ndak apa-apa, Bund, nanti cek facebook mu ya jam 11.30 malam."
Pukul setengah 12 malam? Itu sudah melampaui waktu tidurku. Tentu saja aku tak bisa online jam segitu. Aku yang sudah setengah mengantuk ini, kemudia membalas pesannya.
"Ndak bisa Men, aku udah tidur jam segitu, besok aja ya," rayuku kepada Soi. Entah apa yang akan ia perbuat kali ini, namun aku yakin ia merencanakan sesuatu.
"Yaaaaah...yaudah deh ndak apa-apa, nanti ta'kirimi di FB mu, besok pagi tolong di-cek ya"
Aku semakin penasaran dengan kelakuannya malam ini, namun kantukku tak bisa dikompromi lagi.
"Oke Men, maaf ya, insya Allah besok pagi bakal aku cek!"
Itulah pesan terakhirku ke Soi sebelum aku benar-benar masuk ke dunia mimpi.
###
Aku terbangun begitu ada notif FB yang muncul di ponselku. Benar saja, itu dari Soi.
"Bund, ini adalah cerpen yang aku buat untuk ulang tahunmu. Anti mainstream. Daripada ta'kirimi puisi terus hehehe. Tolong dibaca dan kamu sekalian jadi editornya ya. Maaf kalo banyak salah, wong bikinnya sejak jam 8 malam tadi. :)"
###
Aku benar-benar tak habis pikir dengan ulah Soi. Cerpen yang ditulisnya 2 tahun yang lalu ini kembali membuatku tersenyum-senyum sendiri. 2 tahun yang lalu saat aku masih kuliah di Indonesia, yang kini sedang menempuh studi di Jerman. Studi di Jerman, seperti impianku dahulu.
"Aku bermimpi buruk," gumamku sembari memegang kepala yang sempat terasa sakit ini. Tanganku basah oleh keringat yang mengalir di dahiku. Aku hampir tidak pernah bermimpi buruk sejak 1 tahun yang lalu. Aku benar-benar merinding dengan apa yang sempat aku lihat dalam mimpi tadi. Aku hanya bisa mengingat sesosok hitam yang mengejarku hingga ke tengah lapang, mengejar terus seakan tak mengijinkanku untuk menjauh, lalu aku menuju sebuah gang yang kukira tak berujung. Di kanan kiri gang tersebut hanya berupa dinding-dinding berwarna hitam pekat. Hingga aku sadari bahwa tak ada tempat lagi untuk kuberlari sesampainya aku di ujung gang. Kulihat sesosok hitam tadi telah berdiri di depanku. Siap menerkam. Aku bergidik menatap matanya yang merah. Beberapa detik kemudian, ia melompat ke arahku. Aku semakin takut. Sekejap kemudian aku berteriak, dan mendapati diriku berada di dalam kamar tidurku. Kamar yang begitu mungil namun cukup membuatku nyaman dengan warna dinding yang berwarna kuning kehijau-hijauan. Setelah mendapati diriku sedikit rileks, aku mencoba untuk duduk di samping ranjang, lalu kugerak-gerakkan kedua kakiku. Sebuah kebiasaan yang slalu aku lakukan ketika menghadapi guncangan hati yang seperti ini.
Kulihat sebuah kalender yang berada di bawah jam dinding. 13 April 2015. Aku tersentak. Lalu tanpa kusadari senyumku mengembang, mungkin pipiku merona merah karena kebahagiaan yang sekarang aku rasakan. Kejadian dini hari ini mirip dengan apa yang aku alami satu tahu yang lalu. Terbangun di sepertiga malam terakhir. Hal yang tak pernah bisa aku dapatkan di hari-hari biasa. Tentu saja karena hari ini adalah hari istimewa. Ya, hari ini adalah hari kelahiranku!
Sejurus kemudian aku mengambil ponsel yang terletak di samping bantal. Aku ingin mengecek apakah sudah ada orang yang memberiku pesan selamat ulang tahun. Benar saja. Aku tersenyum membaca beberapa pesan yang masuk di inbox ponselku. Pesan pertama datang dari Mas Oky, kakak kelas yang akhir-akhir ini mencuri hatiku. Lalu kulanjutkan membaca pesan lain yang telah dikirimkan di hariku ini.
