Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Ponokawan Somen mengalami
kegundahan yang tidak pernah ia rasakan. Kegundahan ketika
akan menyambut hari kelahirannya. Beberapa minggu yang lalu, Somen berkeinginan
untuk mendokumentasikan 10 tahun hidupnya, mulai hari dimana usianya menginjak
21 tahun hingga nanti ketika usianya 30 tahun. Namun karena ada banyak urusan
yang harus ia tangani, terutama kesibukan-kesibukannya sebagai abdi dalem
Kerajaan Madayu, pimpinan Raja Arha. Kesibukan itu benar-benar menguras
tenaganya, sehingga walaupun ada waktu senggang, ia terlalu lelah untuk
merencanakan keinginannya tersebut. Dan, terang saja Somen menjadi gundah
gulana seperti ketika ia memikirkan Dewi Kencana Asri.
Hari ini tepat
satu hari sebelum usia Somen bertambah. Somen bangun pagi dengan biasa, namun
kepalanya sudah mulai terasa nyeri karena ia memikirkan hari kelahirannya
besok. Setelah merapikan tempat tidur, ia memutuskan untuk berjalan santai di
area kerajaan. Dia melihat ponokawan lain yang sudah mengerjakan tugas-tugas
seperti biasanya, menyapu halaman kerajaan, merawat hewan-hewan peliharaan Raja
Arha, dan sebagainya. Walaupun tugasnya sangat mudah, yaitu hanya mengawal dan
beberapa kali memberi nasihat kepada Raja Arha, Somen tidak segan untuk
membantu ponokawan lain, namun tidak hari ini. Somen merasakan dadanya
seperti tersumbat oleh benda keras yang menyulitkannya bernafas. Tampaknya
perasaan tersebut memengaruhi air muka Somen, hingga salah satu ponokawan
menyadari keanehan pada diri Somen.
"Kau tampak berbeda,
Somen, ada apa?" tanya Yusuf, ponokawan yang lebih mudah dari Somen. Yusuf
mengamati raut wajah Somen yang tampak gusar. "Hai.. Ada apa?" Yusuf
berhenti menyapu pekarangan kerajaan sambil memandangi Somen dengan lebih
seksama.
"Oh oh,
tidak mengapa koq.." jawab Somen cepat. Tampaknya reaksi itu semakin
memperlihatkan kalau Somen ada masalah. Ia menyadarinya dan berharap Yusuf akan
memikirkan sebaliknya. Berpikir kalau Somen tak ada masalah.
"Oke, "
balas Yusuf sambil memperlihatkan senyum di antara dua pipinya, lalu ia
melanjutkan pekerjaannya.
Setelah
itu, Somen berlalu meninggalkan Yusuf tanpa mengucapkan apapun. Somen menyadari
bahwa ada suatu permasalahan yang sedang ia hadapi saat ini.
Permasalahan bahwa ia akan bertambah usia dan ia bukan lagi orang yang egois
dan kekanak-kanakan. Somen ingin menjadi orang yang berbeda. Dengan
bertambahnya usia, ia ingin bertambah dewasa, pikirnya.
Somen berjalan
melihat jalanan yang ada di bawahnya. Ia sebenarnya tak tahu harus
pergi kemana, ia hanya berjalan mengikuti langkah kaki
membawanya. Walaupun tak melihat kanan-kiri, Ia dapat merasakan
daerah-daerah yang dilaluinya. Pekarangan. Ruang dapur. Halaman belakang.
Kolam. Tempat-tempat itu tak ubahnya menjadi sebuah saksi bisu kegundahan
hatinya saat ini. Salam dan sapaan ponokawan yang ditemuinya pun tak
dihiraukannya. Pikiran Somen hanya tertuju pada esok hari.
Somen
mengingat-ingat berbagai kejadian yang ia lalui ketika ia
berulang tahun pada tahun-tahun sebelumnya. Ia ingat tahun kemarin ia terbangun
di malam hari dan memutuskan untuk melakukan sembahyang, kegiatan yang jarang ia lakukan. Setelah sembahyang, ia melakukan kegiatan yang
belum sempat ia kerjakan, yaitu mendaftar impian-impiannya.