"Bunda, HBD ya, semoga tambah dewasa."
"Silvy, semoga sehat dan sukses slalu ya ;)"
"Weeeh, traktiran Bund!"
Hahaha. Aku tertawa sendiri di dalam hati. Setelah puas membaca pesan-pesan istimewa tersebut, aku memutuskan untuk mengambil air wudhu dan bergegas shalat malam. Rutinitas hari ulang tahunku. Jujur saja aku tak pernah sebahagia ini selain di hari ulang tahunku. Karena hari ini akan ada banyak doa yang mengalir, belum lagi kejutan-kejutan yang mungkin akan aku dapatkan, kado dari Mas Oky, dari sahabat-sahabatku. Wuuh, pokoknya hari ini adalah hariku! Aku berlalu pergi menuju kamar mandi.
###
Setelah shalat, aku memutuskan untuk menulis harapan-harapan yang ingin kucapai di umurku yang ke 21 ini. Harapan mengenai diriku, orang tuaku, sahabat-sahabatku, yaa mungkin saja ada secuil harapan untuk bisa terus bersama Mas Oky. Oh iya, dan yang terpenting adalah impianku untuk meneruskan studi di Jerman, negeri pemenang piala dunia tahun kemarin. Mungkin belajar di Freie Universität Berlin, Ludwig-Maximilians-Universität München atau di Technische Universität München adalah impian terbesar dalam hidupku. Dalam khayalanku, tiba-tiba aku teringat, di antara pesan-pesan tadi tidak ada satu nama sahabatku, Soi. Hmm, mungkin dia akan mengirimiku pesan pada siang hari, gumamku.
Sahabatku yang satu itu bisa dibilang sedikit alay dan lebay. Kami dahulu slalu saling berbagi puisi untuk memperkaya diksi dan mengasah kemampuan kami dalam berpuisi. Seperti yang aku lakukan ketika ia berulang tahun tanggal 10 Maret kemarin. Dan, hari ini aku bisa menebak bahwa ia akan mengirimiku puisi, maka dari itu dapat kumaklumi jika ia belum mengirim pesan kepadaku.
Kulanjutkan untuk menulis serangkaian harapan dalam buku diary ku ini. Harapan yang tadi juga telah aku sematkan dalam doa ketika shalat malam. Tiba-tiba air mataku menetes dalam doa yang syahdu yang kupanjatkan kepada Allah tadi. Aku sedih bercampur bahagia karena usiaku kini bertambah. Eh, bukan bertambah deh. Ini adalah umur tambahan alias bonus yang diberikan oleh Allah kepadaku. Kan aku pernah berkata kalau umurku membeku di umur 20 tahun. Tanpa kusadari aku kembali tersenyum.
Dinginnya pagi ini menemaniku dalam kebahagiaan. Sayup-sayup romantis yang diberikan Allah kepadaku lewat keheningan pagi ini. Tak ada siapapun yang terbangun di rumahku. Hanya ada aku, Allah, bolpen lucu dan buku diary imut yang kini kugunakan.
###
"GILAAK!" Aku berteriak. Hari ini kacau sekali. Semua ekspektasi yang telah memenuhi otakku tidak ada yang terlaksana. Bak jatuh tertimpa tangga, hari ini aku seperti bukan diriku. Bukan Silvy yang murah senyum atau Bunda yang penyabar. Hari ini aku seperti sesosok hitam yang ada di dalam mimpiku. Dengan mata merahnya aku berkata kasar kepada teman-temanku sejak tadi pagi.
Bukan hanya Mas Oky, Budhe dan yang lainnya juga tak seperti biasanya, hari ini mereka begitu menyebalkan. Soi juga, entah hari ini dia lupa atau memang sengaja untuk tidak memberiku pesan selamat ulang tahun. Dapat kurasakan nafasku kembali tersengal seperti dini hari tadi. Lalu aku memutuskan untuk menuju taman yang berada di depan Masjid Ulul Albaab. Untuk mencoba sedikit rileks, aku harus mencari sebuah kursi yang berada di bawah pohon yang rindang.
Dari tempat aku berdiri, lokasi taman hanya berjarak 100 meter, sekitar 3 menit perjalanan dengan berjalan kaki. Di sepanjan jalan yang kulewati, aku hanya mampu menahan air mata yang seakan berdesakan untuk mencoba keluar. Namun seperti biasa, aku adalah wanita tegar. Tujuanku adalah Jerman. Aku tak bisa menjadi seorang wanita yang cengeng dan mudah berkecil hati, apalagi hari ini adalah hari ulang tahunku.
Tetapi, di hari yang seharusnya istimewa ini, tak satu pun aku dapati kebahagiaan. Aku berharap hari ini akan segera berakhir.
Selangkah kemudian aku telah berada di salah satu taman sederhana yang berada di kampusku. Kutoleh kanan dan kiri, mencoba mencari kursi yang dapat aku duduki dan kubuat untuk menenangkan hati ini. Pencarianku berakhir hingga aku menemukan sebuah kursi panjang berwarna putih di salah satu sudut taman. Kursi tersebut terletak di bawah pohon beringin yang besar dan rindang. Bagus, pikirku.
Entah mengapa tiba-tiba aku teringat sesosok hitam yang bertamu di mimpiku tadi malam dan membayangkan sosok tersebut menerkamku dari balik pohon besar itu. Tanpa memedulikan ketakutan tersebut, aku berjalan mendekati kursi tersebut.
Aku duduk di atas kursi sambil membiarkan kakiku bergelantungan dan kugerak-gerakkan maju mundur. Semilir angin di bawah pohon ini sedikit membuatku mengantuk. Lalu, tanpa kusadari air mataku mengalir juga. Kuseka air hangat itu dengan punggung tanganku. Aku hanya bisa termangu mendapati hariku yang seperti ini. Suasana lengang taman membawaku kembali ke ingatan tadi pagi.
###
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku, aku mengendarai sepeda motor matic ku dengan kencang, berharap untuk segera sampai di kampus dan menerima kejutan-kejutan yang telah disediakan oleh teman-temanku, dan juga Mas Oky.
Keluar dari kompleks rumahku, aku sudah harus berhadapan dengan kemacetan. Jalan Gedangan tempatku berada kini memang terkenal sering macet. Mungkin saja karena menghubungkan jalan protokol di Sidoarjo dan Surabaya dan mungkin juga karena terdapat perempatan yang sangat padat kendaraan apalagi waktu pagi seperti ini.
Semua kebahagiaan yang semula aku bayangkan, hilang tak tersisa gara-gara kemacetan pagi ini. Banyaknya kendaraan yang tumpah ruah di jalan membuatku sedikit badmood. Belum lagi pengendara motor yang ugal-ugalan, menyerobot dari kanan-kiri motorku, dan memotong jalan di depanku.
Dengan sedikit semangat, kulaju motorku lebih cepat setelah kulalui semua kemacetan tadi. Hingga aku sampai di kampusku, kampus yang mempertemukanku dengan Mas Oky.
Setelah meletakkan motor di tempat parkir, kembali aku cek inbox ponsel barangkali ada orang yang mengirimiku pesan selamat ulang tahun. Tenyata nihil, tidak ada satupun. Soi bahkan belum mengirimmu pesan, kuingat jam segini aku mengiriminya pesan waktu ulang tahunnya kemarin di Bulan Maret. Huh dasar, desisku.
Cepat-cepat kumasukkan ponsel ke dalam saku, kemacetan tadi membuatku terlambat 15 menit. Kulangkah kaki dengan cepat, beberapa kali ku berlari untuk mencapai ruang kelas. Aku tersenyum sendiri teringat mimpiku saat berlari dikejar sesosok hitam.
Dengan nafas yang cepat, akhirnya aku sampai di depan pintu kelas. Kulihat Bu Roes sudah berdiri di depan kelas. Bu Roes adalah dosen yang baik dan penyabar. Senyumnya kepadaku di awal kuliah dulu tak akan pernah kulupa. Santai saja kuketuk pintu untuk meminta ijin masuk dan mengikuti perkuliahan. "Assalammualaikum, Bu boleh saya masuk?"