Impiannya untuk menikah, membeli rumah, membeli mobil. Dan tampaknya,
impian-impian tersebut harus di-revisi.
Somen juga teringat
di hari ulang tahunnya yang ke 17, ketika secara tak diduga,
untuk pertama kali Dewi Kencana Asri mengirimkan SMS kepada
dirinya. Dengan kalimat yang indah, menurut Somen, Sang Dewi mendoakan segala
kebaikan kepada Somen di hari ulang tahunnya tersebut.
Walaupun lewat 4 hari setelah hari ulang tahunnya, Somen merasakan sebuah kebahagiaan ketika mendapatkan ucapan spesial tersebut. Somen benar-benar merasa sudah semakin dekat dengan Dewi yang dikenal sejak 3 tahun sebelumnya. Mungkin saat itu, Somen sudah maju satu langkah, karena sebelumnya Somen hanya bisa menyapa Sang Dewi melalui media sosial. Setelah mendapat nomer HP Dewi Kencana Asri, hari-hari Somen diisi dengan berbalas SMS dengan Sang Dewi. Sebuah kemajuan yang didapatkannya saat usianya bertambah.
Kejadian-kejadian lain juga membayangi pikiran Somen saat ini. Dengan memikirkan hal tersebut ia semakin resah dibuatnya. Somen semakin merasa menyesal karena tak sempat merencanakan hari besarnya tersebut. Mungkin kalau ia telah merencanakan dengan baik, hari ulang tahunnya akan menjadi hari yang paling berkesan dan mengubah hidupnya. Namun tidak, itulah yang dirasakannya.
Setelah lama dirundung perasaan menyesal, ia memutuskan untuk kembali ke ruang utama kerajaan. Dengan langkah yang sedikit lunglai, Somen mencoba untuk menegakkan kepala alih-alih tak menarik perhatian Raja Arha.
Siang pun berlalu berganti Sore, tampaknya Raja Arha tak merasakan perbedaan pada diri Somen. Somen tampaknya telah menunjukkan sikap yang biasa seperti biasanya. Obrolannya dengan Sang Raja pun dibuatnya mirip seperti tak ada masalah. Pengalamannya dalam menjadi penasihat pun sangat memengaruhi keberhasilannya hari ini. Kehebatan Somen tersebut sangat berbeda dengan apa yang dirasakannya ketika ia harus merasakan sesak ketika memikirkan hari esok. Ia slalu teringat bahwa kelemahannya ada pada sosok Dewi Kencana Asri, dan tak diduga bahwa hari ulang tahunnya juga membuatnya menderita seperti sekarang.
Sudah memasuki waktu istirahat, itu artinya Somen dapat kembali ke kediamannya. Somen berdiri dari tempat duduknya di samping Raja. Ia segera merapikan bajunya dan menghadap kepada Raja. Sambil sedikit membungkuk memberi salam hormat, Somen meminta ijin untuk meninggalkan ruangan.
"Kamu kenapa hari ini tampak bingung, Somen?" tanya Raja kepada Somen. Pertanyaan yang tak terduga tersebut membuat Somen kaget. Seakan perasaan bahwa Somen menutupi perasaannya dengan baik tampak sia-sia. Tentu saja Raja tahu perasaannya. Somen telah mengabdi sangat lama kepada beliau. Raja Arha-lah yang setiap hari menemaninya.
"Tidak ada apa-apa, Raja, hanya tiba-tiba saja merasa tidak enak badan."
"Mukamu aneh sejak pertama kali menemuiku." Jawab Raja datar, kearifannya terwujud dari kata-kata yang singkat itu.
Somen semakin merasa tidak enak menyadari bahwa perasaannya telah diketahui Raja sejak tadi. Namun, ia tetap harus menyembunyikan alasannya. "Tidak ada, Raja, sungguh." Somen mencoba meyakinkan Raja Arha. Mukanya masih menunduk dan kedua tangannya terlipat di depan perutnya.
"Baiklah kalau begitu, " ucap Sang Raja, lalu melanjutkan " terima kasih karena telah melayaniku dengan baik hari ini. " Kalimat terakhir yang selalu Raja Arha ucapkan kepada Somen.
Somen mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruangan yang besar tersebut.
Komentar
Posting Komentar