Tanpa dikomando, Bu Roes menoleh kepadaku. Aku kaget, beliau tak seperti biasanya. dahinya mengerut, wajahnya sedikit merah di dalam jilbabnya yang berwarna biru tua. "Sini!", perintah Bu Roes sambil menggunakan tangan kanannya sebagai isyarat. "Kenapa terlambat?" lanjutnya dengan nada sedikit tinggi.
"Eh, maaf Bu Roes, tadi di jalan macet Bu.." aku menunduk.
"Bukannya Surabaya slalu saja macet? Hanya itu alasan yang bisa kamu berikan? Kamu sudah semester 6 lo Sil, 1 tahun lagi kamu wisuda! Mau ke Jerman, katamu? Gini ini mau ke Jerman?"
Pertanyaan terakhir dari Bu Roes terasa sakit menghujam jantungku. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku saat ini. Mana bisa mahasiswa tidak disiplin sepertiku bisa mendapatkan beasiswa ke Jerman. Aku hanya bisa diam membisu.
"Hlo jawab Silvy!" ujar Bu Roes sekali lagi.
Pikiranku semakin berat. Memang benar, bukan kemacetan yang membuatku terlambat, tapi gara-gara aku terlambat bangun pagi. Karena tak seperti biasanya untuk bangun pukul 2 dini hari dan bertahan sampai shubuh, tadi pagi selepas shalat shubuh aku memutuskan untuk tidur lagi karena kantuk yang melanda.
Aku melamun. Sesekali kulirik teman-temanku. Ada beberapa yang tersenyum nakal dan mengandung ejekan. Lalu aku tersadar, ini kan hari ulang tahunku. Pasti teman-teman telah merencanakan ini semua. Apalagi ini bukan sifat asli Bu Roes untuk memarahi mahasiswanya jika berbuat kesalahan. Tiba-tiba senyum merekah di bibirku.
"Bu Roes!" panggil seseorang. Aku menoleh, ternyata itu Tri, pria paling usil di kelasku. Ia mengacungkan tangan untuk meminta ijin berbicara. Setelah diberi ijin oleh Bu Roes, pria berkacamata itu meneruskan, "Hari ini Silvy berulang tahun, Bu, mungkin dia beranggapan kalau dia sedang dikerjain, padahal ndak kan ya Bu?"
Apa maksud ucapan Tri? Kenapa ia mampu membaca pikiranku? Tapi dari pernyataannya tersebut, berarti kejadian hari ini tidak direncanakan? Seketika itu aku langsung lemas. Bu Roes memang sedang memarahiku. Pergelangan tangan dan kakiku terasa kaku. Seperti ada yang menyumbat pembuluh darahku, aku tak bisa merasakan mereka. Benar-benar diluar ekspektasi. Tak seperti yang aku inginkan.
"Tidak usah ikut kuliah Ibu Roesma!" Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Bu Roes.
Aku hanya bisa termangu. Semua persendian rasanya ingin lepas. Bagaimana ini bisa terjadi? Di hari ulang tahunku, untuk pertama kalinya aku tidak diijinkan untuk mengikuti mata kuliah. Aku tidak percaya akan hal ini.
Setelah mengangguk ke arah Bu Roes, aku berjalan ke luar kelas. Dapat kurasakan teman-temanku tersenyum bahagia, bahkan kudengar ada gelak tawa di antara mereka. Kejam. Mereka seperti bukan teman-temanku.
Karena tak dapat ikut kuliah, aku memutuskan untuk pergi ke kantin. Aku lapar. Hari ini gila, semoga setelah ini akan ada hal yang membahagiakan, pikirku sambil memegangi perut yang semakin menggila, minta untuk segera diisi.
Sesampainya di kantin, aku melihat Iin alias Budhe, temanku waktu SMA. Ia berjalan ke arah salah satu depot. Jarang sekali aku bertemu dengannya. Jelas saja karena kami beda fakultas. Apa yang akan dikatakan Budhe di hari ulang tahunku ini? Apakah ia telah menyiapkan kado?
Aku bergegas mendekatinya, mencoba untuk mengembalikan mood dan semangatku. "Budhe!" Panggilku kepadanya. Ia hanya menoleh. Tak ada senyuman, tak ada air muka yang menunjukkan kebahagiaan, tak ada sama sekali respon yang membuatku tersenyum.
Hingga aku berdiri di sampingnya pun, Budhe tak mengeluarkan kata-kata atau minimal ekspresi yang seperti biasanya. Aku kembali memikirkan, apakah ini sebuah kejutan untukku? "Budhe, kamu masuk kuliah jam berapa?" Aku mencoba bertanya, untuk sekedar basa-basi.
"Jam setengah 12, napa?"
Eh, aku kembali dikagetkan dengan perubahan sifat seseorang. Kini datang dari teman sekaligus sahabatku, Budhe. Wanita yang lebih tua satu tahun dengan ku ini adalah wanita yang baik hati, tidak sampai hari ini. Di balik pakaiannya yang syarie, Budhe menjadi sosok yang tak aku kenal. Tas ransel warna jingga yang dibelinya bersamaku dulu bahkan tak lagi menjadi saksi persahabatan kita. "Ndak kenapa-kenapa koq Budh." jawabku dengan mencoba untuk tersenyum.
"Yaudah." Balasnya singkat. Kata tersebut benar-benar menambah perih perasaanku hari ini. Di hari ulang tahunku. Lalu, tanpa berpamitan ia berjalan menjauh. Aku hanya bisa menatapnya, berdiri di atas kakiku yang semakin membeku.
Lima langkah ia berjalan, lalu Budhe berhenti. Aku masih memandanginya. Kemudian ia berbalik, dan melepas salah satu tali tas ranselnya, hingga tas ranselnya berada di depan tubuhnya. Ia membuka tas dan mencoba mengeluarkan suatu benda. Aku mulai menaruh harapan kepada Budhe. Aku berharap tadi ia hanya akting dan sekarang akan memberiku kado ulang tahun.
Sebuah benda yang tak asing keluar dari tas ransel Budhe. Itu adalah buku karya Ahmad Rifa'i Rifan yang aku berikan kepadanya sebagai hadiah.
Budhe kembali berjalan ke arahku. Aku bingung dan heran. Lalu ia menyodorkan buku itu ke arahku. "Bukunya jelek, isinya ndak mutu, walaupun kamu kasih ke aku beberapa bulan yang lalu, tapi baru kemarin lusa aku sempat membacanya. Nih aku kembalikan."
Aku benar-benar heran dengan perbuatan sahabatku ini, aku tak habis pikir dengan apa yang terjadi padanya, padaku.
"Iya, maaf." Balasku singkat sembari mengambil buku itu dari tangan Budhe. Setelah itu, ia membalikkan badan dan membenarkan tas ranselnya di punggung. Ia berjalan pergi, dan kini tak kembali.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Aku tak tahu apakah ini semua ada kaitannya dengan mimpiku tadi pagi, atau memang hari ini adalah hari terburuk yang pernah aku alami. Entahlah, pikirku. Hanya itu yang bisa aku pikirkan. Otakku menjadi semakin sakit karena semua yang telah terjadi.
Mungkin makan beberapa potong roti akan menurunkan emosiku.
Setelah membayar, aku berjalan ke sebuah bangku di pinggir kantin. Aku duduk dalam keadaan tidak bersemangat. Kalau tidak ada sandaran di bangku ini, mungkin tubuhku akan jatuh ke belakang.
Kubuka bungkus plastik roti yang baru kubeli. Kucuil sedikit dan kumasukkan ke dalam mulut. Rasa cokelat dari roti ini sedikit menenangkanku. Kukunyah perlahan hingga lembut dan barulah ku telan.
"Silvy!" bentak seseorang. Suara yang cukup aku kenal.
"Hlo Mas Oky, kenapa emangnya Mas?" tanyaku pada Kakak kelas yang sejak tadi aku rindukan.
"Kamu nggak puasa?"
Aku tersentak. Secuil roti yang belum lembut kukunyah melompat keluar. Aku lupa kalau hari ini Hari Senin. Setelah menulis diary tadi pagi aku diajak Umi untuk makan sahur. Dan hari ini aku dapati kalau aku makan roti. Tapi, bagaimana Mas Oky bisa tahu?
"Aku dulu naksir kamu gara-gara kamu shalihah, sering puasa senin-kamis, shalat tepat waktu, rajin kuliah, tapi lihatlah, sekarang kamu malah makan di kantin, tak ikut kuliah lagi, sekarang kan seharusnya kamu kuliah?" Kalimat yang dikeluarkan Mas Oky dari mulutnya seperti sebuah pedang yang tepat menghunus jantungku.
Mas Oky adalah kakak kelasku di fakultas yang sama. Aku mengenalnya dalam sebuah kepanitiaan. Waktu itu Mas Oky adalah penanggung-jawab dari kegiatan yang kami selenggarakan. Karena ketegasan dan kharismanya, aku jatuh cinta padanya. Beberapa kali pendekatan membuahkan hasil. Beberapa minggu yang lalu, Mas Oky pun menyatakan cintanya kepadaku.
Tapi, hari ini, di hari paling istimewa dalam hidupku. Aku mendapati pria yang sempat kutuliskan di dalam harapan dan kuselipkan dalam doa itu memarahiku tanpa alasan yang jelas.
"Kita end, jangan dekat-dekat lagi kepadaku!"
"Tapi, Mas..." tanpa memerhatikan gerakanku, Mas Oky berlalu, menjauh pergi. Kurasakan kini air mata tumpah, membahasi pipiku. Pikiranku berat. Aku hanya bisa menangis dan tak bisa berbuat apa-apa.
Aku ingat, di saat-saat seperti ini ada satu orang yang bisa mendengarkan semua isi curahan hatiku. Soi. Dengan membersihkan sisa air mata yang ada di pipiku, aku mencari nama Soi di dalam kontak ponselku. Aku mencoba untuk meneleponnya.
Tuut..tuut...tuuut. Tak ada balasan. Tak ada respon. Nada sambung menunjukkan jika ponsel Soi menyala, namun kenapa ia tak menjawab teleponku? Benarkan ini semua adalah arti dari mimpiku tadi malam.
Di usiaku yang ke-21 tahun ini, semuanya telah pergi dariku. Terkaman sesosok hitam telah mengambil hal-hal penting dari hidupku. Kuliahku. Sahabatku. Pacarku. Masa Depanku.
Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah parkir motor. Aku ingin pulang, aku ingin menyendiri di dalam kamar. Entah sampai kapan. Berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan aku tak peduli.
Bahkan kuliahku setelah inipun tak aku pikirkan.
Kucari motor matic warna biru yang menjadi temanku. Mungkin seonggok besi itulah yang bisa menemaniku saat ini. Lokasi parkir yang terkesan kecil tersebut tak menyusahkanku dalam menemukan motorku.
Setelah menaikinya, aku melajunya dengan sangat cepat. Aku tak memedulikan pengendara motor yang lain yang ada di sekitarku.
Berbeda dengan tadi pagi, siang ini jalanan begitu sepi. Aku semakin leluasa untuk mempercepat motorku. Lampu traffic light yang menunjukkan warna merah pun tak aku gubris.
Setelah melewati lampu merah tersebut, aku mendengar suara klakson sangat keras. Aku kaget. Sebuah truk sangat besar melaju ke arahku dengan cepat. Tanpa bisa aku menghindar, aku menutup mata. Apakah ini adalah akhir dari hidupku? Hidupku benar-benar membeku di usia 20 tahun?
Tiba-tiba semua kenangan tergambar di otakku. Tentang masa kecilku. Tentang sahabat-sahabatku, tentang Budhe, Soi, Mas Oky. Tentang impianku untuk studi ke Jerman. Tentang Umi dan Abi. Ah, aku belum pernah membahagiakan mereka. Maafkan aku, Abi, Umi. Ketika aku membuka mata, truk besar itu sudah sangat dekat. Jaraknya hanya sekitar 15 centimeter.
"BRUUAAK!!!"
###
Aku terhenyak. Keringat dingin bercucuran dari dahiku, mengalir lembut ke setiap bagian kepalaku, membahasi jilbabku yang berwarna merah.
Nafasku terasa sesak. Aku terbangun dari kematian? Tidak, aku terbangun dari mimpi. Udara dingin dari bawah pohon beringin ini telah membuatku tertidur.
Aku mengelus dada setelah mendapati diriku berada di atas kursi di taman depan Masjid Ulul Albaab. Alhamdulillah, ucapku.
Kurasakan senyum tersungging dari mulutku, melebar ke arah kedua pipiku. Mimpi itu benar-benar menyeramkan, walaupun hari ini menyebalkan tapi di dalam mimpi semuanya benar-benar sangat parah. Tak pernah aku bayangkan jika kejadian itu semua benar-benar aku alami.
Setelah puas dengan helaan nafasku, kembali aku melihat ponsel yang telah kukeluarkan dari dalam ponsel. Tidak ada pesan dari Soi. Dasar, dasar, dasar!
Entah mengapa, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku merasakan kehangatan yang aneh di sekitar leher belakang dan punggungku.
Ketika aku menoleh ke arah belakang pohon beringin tempatku beristirahat. Aku sangat terkejut, aku kaget bukan kepalang.
Sesosok hitam yang keluar dari mimpiku tadi pagi sekarang berada di hadapanku. Kali ini ia menampakkan matanya yang merah menyala. Selain itu, tubuhnya hanya dipenuhi oleh warna hitam pekat. Sempat aku mati rasa, tapi ketika aku sadari, aku telah berdiri dari kursi yang aku duduki. Aku bersiap untuk berlari.
Aku berlari sekencang mungkin. Ketika aku menoleh ke belakang, sesosok hitam misterius itu masih mengejarku. Aku benar-benar ketakutan. Walaupun kaki-kakiku sudah mulai letih, aku tak akan berhenti. Entah mengapa, sungguh aneh, kampus ini sepi. Tak ada satu orang pun. Aku berlari ke arah lapangan bola, berharap akan ada orang yang melihatku. Namun hasilnya nihil, tak ada seorang pun. Aku berlari keluar kampus. Sungguh ini adalah pelarian terberat yang pernah aku alami. Hingga aku berhenti di sebuah perkampungan. Aku mencari sebuah gang yang dapat aku lewati.
Aku memasuki gang tersebut dan kulihat samping kanan-kiriku hanya berupa dinding warna hitam. Sesosok hitam itu masih mengejarku.
Sial. Aku sungguh sial hari ini. Aku berada di ujung gang. Aku terjebak. Aku pasrah.
Sesosok hitam itu kini berada tepat 1 meter di depanku. Matanya menunjukkan bahwa ia siap menerkamku, seperti singa yang akan menyantap seekor rusa.
Aku merasakan kengerian yang sangat. Keringatku mengalir deras. Aku hanya bisa berdoa semoga semua ini segera berakhir. Dan tiba-tiba, sesosok hitam itu melompat ke arahku. Ketakutanku menjadi-jadi. Dengan tanpa pikir panjang, aku berteriak.
###
Aku terbangun. Gerakan tanganku membuat meja belajarku berantakan. Lokasi bolpen lucu dan buku diary imutku tidak keruan.
Lagi-lagi aku mendapati diriku tertidur, kali ini di atas meja belajarku. Aku ingat, aku baru saja menulis harapan-harapan di hari ulang tahunku. Dan sepertinya aku ketiduran karena memang aku tidak pernah bangun pukul 2 pagi. Aku hanya bisa bangun pukul setengah 4, itupun ketika Umi membangunkanku untuk makan sahur.
Setelah memastikan kali ini aku tidak sedang tidur dan bermimpi, aku keluar kamar. Aku mendapati Umi sedang menyiapkan makan sahur. Kali ini sangat istimewa, karena tidak hanya Umi, Abi dan Adek juga bangun.
"Wah Mbak udah bangun, selamat ulang tahun ya Mbak!" seru Adekku. Aku sangat bahagia karena ini benar-benar bukan mimpi. Umi dan Abi secara bergantian mencium dahiku dan mendoakanku. Makan sahur yang istimewa tersebut membuatku sangat berkesan, entah mengapa seolah semua yang telah aku lewati dalam mimpi dibalas oleh kebahagiaan di dalam keluarga kecilku.
Setelah makan sahur bersama keluarga, kami semua bergegas ke mushola untuk menunaikan sholat shubuh berjamaah.
Hari ini berjalan sangat istimewa. Ketika biasanya jalanan penuh sesak dengan kendaraan, hari ini tampak lengang dan lancar. Ya, karena aku berangkat pagi sekali.
Sesampainya di kelas, aku tak mendapati satu pun temanku di sana. Karena aku adalah orang yang pertama hadir di kelas.
Ketika teman-temanku datang satu per satu, mereka secara bergantian memberiku ucapan selamat ulang tahun dan doa. Kebahagiaan di hari istimewa ku ini. Bu Roes pun tidak lupa untuk memberiku selamat. Mukanya yang teduh dengan sentuhan senyum yang manis menghilangkan semua mimpi burukku tadi pagi tentangnya.
Lalu, ketika aku masih di dalam kelas sesuai kuliah berakhir. Budhe menghampiriku. Ia membawakan kado yang sangat spesial, sebuah buku karya Tere Liye, Bulan, yang baru saja terbit. Aku sangat bahagia. Budhe tetap menjadi sahabat yang akan slalu mengisi hari-hariku.
Hingga akhirnya ketika aku berjalan menuju kantin bersama Budhe, aku menemuinya. Seorang pria bertubuh jangkung yang mirip seseorang di masa lalu itu menghampiriku.
"Barakallah fi umrik ya," ucap Mas Oky.
Aku balas doanya dengan senyuman. Lalu kami bertiga berjalan bersama-sama menuju bangku yang terdekat.
Hanya satu orang yang belum memberikanku ucapan selamat. Yaitu Soi.
Hari ini pun berlalu, kulihat jam menunjukkan pukul setengah 9 malam. Ada sebuah pesan masuk, kali ini benar-benar dari Soi. Aku sudah menduga isi pesannya adalah sebuah puisi untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Eh, ternyata dugaanku salah.
"Bund, hari ini kamu ultah ya?"
Pesan singkat macam apa itu? Jangan-jangan Soi memang lupa tanggal kelahiranku. Dasar! Lalu kubalas pesan itu.
"Iya, Men, kenapa?"
"Ndak apa-apa, Bund, nanti cek facebook mu ya jam 11.30 malam."
Pukul setengah 12 malam? Itu sudah melampaui waktu tidurku. Tentu saja aku tak bisa online jam segitu. Aku yang sudah setengah mengantuk ini, kemudia membalas pesannya.
"Ndak bisa Men, aku udah tidur jam segitu, besok aja ya," rayuku kepada Soi. Entah apa yang akan ia perbuat kali ini, namun aku yakin ia merencanakan sesuatu.
"Yaaaaah...yaudah deh ndak apa-apa, nanti ta'kirimi di FB mu, besok pagi tolong di-cek ya"
Aku semakin penasaran dengan kelakuannya malam ini, namun kantukku tak bisa dikompromi lagi.
"Oke Men, maaf ya, insya Allah besok pagi bakal aku cek!"
Itulah pesan terakhirku ke Soi sebelum aku benar-benar masuk ke dunia mimpi.
###
Aku terbangun begitu ada notif FB yang muncul di ponselku. Benar saja, itu dari Soi.
"Bund, ini adalah cerpen yang aku buat untuk ulang tahunmu. Anti mainstream. Daripada ta'kirimi puisi terus hehehe. Tolong dibaca dan kamu sekalian jadi editornya ya. Maaf kalo banyak salah, wong bikinnya sejak jam 8 malam tadi. :)"
###
Aku benar-benar tak habis pikir dengan ulah Soi. Cerpen yang ditulisnya 2 tahun yang lalu ini kembali membuatku tersenyum-senyum sendiri. 2 tahun yang lalu saat aku masih kuliah di Indonesia, yang kini sedang menempuh studi di Jerman. Studi di Jerman, seperti impianku dahulu.
Komentar
Posting Komentar